Bergulirnya waktu, tamu yang dirindukan itu hadir kembali, bulan suci ramadhan, yang bagi setiap orang beriman selalu menjadi penge-charge diri. Cita-cita mencapai target-target di bulan penempaan itu selalu hadir dalam pribadi-pribadi manusia yang menginginkan kecintaan-Nya, ramadhan dihadirkan untuk membentuk manusia yang bertaqwa (sebagaimana yang kita hayati dalam QS.Al-Baqarah [2]: 183).
Ramadhan bulan pembinaan, bulan peningkatan kesabaran, bulan penuh momen indah sebagai kenangan, bulan panen berlipat ganda amalan kebaikan, bulan berbonus-bonus reward-Nya, dan berbagai sebutan hebat lainnya bagi hamba-Nya yang ingat akan akhirat.
Sempat seorang Maimunah bertanya kepada ketua komunitasnya saat rapat penutupan acara bakti sosial ramadhan, “Kak, sebagaimana yang diutarakan Ananda Hasan, Sholeh, dan teman-temannya, mereka merasa ramadhan adalah bulan dambaan, mereka dikirimi makanan, dikasih uang buat beli buku, diajak belajar bersama, mereka senang sekali, namun mereka bertanya ‘cuma bulan ramadhan aja yah, acara bakti sosial buat anak jalanan semacam kami, kak?’, Duh, saya juga ikut sedih mendengarnya. Bisakah saya usulkan agar kita adakan pula acara semacam ini seusai ramadhan, meskipun tidak sering, setidaknya di jadwal liburan sekolah atau beberapa bulan sekali, kita pun punya waktu luang, kan?”, harapan yang sungguh besar, Maimunah menyayangi adik-adik asuhnya,jua para jompo yang mereka santuni, juga sekumpulan eks-TKW, dll, tapi Maimunah juga memahami kesibukan yang luar biasa, aktivitas padat rekan-rekan dan kakak-kakak seniornya membuat mereka ‘hanya’ leluasa berkiprah di bulan ramadhan.
Beberapa seniornya menjawab ide Maimunah dengan jawaban klise, “Inginnya sih begitu, dik. Tapi kita belum bisa melakukan kegiatannya seusai ramadhan, dan memang donatur hanya ramai di bulan ramadhan. Mungkin nanti suatu saat, ide itu bisa kesampaian…”.
Semoga saja suatu hari, ide Maimunah memang berhasil kesampaian, amiin, minimal dilaksanakan oleh pribadinya sendiri. Pada kenyataannya, Islam mengajarkan kepada kita tentang kepedulian, simpati dan empati kepada sesama, namun tak hanya di bulan ramadhan. Justru orang-orang yang gemar sedekah biasanya tak ‘menebar pundi-pundi harta’ menolong sana-sini tatkala ramadhan saja, mereka juga sudah terbiasa melakukan amalan tersebut di sebelas bulan lainnya. Bahkan terbiasa menahan lapar tatkala puasa sunnah, terbiasa mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan kesenangan diri sendiri, karena orang-orang mukmin laksana satu tubuh, bila satu dari anggotanya sakit, maka seluruh tubuh turut mengeluh kesakitan dengan merasa demam, lidah kelu tanpa selera makan dan tidak bisa tidur di malam hari.
Sebagaimana wasiat rasul-Nya, Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radhiyallahu anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak beriman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya (sesama muslim) seperti ia mencintai dirinya sendiri”, (HR.Bukhari dan Muslim)
Posisi para penguasa negeri yang makin luwes dan ahli ‘menata’ peraturan, kian pintar mengimport bahan makanan dari luar negara manakala subsidi kepada petani maupun peternak malah dilupakan, hal itu membuat para ‘ber-uang’ tambah kaya harta bendanya, sedangkan rakyat jelata kian susah, terjepit kemiskinan dan terlilit utang. Di antara mereka tentunya masih punya asa, terutama di bulan mulia ini, harap-harap pintu hati para penguasa segera terbuka, bertaubat nasuha serta kembali kepada jalan yang lurus, meninggalkan syahwat korupsi dan memperbaiki keadaan rakyat jelata pemberi amanah.
Semua kita tentunya ingin memiliki pemimpin yang mengayomi rakyat, mengencangkan ikat pinggang dan menata peraturan yang berpihak demi maslahat rakyat kecil, memiliki empati dan rasa simpati nan tinggi kepada permasalahan ummat. Sebagaimana sang khalifah Abdullah bin Umar, suatu kisah disampaikan Abu Khubaisy kepada murid-muridnya. Pada suatu hari Abdullah bin Umar, khalifah yang terkenal sebagai pembangun Baitul Maqdis, terserang penyakit. Para asisten beliau sangat mengkhawatirkan umur khalifah karena penyakitnya itu. Ternyata, Allah SWT belum berkenan memanggil beliau ke haribaan-Nya. Khalifah berangsur-angsur pulih hari demi hari.
Setelah kondisi kesehatannya membaik, sang khalifah amat berkeinginan untuk menyantap ikan panggang. Mendengar keinginan itu, para asisten langsung mencari ikan dan memanggangnya. Hidangan ikan panggang yang aromanya begitu harum memikat, meningkatkan selera makan khalifah. Ia ingin segera menyantap ikan lezat.
Pada saat khalifah akan memulai makan, tiba-tiba muncul seorang musafir yang tampak sangat capek dan kelaparan. Serta-merta, (tanpa menunda-nunda) Khalifah Abdullah bin Umar menyuruh asistennya segera mengangkat hidangan yang ada di hadapannya dan memberikannya kepada si musafir. Perintah itu membuat para asistennya protes sebab merasa jerih payah mereka tak dinikmati khalifah. Mereka sangat mencintai sang pemimpin tersebut dan ingin menyenangkan hatinya.
Mereka keberatan kalau makanan itu diberikan kepada musafir tadi. "Hidangan ini dengan sengaja kami buatkan untuk tuan paduka dan sesuai dengan pesanan tuan. Namun, mengapa diberikan kepada musafir itu?", ujar asistennya.
Khalifah menyampaikan penjelasan kepada asistennya mengapa ia tidak jadi menyantap hidangan itu, berharap dimaklumi oleh para asistennya.
"Wahai pembantuku, tahukah kamu bila aku memakan makanan ini, maka sebetulnya itu aku lakukan karena aku menginginkan dan amat menyukainya. Tetapi, bila musafir itu memakannya, itu karena ia benar-benar sangat membutuhkannya. Jadi, sesungguhnya makanan itu lebih berharga bagi dia daripada untukku," katanya. Subhanalloh…
Kalian sekali-kali tidaklah memperoleh kebajikan sehingga kalian menyedekahkan apa-apa yang kalian senangi. Alangkah indahnya keteladanan yang diberikan khalifah bijak tersebut, semoga kita pun dapat kian berempati dan memetik hikmah yang besar tatkala masih memperoleh nikmat-Nya "melepas kerinduan", menjalani ramadhan kali ini, insya Allah.
(bidadari_Azzam, @Krakow, di penghujung malam 28 juli 2011)