“Balik lagi ke habitat asli, nih yeee…” sindir Dinda kepada saudarinya yang ‘ngartis’, pas lagi ramadhan, job bertaburan terutama sesi pemotretan model sebuah busana muslimah yang ‘trendy’. Saudarinya tertawa kecil, “Yeeee, namanya juga permintaan pasar dan sesuai keinginan produser, hehehe, nyantai aje…” jawabnya sambil segera berlalu.
‘Sama habitat asli’ pula kumpulan ibu-ibu atau para prt di kompleks perumahan sudut ibu kota itu, pagi-pagi ketika suami sudah berangkat kerja dan anak-anak bersekolah, ‘acara ngerumpi’ di tukang sayur kembali digelar, kan Ramadhan sudah selesai, di sela kesibukan sebelum memasak makan siang, kegiatan rutin yang biasanya ‘absen’ saat Ramadhan adalah ngobrol-ngobrol, yang tadinya bisa saja membawa manfaat semisal saling tanya resep masakan atau tentang tips merawat anak yang sakit, namun selanjutnya bisa menjadi panjang lebar dan amat luas, pembicaraan menjadi ghibah, bergosip sana-sini sampai memfitnah tetangga lain, naudzubillahi min dzaliik.
Apakah kita termasuk finalis-finalis Ramadhan 1432 Hijriyyah? Jawabnya ada dalam diri masing-masing, kita bisa memberikan perkiraan penilaian peningkatan kualitas pribadi ketika mengintrospeksi diri sendiri, atau juga menanyakan kepada kekasih hati (suami atau istri) yang merupakan teman seatap, melihat dengan jelas bagaimana keadaan amalan sholih kita sebelum dan sesudah ramadhan. Idealnya setiap bulan penempaan nan mulia tersebut usai, maka pribadi insan yang menjalaninya makin baik, kualitas iman bertambah, ada banyak kebiasaan buruk yang sudah hilang, dan bertambah banyak kebiasaan baik yang rutin dilakukan.
Orang-orang yang beramal karena mengharap ketenaran dan kedudukan, tentu akan bermalas-malasan atau merasa berat, jika ada tanda-tanda ‘harapannya’ akan kandas. Orang yang beramal karena mencari muka di hadapan pemimpin atau penguasa atau atasannya, tentu akan menghentikan amalnya tatkala pemimpin tersebut turun dari jabatannya.
Sedangkan orang yang beramal karena Allah ta’ala tidak akan memutuskan amalnya, tidak mundur, dan tidak bermalas-malasan sama sekali meskipun banyak rintangan yang dihadapi. Sebab, alasan yang melatarbelakangi amalnya tidak pernah sirna, yaitu komitment kepada Allah ta’ala. Apalagi di kala ramadhan, contohnya seorang Fulan nan bersemangat di kota Krakow ini tetap berlari menuju masjid meskipun hujan malam itu, dan sesampainya di masjid, ternyata tak banyak yang datang, ia hanya berduaan sholat tarawih dengan seorang saudara Muslim. Setiap senggang si Fulan mengulang-ulang hafalan qur’annya di tengah kesibukan jadwal rapat dan laporan kerjanya, target-target Ramadhan termasuk khatam Al-Qur’an telah tercapai, subhanalloh. Dan di hari kemenangan, justru hatinya bertanya, ‘Bisakah kita tetap bernuansa Ramadhan yang indah tersebut?’ Yah, setidaknya komitmen sanubari menguntai nuansa indah tersebut.
Nuansa indah ketika nurani kita tabah dan ikhlas berlapar-lapar dan kehausan kala puasa, nuansa menyenangkan ketika berbuka puasa bersama keluarga, nuansa terjaganya lidah dari rumpian sana-sini, memelihara kualitas lisan, nuansa ‘perlombaan’ mengulang-ulang hafalan qur’an dengan sahabat sejati, nuansa hati penuh ketaatan pada-Nya, takut kalau melanggar rambu-rambu-Nya, nuansa kecintaan bersujud panjang yang lama di malam-malam ramadhan, menghemat uang belanja dan memangkas ‘budget buat hanging out’ agar lebih banyak dana untuk berinfaq, dan lain sebagainya, nuansa yang dalam ‘perhitungan kita’ bahwa nanti dapat reward double—berlipat ganda pahala-pahala-Nya. Oooh, sungguh egois hamba ini, Ya Robbi, jikalau Ramadhan usai, ketika pahalanya tak lagi ‘double’, maka amalan ibadah yang ada malah merosot kembali, apalagi istilahnya ‘kembali ke habitat asli’, padahal tak ada siapa pun yang bisa memprediksi bahwa diri ini akan berjumpa Ramadhan kembali?!
Dalam sebuah ayat-Nya, bermakna, "Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri’." (QS. Az-Zumar [39] : 11-12). Dan di semua bulan tetaplah kita berada dalam pengawasan-Nya, sungguh lucu dan aneh jika kita hanya ikhlas dan berserah diri pada-Nya di kala Ramadhan saja.
Dalam tausiyah sambutan iedul fitri 1432 H, Syekh Saleh al-Fouzan menyampaikan bahwa banyaknya muslim yang bersemangat beramal sholih saat ramadhan, tapi sangat disayangkan ketika Ramadhan berakhir, mereka berubah malas dalam beribadah. Kehidupan drastis berubah sebaliknya, kadang-kadang mereka bahkan meninggalkan kewajiban padahal biasanya menjaga lima waktu sholat wajib, mereka sibuk menyiapkan kemewahan hari raya, terlibat di tempat-tempat hiburan penuh ikhtilat, berbaur di taman, mall, café-café ‘beralasan perayaan’ Iedul Fitri.
Jadi, mereka menghancurkan apa yang mereka telah bangun, tiang-tiang penguat keimanan kala ramadhan, dan menghancurkan kualitas keikhlasan semasa bulan puasa. Ini merupakan indikasi lalai, lupa akan ‘bekal’ untuk hari akhirat.
Kita mohon kepada Allah ta’ala agar selalu menjaga dan membimbing kita untuk berada dalam ketaatan pada-Nya sepanjang hayat. Dalam ayat indah-Nya nan bermakna, “Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), Dan sembahlah Tuhanmu sampai kepastian (kematian/ajal) datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr [15] : 98-99), semoga kita tetap mengingat bahwa bulan kemenangan atau berhari raya bukanlah masa ‘lepas kendali’ usai ramadhan, sungguh rugi diri kita jika kondisi sucinya jiwa dilumuri kembali dengan bergunung dosa secara sengaja karena kelengahan godaan dunia yang makin meraja lela.
Akankah kita menjadi finalis-finalis Ramadhan di momen selanjutnya? Tiada yang tau kapan batas jatah usia kita, hanya kepada-Mu duhai Ilahi, kami memohon kesempatan berjumpa Ramadhan lagi, amiin.
Wallahu ‘alam bisshowab.
(bidadari_Azzam, @Krakow, 8 Syawal 1432 H)