Sudah sepuluh tahun lebih, usia sudah bertambah, tapi soal “memelestkan makna kata” masih tak berubah juga, itulah ciri khas teman SMU-ku, sebut saja Fulanah. Sebenarnya ia ramah, pandai bergaul dengan siapa saja. Namun pelesetan katanya sering berbau pornoaksi, membuat banyak teman ‘gak enakan’, tak nyaman di dekatnya.
Ada beberapa kalimat yang terdengar islami, tapi dia pergunakan di saat yang tidak tepat. Contohnya saja ketika teman kami kehilangan sandal di kala tarawih di masjid, “Waduh, ikhlaskan aja, yah teman…Innalillahi…”, bisik salah satu teman lainnya, menghibur.
Tapi sahutan si Fulanah lain lagi, “Kamu juga sih, sandal baru koq dipake’ ke sini…? Kan kamu tau bahwa kata pak ustadz ‘tinggalkanlah yang buruk, pertahankan yang bagus…’, jadi pasti ada orang yang ninggalin sandal bututnya nih, dan menukar dengan sandal baru kamu…hehehe”.
Lalu pada saat Fulanah naik motor pakai rok pendek, tiba-tiba roknya tersingkap, dan ada teman yang mengingatkannya, “Kamu jangan doyan nambahin dosa kayak githu donk… panjangin dikit kek kalo’ pake rok, atau pakai celana panjang aja kalau bermotor…”. Si Fulanah dengan lancar menjawab, “Sapa yang nambah dosa, neng..? Gue malah dapat pahala, yaaah sedekah lah sekali-sekali ini biar orang yang melihat kan cuci mata, segeran dikit githu…”, Astaghfirrulloh…
Sama halnya suatu hari ketika ada ujian di sekolah, pengumuman ujian dadakan, Fulanah dengan entengnya mengatakan kepada teman yang pintar, “Kasihanilah saya… gak belajar nih di bab itu, siapa yang mau nambah pahala dengan menconteki saya jawabannya…?”, idih, aneh tapi nyata, kadang-kadang merinding juga mendengar celotehan Fulanah, banyak kalimatnya harus disensor. Kalau “sukses” menggoda lawan jenis, Fulanah akan bilang “saya harus bersyukur atas karunia cowok ganteng…”, ckckckck.
Di saat ada yang bercanda dengannya, bercakap tentang neraka, “Ih Fulanah… ngomong kok gak hati-hati sih…? Mau tenggelam di neraka yah…?”, si A nyeletuk.
Dilanjutkan si B ikutan menyindir Fulanah, “Mungkin dia akan jawab begini, ‘gak apa-apa, asyik di Neraka dong, kan ketemu aktor dan artis favourite gue di sana, gak usah capek-capek minta tanda tangan’, hehehe”, hmmm, menohok banget deh sindiran si B, si Fulanah malah membahas ejekan itu dengan menjulurkan lidah dan menjambak rambut si B.
Tak disangka, sekarang si Fulanah sudah beranak dua, dan ternyata anak pertamanya lebih tua dari sulungku. Padahal selama ini, sepengetahuan teman-teman seangkatan sekolahku, aku adalah pioneer pernikahan muda, pertama kalinya di angkatan itu terdengar beritaku menikah saat baru masuk kuliah. Dan ternyata fakta yang ada, terungkap baru-baru ini, ada Fulanah dan dua teman lain yang menikah di tahun yang sama, tapi anak sulungnya lebih tua dari pada usia sulungku. Oooh, Astaghfirrulloh, ketiga teman itu bersama pasangannya ternyata melakukan MBA alias Married By Accident alias terpeleset ke lembah zina sebelum melakukan pernikahan sah. Dan ternyata dari hari ke hari di saat ini, prihal MBA di kalangan pemuda negeri sudah menjadi hal yang tidak langka lagi, duh, mengerikan! Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui dosa besar apa lagi yang lebih besar setelah membunuh jiwa selain dari pada dosa zina.”
Terpeleset makna kata dalam gaya gaul sehari-harinya ternyata diteruskan Fulanah dengan terpeleset pada perbuatan zina, ‘pergaulan’ yang keliru. Sungguh mahalnya nikmat hidayah Allah ta’ala, kita selalu diingatkan bahwa mendekati zina (dengan ber-khalwat nonmahram) adalah haram, dan dalam berucap pun harus memelihara lisan, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir (Kiamat), hendaklah ia berkata yang baik atau diam…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ada hubungan antara lisan dan akhlaq tentunya, sebagaimana kita ketahui bahwa orang-orang yang senantiasa merasa dalam pengawasan Allah SWT, selalu menjaga pembicaraan atau lisan, disamping berpikir dan senantiasa berdzikir sebelum bersikap.
Satu contoh ketika saya masih kuliah dan berkunjung ke tempat tetangga yang baru usai bersalin. Sang ibu bercerita bahwa di saat berada di ruang perawatan usai bersalin, ada ibu X yang baru masuk ruang persalinan. Ibu X ‘terkenal’ dengan sikap ketus dan kurang menjaga pergaulan terhadap lawan jenis. Tanpa sengaja, terdengarlah jeritan ibu X dari ruang persalinan kecil itu, yang keluar dari mulut ibu X ketika merasa sakit akibat kontraksi dan mengejan adalah kata-kata kotor dan tak pantas diucapkan, bahkan menyebut-nyebut hinaan kepada suaminya sendiri, semisal, “br**ngsek laki-laki cuma menanam benih doang, sakiiiit…. Bla bla…”, dan ucapan kotor lainnya. Padahal untuk menjaga kekuatan tubuh dan menyimpan energi, ketika kontraksi rahim, seorang ibu harus mengatur pernafasannya. Menjerit-jerit dan mengomel (apalagi berkata-kata kotor) adalah membuang energi dan bisa mengganggu pernafasan. Banyak berdo’a dan mengingat Allah ta’ala tentulah akan menentramkan jiwa.
Allah ta’ala menyatakan dalam firman-Nya, "(Yaitu) ingatlah ketika dua malaikat mencatat amal (perbuatannya), seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu kata pun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat)" (QS. Qaf [50] : 17-18). Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari bahaya lisan ini.
Semoga memperoleh manfaat, menambah keimanan & rasa optimis pada-Nya, Wallahu ‘alam bisshowab. (bidadari_Azzam, @Krakow, Selamat mempersiapkan diri akan datangnya bulan suci nan mulia, malam 2 juli 2011)