Ingatanku melayang pada peristiwa beberapa tahun silam, kala semakin lancar rezeki yang dilimpahiNya, semakin mudah menapaki tangga demi tangga cita-cita, semakin pandai menyelesaikan benang-benang kusut problema sehari-hari, ternyata bisa membuat hati memiliki celah untuk sombong.
Pernahkah kalian merasakan itu ? Saat prestasi terus menanjak, lalu memandang dengan mudah segala kejadian, "nanti mudah…gampang, setelah ini… Saya akan begini, lalu kesini… lalu begini… seterusnya… dan begini… I did it!", Astaghfirrulloh…
Kita sering terlupa bahwa menit berikutnya belum tentu sesuai dengan apa yang kita perkirakan, seteliti atau secermat apapun kita membuat perencanaan, jadwal dan program yang matang ternyata bisa berubah drastis, sebab Dia-lah Sang Maha Pengatur, Maha menetapkan skenario terindah untuk seluruh makhlukNya.
Suatu hari di sudut Jakarta, biasanya daerah ini tidak pernah banjir, aman dan nyaman, becek-becek pun jarang. Dan pagi itu setelah suami berangkat ke kantor, Saya dan si sulung beres-beres rumah seraya memasak. Seusai sarapan bersama, kami mandi, rapi-rapi, membuat kue, menata kamar, dan menelepon taksi, bersiap menyambut kedatangan keluarga dari provinsi lain.
Kami akan menjemput kakak dan adikku di bandara yang akan ‘temu kangen’ dan menghabiskan liburan bersama. Sudah kubuat sedemikian rupa ‘jadwal jalan-jalan’ sejak hari itu, esoknya dan beberapa hari ke depan. Memang merancang jadwal seperti itu sudah jadi kebiasaanku sejak duduk di bangku SD, hal ini menghindari efek sifat pelupa sebagai manusia biasa.
Lima menit berlalu saat Saya menanti taksi di teras, tiba-tiba hujan deras diiringi petir. Supir taksi menelepon, "Saya masih di daerah anu, bu…macet, masih lima belas menit lagi, maaf bu…" Saya pun masuk kembali ke dalam rumah, menutup pintu dan menguncinya. Namun kali ini, hujan itu terasa lain, nurani berkata begitu.
Saking derasnya, sepuluh menit saja, jalanan komplek sudah banjir. Dan tiba-tiba si sulung menjerit-jerit, "ummiiii, ada kecoak banyak… wuaaaargh!", kulihat sudah banyak lipas di sudut pintu samping rumah, dan lima menit berikutnya sulungku lompat ke atas sofa kecilnya, ada air bah tiba-tiba masuk dengan derasnya dari celah bawah pintu.
Innalillahi wa innailahi rojiuun, menit berikutnya suasana rumah langsung berubah, yang tadinya cantik, apik, tertata, langsung ibarat kapal pecah.
Seraya menggendong buah hati, kuselamatkan benda-benda yang ada di lantai, dan kebanyakan benda sudah berayun-ayun bagaikan kapal-kapal kecil mainan anakku. Ooooh, hari itu adalah hari yang berat.
Saya telepon ke kantor suami, kuuraikan cerita air bah itu, tentunya dengan air mata tak terbendung, ditemani jerit ketakutan sulungku yang baru berusia dua setengah tahun. Suamiku segera pulang, sementara itu para tetangga datang. Tetanggaku bercerita bahwa ada pipa yang lupa ditutup di parit ujung rumah, termasuk saluran pipa ke dalam rumahku sehingga meluncur deraslah air itu.
Ibu Rukun Tetangga juga memberi info bahwa pihak RW lengah, lupa mengeruk aliran sungai, sehingga obrolan menjadi ramai, merunut-runut tentang iuran warga yang sudah diserahkan setiap tahun untuk mendanai pengerukan aliran sungai dan parit-parit. Saya tak dapat konsentrasi mendengarkan obrolan mereka.
Saya sibuk dengan kemelut pikiran bahwa saudaraku menunggu jemputan di bandara, kasihan mereka saat tiba di rumah malah nantinya harus membantu membersihkan rumah.
Sambil memperhatikan anak-anak tetangga yang sibuk membantu memunguti barang-barangku serta memindahkan kulkas yang tenggelam—yang baru saja seminggu dibeli dari uang tunjangan hari raya, kuangkat telepon yang berdering, ternyata supir taksi sudah menanti di ujung jalan, tak bisa masuk karena ketinggian banjir.
Kunanti sesaat suamiku, setelah ia datang—kami bergegas naik taksi menuju bandara. Alhamdulillah selanjutnya kami berjumpa dengan saudariku, perjalanan pulang ke rumah diliputi cerita haru anakku yang baru pertama kali melihat ‘banjir mendadak’ dan derasnya air bah, apalagi dia sempat melihat tikus got mondar-mandir serta kumpulan kecoak, heboh sekali ceritanya. Miris.
Tentu saja anakku juga dengan gaya khas yang kocak berkata, "nanti bunda dan tante bantuin ummi yah, kita beres-beresin rumah lagi…", katanya kepada saudari-saudari kandungku itu. Dan dengan ingatan yang kuat ini, ternyata sampai sekarang yang ia ingat tentang Indonesia adalah ‘kebanjiran’.
Jadwal yang tersusun ‘secermat’ mungkin tentu harus berubah. Subhanalloh, teguran-Nya indah sekali. Beberapa hari setelah itu, saat saya dan kakakku membersihkan ‘perpustakaan kecilku’, tak hanya kelu lidah ini melihat hancurnya koleksi buku dan kitab kuliahku—apalagi buku yang lama, ada yang tidak diterbitkan lagi, namun juga saya merasa tersindir akan ayat-Nya,
"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. Al-Hadiid [57] : 22)
Yah, segalanya mudah bagi Allah SWT. Dan tentunya kita sudah sering mengingat bahwa segala yang terjadi dalam perjalanan hidup, tak lain berisi tentang pelajaran dan hikmah yang dikirimkan sebagai tanda cinta dari-Nya. Hanya mata hati yang beriman, yang senantiasa optimis pada ketetapanNya yang dapat melihat sisi lain atau sudut pandang terindah dalam suatu peristiwa.
Satu kejadian pedih ‘di luar prediksi’ pula, yang terjadi tepat tiga tahun lalu. Hari Jum’at, Saya ingat betul-betul, paginya kami mengadakan farewell party kecil-kecilan di sekolah TK anakku, di Bangkok.
Pulangnya, suamiku harus ke kantornya untuk menyerahkan semua dokumen, laptop perusahaan, kartu-kartu asuransi keluarga dan bersalaman pamitan dengan rekan-rekannya. Sementara Saya dan si kecil pergi berbelanja keperluan, lalu berniat pulang ke rumah untuk melanjutkanpacking.
Dalam waktu 2 X 24 jam kami akan meninggalkan Bangkok, pindah ke Kuala Lumpur. Semuanya terencana, kami membuat jadwal rapi dan matang hingga detail kurs mata uang, bekal makanan anak di saat menanti jadwal terbang, dan jadwal taksi ke bandara sudah ‘ditetapkan’.
Acara "Good-Bye and See You, Friends" bersama teman-teman WNI sudah terlaksana. Dalam pikiran kami sudah terbayang terbang sekeluarga dengan asyik (biasanya setiap bepergian kami terbang selalu terpisah-pisah, suami terlebih dahulu berangkat—lalu anak istri menyusul), terlintas keindahan tempat tinggal yang baru serta kemudahan dalam mencari menu makanan halal sehari-hari.
Jalan-jalan yang tidak bertumpuk debu sebagaimana di Thailand, juga ‘bakalan senang’ menikmati servis hotel yang nyaman saat pertama kali tiba. Namun, lagi-lagi, Allah SWT punya skenario lain.
Sepulang dari belanja siang itu, pukul satu siang usai makan, Saya kembali merapikan barang-barang, mencuci piring, menyapu dan mengepel. Selanjutnya Saya mandi, dan menjeritlah saya sambil berurai air mata karena panik, "Ya Allah… toloooong, ya Allah…", Saya perhatikan air yang mengalir itu adalah darah semua.
Rasanya kepala berputar-putar karena belum menyadari apa yang terjadi, darah… darah… ternyata darah berasal dari dalam tubuhku. Kuraba perutku, janin yang telah lama dinantikan abangnya ada disitu—berusia 16 minggu, sudah beberapa hari lalu ia mulai bergerak di sana.
Segera kuambil handphone, tapi ternyata pulsanya sudah habis, tidak diisi lagi karena besoknya toh mau pindah. Untungnya telepon rumah masih aktif, tapi hanya untuk menelepon nomor lokal, tak bisa menelepon hp suami. Dalam kepanikan itu, saya ingat nomor Mbak Kania, sohib sekaligus seniorku yang shalihat.
Nomor teleponnya memang nomor unik sehingga mudah diingat. Alhamdulillah beliau langsung menjawab dan Saya langsung utarakan kebingunganku, "Mbaaaaak… tolong, Saya lagi mandi… aduuh, tapi berdarah-darah semua… Saya gaktau nih, mbak… Tolong telepon suami mbak agar menyampaikan ke suamiku supaya segera pulang, saya harus ke rumah sakit…", suami beliau sekantor dengan suamiku.
Tanpa ba-bi-bu, mbak Kania segera menenangkanku dan menyuruhku agar bersiap ke emergency, ia selanjutnya langsung mengabari suaminya agar melanjutkan info tsb kepada suamiku.
Dan beberapa menit kemudian suamiku segera pulang, kami semua ke emergency, sungguh saat kebetulan dokter kandunganku sedang berada di ruangannya. Langsung dia mengecek janinku dengan ultrasound, tiba-tiba mimik mukanya mengencang… dia ulangi lagi pengecekan sebanyak dua kali, sehingga saya makin lemas apalagi akhirnya dia berkata, "jantungnya tak terdengar lagi…"
"Allah… Allah… Allah…", lemas saya, hanya dapat menyebut nama-Mu ditengah rasa panik-bingung dan ketakutan yang amat sangat.
insya Allah bersambung…
(bidadari_Azzam, Krakow, 7 desember 2010, Selamat Menikmati segala peristiwa hidup, saudara-saudariku…)