Mami xyz memang punya kenangan pahit di usia remaja hingga dewasa muda. Latar belakang dan alur hidupnya sangat tak mengenakkan. Sehingga mudah sekali emosinya meninggi, “ngamukan” istilah orang-orang, terutama kepada seisi keluarga, yaitu suami, anak-anak dan pembantu rumah tangganya. Meskipun sempat tinggal di pondok mertuanya, kebiasaan itu tetaplah tak berubah, walhasil terbawalah adab-adab kemarahannya hingga hampir berusia senja. Saya pernah ikutan kena ‘getahnya’, Mami xyz termasuk orang yang harus selalu kuhormati, dan ternyata melalui dia jugalah ada “pelajaran hidup” yang bisa kupetik, termasuk tentang kesabaran dan keikhlasan menerima caciannya.
Tak sanggup kutuliskan segala caci maki yang dikeluarkan mami xyz pada sang suami, anak-anak, bahkan mertua dan sang pembantu, hingga pembantu rumah tangganya berganti-ganti lebih dari dua puluh kali dengan alasan ketidak-betahan di rumahnya. Sungguh kita akan tertipu dengan sikap manis dan ramah beliau terutama jika beliau berhadapan dengan rekan-rekan di kantor tempatnya bekerja. Sedangkan di rumah, menempeleng suami, anak, pembantu adalah hal biasa. Melempar barang ke arah orang-orang tercinta adalah perbuatan yang sering dilakukannya. Menuliskan SMS dengan hinaan dan menyebut lawan bicaranya dengan bahasa kebun binatang atau ‘setan iblis’ adalah hal yang sering ia kerjakan, naudzubillahi minzaliik.
Puluhan tahun hidupnya tak ada yang memberikan nasehat, tak berani barangkali. Undangan pengajian di RT atau RW, dll selalu dirobek dan dibuang ke tong sampah, bahkan sering langsung dibuang tanpa dibuka amplop undangannya apalagi dibaca. Sungguh menyedihkan keadaan “hampa hatinya”, jauh dari hidayah Allah SWT serta sinar kebaikan semesta.
Satu dasawarsa lalu, akhirnya sang anak sulung yang sudah dewasa dan sudah lelah dihina melulu memilih mengambil sikap tegas, dia sudah capek menghadapi si mami yang kasar, yang tiada henti-hentinya mengadu domba keluarga, kemudian tak segan-segan memfitnah hingga menyuruh menceraikan istri si anak, bahkan mami pernah mengumbar kalimat, “Pokoknya mami gak sukaaaaa sama istri kamu! Ceraikan dia atau anggap aja mami sudah mati!”. (Mengerikan sekali, naudzubillahi minzaliik). Sikap yang diambil si sulung itu adalah diam, yang biasanya menanyakan kabar lalu diajak berdebat setiap saat, atau biasanya menelepon guna tetap mengakrabkan diri—namun disambut hinaan yang tak berujung, akhirnya pilihan diam adalah jalan terbaik. Tak digubris lagi SMS dan telpon dari si mami. Hingga suatu hari di tahun kedua hubungan jauh ortu dan anak tersebut, mami xyz bertanya, “Ada apa, kok sekarang kamu berubah? Pasti pengaruh istri kamu yah?”, pertanyaan yang masih penuh prasangka buruk pada anak-anaknya.
Sang anak menjawab SMS maminya, “Tak ada yang berubah, tak ada yang mempengaruhi. Mami akan memahami sikapku dan dapat dekat dengan keluargaku jika mami mendekatkan diri pada Allah SWT, itu saja.” Ternyata mami xyz belum juga berubah, satu contoh ulahnya suatu hari ia mencari tau kantor si sulung itu. Ia temui rekan-rekan kerja anaknya, dan menghadap kepada boss anaknya untuk meminjam dana (yang jumlahnya cukup besar) dengan alasan sakit. Entahlah aliran cerita detailnya tak terlalu jelas kenapa sang boss dan rekan-rekan kerja si sulung bisa terpedaya mami xyz ini, waktu itu sang anak harus dinas di luar negeri. Jadi anaknya ini benar-benar tak tau prihal pinjaman tersebut, tidak menyangka bahwa si mami tega melakukan itu. Namun atas ulah mami xyz, di beberapa bulan setiap gajian, gaji sang anak sampai harus dipotong berjuta-juta rupiah, hingga si sulung dan istrinya lumayan syok sebab dana perbulan yang mereka bisa gunakan jadi amat menipis, bahkan untuk transportasi sehari-hari di Jakarta pun tak mencukupi lagi, apalagi buat membeli keperluan si kecil dan kebutuhan sehari-hari.
Sungguh dahsyat cobaan buat mereka, jikalau ada banyak peristiwa di media massa tentang penipuan dan sakit hati oleh rekan bisnis atau teman, pastilah lebih menyakitkan jika ditipu dan disikapi jahat oleh orang tua kandung sendiri. Bersyukurlah kita yang memiliki orang tua sholeh, beriman padaNYA, yang menjaga dan mendidik kita hingga kini. Tahukah engkau apa alasan mami xyz melakukan itu? Katanya “Saya marah… saya marah banget sama si sulung dan istrinya itu! Rasakan kemarahan saya, rasakan kesusahan mereka!”, bayangkan saja seperti wajah-wajah pemeran antagonis di sinetron televisi Indonesia kalau sedang merasakan ‘kemenangan’ saat kemarahannya terlampiaskan.
Suatu hari ibunda mami xyz meninggal dunia setelah beberapa hari terbaring sakit. Beliau sempat menitipkan nasehat-nasehat kepada anak-anaknya, yang mungkin masih diresapi oleh si mami. Sepulang dari pemakaman, mami xyz bercermin, ditatapnya kaca itu lekat-lekat, ada bulatan hitam melingkar di matanya (benar-benar mirip tokoh antagonis di film-film lah wajahnya), dipandangnya guratan-guratan penuaan pada dirinya, yang kini telah kehilangan ibu yang dikasihinya. Serta merta tubuhnya makin lemas, dan beberapa hari ia harus terbaring pula, harus istirahat akibat kondisi kesehatannya menurun. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Apa saja musibah yang menimpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura [26] : 30)
Tak berapa lama sejak peristiwa itu, mami xyz menggunakan kerudung, katanya hal tersebut adalah nazar yang sudah diucapkannya atas kesehatan diri serta kelulusan anak bungsunya memasuki sebuah PTN di Jakarta. Semoga perubahan mami xyz benar-benar karena memperoleh dan memeluk hidayah Allah SWT.
Sementara keluarga si sulung yang senantiasa dilimpahi keberkahan Allah SWT, selalu dilipat-gandakan rezeki-NYA, telah lama pula memaafkan mami xyz. Namun adalah sebuah noktah atau suatu bingkai cinta yang dibangun telah porak-poranda, maka saat telah bermaafan pun, bangunan berbingkai itu tak bisa utuh semula, banyak polesan plesteran, bekas robekan disana-sini bagi hati nan terluka, itulah “buah kemarahan nan tak terpuji”.
Adapun perbuatan si sulung merupakan contoh kemarahannya yang terpuji, kemarahan karena Allah SWT, karena al-haq, dan untuk membela agamaNya. Khususnya ketika perkara-perkara yang diharamkan Ilahi telah dilanggar. Orang tua adalah manusia biasa, pernah salah, keliru dan berdosa. Ini adalah catatan buat kita, dalam mendidik anak-anak, jangan sampai “sok kuasa”, anak-anak kita adalah amanahNYA, bukan “anak buah” atau pesuruh sebagaimana “bawahan kita” di kantor. Usia tujuh tahun pun, zaman ini, anak-anak bisa berargumentasi, dan kadang-kadang memang perkataan anak kecil pun adalah benar, misalkan saat Abang kecilku mengingatkan abinya, “Kok abi sholat maghribnya baru jam sekian sih…? Kan adzan tadi udah lama…?” (nah, lho…). Lalu dijawablah oleh abinya dengan alasan yang memang agak memalukan, “Iya, tadi abang duluan, gak nunggu sih, jadi abinya sampai hampir lupa… maaf yah, tadi email kantor harus segera dibalas…he he…”. Orang tua bisa khilaf, lupa, manusiawi.
Sedangkan tabiat amarah mami xyz janganlah ditiru, kemarahannya sungguh tercela, amarah yang merupakan ego diri tak terkontrol akibat perkara dunia. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Berilah wasiat kepadaku.” Nabi menjawab,“Janganlah engkau marah.” Laki-laki tadi mengulangi perkataannya berulang kali, beliau (tetap) bersabda,“Janganlah engkau marah.” (HR. Bukhari)
Jika kemarahan mengendalikan seseorang, maka segala organ tubuhnya tidak terkontrol, lidah tak hentinya mengumbar makian, tangan memukul, kaki menendang, dan pertumpahan darah bisa terjadi. Ada banyak peristiwa seperti itu di sekeliling kita, termasuk diri kita sendiri jika lupa berta’awudz dan berwudhu, Allah SWT mengingatkan kita, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali ‘Imran [3] :133-134)
Ada pula berita tentang sosok dua sahabat baik, yang suatu ketika mereka berdebat hebat, tak ada yang mau terkalahkan, hingga salah satunya mengambil pisau di rumah dan membunuh sahabatnya tersebut. Sungguh tragis, kehilangan sahabat baik, dikuasai amarah, kehilangan kebebasan dengan harus mendekam di balik jeruji besi pula. Kalaulah sempat mendinginkan kepala, merunut-runut kejadian, bisa saja penyebab amukan kemarahan itu dikobarkan oleh pihak lain, dibumbui fitnah, dll. Semoga kita dapat mewaspadai prihal kemarahan ini, sebagai hambaNYA yang selalu menggali hikmah, kita ingin diri ini selalu berada dalam pengendalian dan bimbingan sejati dari-NYA.
Adapun baginda Rasulullah SAW memuji orang-orang yang mengendalikan diri, Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Siapakah yang kamu anggap sebagai shura’ah (orang kuat, jago gulat, orang yang banyak membanting orang lain)?” Kami menjawab,“Seseorang yang tidak dapat dijatuhkan oleh orang lain.” Beliau bersabda,“Bukan itu, tetapi shura’ah yaitu orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Muslim No. 2608)
Wallohu ‘alam bisshowab.
(bidadari_Azzam, Krakow, salam ukhuwah, 8 maret 2011)