Awas! Menjelang lebaran banyak beredar biscuit palsu! Begitu bunyi sms yang kuterima dari beberapa sahabatku, pertengahan Ramadhan lalu. Astaghfirulloh! Sudah sedemikian parahkah pemalsuan / pembajakan di negeri ini, sampai-sampai produk biscuit pun dipalsukan?, aku membatin, prihatin. Tapi keprihatinanku segera berakhir karena biscuit palsu yang mereka maksudkan ternyata tidak sama dengan yang aku bayangkan. Berbagai makanan ringan – khas lebaran – seperti kerupuk, emping dan rengginang dalam kaleng bekas biscuit itulah yang mereka maksudkan.
Selain sms tersebut, beberapa sahabat blogger juga sempat menjadikan ‘biscuit palsu’ sebagai bahan tulisan mereka. Berbeda ketika pertama kali membaca sms, saat membaca judul tulisan aku sudah bisa menebak kemana arah tujuan mereka. Karena itu pula, saat silaturahim ke rumah beberapa sahabat dan kerabat lebaran kemarin, aku tidak lagi kaget melihat beberapa kaleng biscuit ‘palsu’ berjajar di meja. Yang membuat terkejut justru masih saja kutemukan silaturahim ‘palsu’.
Masih ada orang yang memanfaatkan silaturahim untuk sebuah tujuan yang sebenarnya tak lebih dari sekedar ajang untuk pamer. Baju yang indah, kendaraan yang mewah, perhiasan di leher, jari dan pergelangan tangan hingga nyaris seperti toko berjalan. Sayangnya, setelah semua dipertontonkan, mereka berlalu begitu saja tanpa meninggalkan apapun untuk saudaranya nikmati, kecuali satu rasa manusiawi yang jika dituruti akan mendatangkan iri di hati.
Jika ada yang kecewa karena mendapati biscuit ‘palsu’, sebenarnya tidaklah terlalu. Meski isi yang ditemui tak sama dengan gambar yang tertera di kemasan, tetap saja masih ada yang bisa dinikmati. Tapi bila silaturahim palsu, ini benar-benar membuat kecewa. Semoga kita terhindar dari melakukan hal yang semacam ini. Semoga pula, ketika tangan ini tergerak untuk menulis bukan karena terdorong rasa iri terhadap mereka yang berlimpah materi, tapi sebagai pengingat diri bahwa idul fitri bukan saja saat yang tepat untuk bersilaturahim, saling memaafkan, tapi juga untuk berbagi. Dan memaknai idul fitri semestinya bukan saja harinya, tapi juga hatiny
-abisabila-