Ada kebiasaan-kebiasaan baik yang ditularkan masyarakat Krakow pada kami, mereka lebih disiplin, terutama saat Polandia telah bergabung dengan Uni Eropa beberapa tahun lalu.
Untuk pembuangan sampah, ada kotak warna-warni yang tersedia di setiap blok appartemen, warna hijau, kuning, dan biru, kadang-kadang di tempat lain, warna kotak di cat berbeda pula.
Di depan kotak, masing-masing bergambar sebagai petunjuk pembuangan : sampah kering berupa kertas, sampah plastik dan botol plastik, serta gambar botol kaca atau barang-barang yang terbuat dari kaca. Sedangkan sampah basah ditempatkan di “ruang sampah” masing-masing appartemen.
Di persimpangan jalan setiap kali akan membuang sampah di kotak-kotak itu, saya sering bertemu seorang pak tua, ia mencari-cari botol di salah satu kotak berwarna itu. Penampilannya sederhana, tapi bersih. Sepedanya sudah berkarat disana-sini, seperti sepeda zaman tahun ’70-an kalau di Indonesia, namun beliau nampak bersemangat dengan kesibukannya setiap sore itu.
Saya teringat sepeda miniku yang menemani hari-hari zaman sekolah, sepedaku masih lebih bagus dari sepeda beliau ini, tapi di Indonesia, waduh, setiap harinya sepedaku jadi bahan olok-olok teman, “idiiih, masih juga dipake’ sepeda bututnyeee, minta beliin babe donk, kan juara satu, harusnya ada hadiah dooonk…”, dan gurauan semacam itu, tapi Saya tidak marah pada si teman meski sakit hati, orang tuaku tetaplah kubanggakan, kasih sayang mereka tak bisa diukur dengan hadiah sepeda baru donk.
Sebenarnya, di Krakow sini kadang-kadang ada pengemis, di sudut pintu galleria (mall), namun hanya satu atau dua orang, dan hanya “nongkrong” dua atau tiga jam, sebab di jam-jam keramaian turis, mereka langsung diusir oleh para polisi yang berjaga-jaga.
Di antara yang sering “nongkrong” itu, Saya ingat wajah seorang nenek, sudah tua sekali mungkin 80-an usianya, tapi alangkah sedihnya nasib di usia setua itu, ia sering berdiri di sisi “sampah pembuangan puntung rokok”, di depan pintu galleria.
Beliau tidak meminta-minta secara langsung, hanya matanya menampakkan permohonan seraya menengadahkan tangan ke setiap orang yang lewat di situ, dan jika orang tersebut hanya membuang puntung rokok, si nenek ini langsung mengambil puntung rokok tersebut sebelum apinya padam. Ia langsung menghisapnya!
“Ya Allah… sebegitu kecanduankah si nenek terhadap rokok ? Naudzubillahi minzaliik”, bisik hatiku.
Berbeda dengan lelaki tua di persimpangan itu, ia hanya sibuk mengumpulkan botol-botol di kotak, perhatiannya begitu serius pada apa-apa yang dipilihnya. Sehingga beberapa kali bertemu dengannya, anakku hafal dengan wajah bapak itu. Dan pernah beliau ikut membantu memasukkan botol-botol bekas yang kami buang ke kotak-kotak tersebut.
Suatu hari sepulang menemaniku belanja, sulungku itu berbisik, “mi… boleh gak kita kasih satu roti ke pak tua itu?”,
“Tentu boleh. Itu tadi kan roti pilihanmu kita beli dua, kasih ke bapak itu satu, dan minumannya juga. Siapa tau beliau belum makan yah nak…”, sambutku senang.
Si sulung segera mengambil roti dan sebotol air minum dari kantong belanjaan kami, lalu ia berikan kepada pak tua itu, “dla Pana…”, sulungku berkata sambil tersenyum. (Untuk bapak, artinya dalam bahasa lokal).
Pak Tua itu bingung, beliau menoleh kepadaku, “Ada apa ini, bu…?”, dia bertanya dalam bahasa Poland. Saya hanya menjawab singkat, “Anakku ingin berbagi roti dengan bapak”.
Lalu pak tua itu mengembalikan roti ke tangan anakku, “Saya sudah makan nak, tak usah, terima kasih…”, anakku jadi bengong dan bingung,
Kemudian Saya lebih mendekat pada keduanya, “Kalau sudah makan, dibawa pulang aja, pak… anak saya memang hanya ingin membagi roti ini, ambillah pak…”.
Lalu pak tua tersenyum, “dzięki… dzięki”, (trims maksudnya), kemudian beliau meneruskan dengan kalimat, “lain kali, tidak perlu yah, nak… kamu harus makan banyak”, katanya pada sulungku.
Setelah saling melambaikan tangan, kami pun segera masuk ke dalam appartemen, pikiranku dan anakku sama, kok pak tua itu menolak pemberian kami yah, hmmm, mungkin begitulah cara “menjaga harga diri”, toh dia memang bukan pengemis, dan jika sekali waktu pernah menolong kami, memang beliau lakukan dengan tulus. Ya Allah, semoga yang dilakukan sulungku juga adalah bersumber dari ketulusan hati, do’aku.
Lantas Saya jadi teringat waktu pertama kali pindah kesini, ada petugas pemasangan kabel untuk keperluan “pilihan channel” televisi. Semua urusan pembayaran adalah murah dan mudah (dilakukan via internet), tapi ada kontrak tertulis yang harus dipatuhi, jika kami pindah sebelum masa pilihan channel itu habis, maka wajib membayar denda yang jumlahnya lumayan besar. Tentunya kami sudah memikirkan untuk menghabiskan masa kontrak itu, supaya tak didenda oleh jasa layanan pilihan channel tersebut.
Pada saat dua orang petugasnya datang ke appartemen, badai salju sedang turun. Mereka datang tepat waktu sesuai yang dijanjikan. Lima menit beramah tamah sesaat sambil melepas sepatu dan mantel mereka. Lima belas menit, selesai tugas mereka.
“Apakah kalian mau minum kopi atau teh dulu?,” tanya suamiku. Mereka menolaknya, dua petugas itu segera memakai jaket tebal dan bersiap-siap bersepatu untuk segera keluar.
Saya hanya merasa ingin memberikan balasan yang lebih baik atas ketangkasan dan keramahan mereka dalam bekerja. Maka Saya berikan uang 10 zl (PLN) dua lembar ke tangan suami, “kasih tip aja bi…”, bisikku.
Ternyata saat suamiku menyerahkan uang tersebut, dua petugas ini menolak mengambilnya. “kan anda sudah bayar pak…”, begitu kata salah satu petugasnya. Suamiku menjelaskan bahwa ini hanya tip atas kerja mereka. “Oh, no…kami tidak menerima tip, pak. Ini sudah tugas kami, gratis pak saat pemasangan kabel ini”, kata mereka.
Suamiku menjelaskan lagi bahwa ia tahu kalau pemasangan kabel adalah gratis, dan sudah selesai tugas mereka, dan uang itu hanyalah tip saja buat mereka. (lumayan buat nambahi ongkos bus, kira-kira begitu biasanya kita berpikir). Namun ternyata dua petugas ini tetap menolak, “Maaf pak. Semua pelayanan kami gratis, yang dibayar resmi hanya yang bapak bayar via internet. Maaf, kami tak bisa menerimanya. Tidak boleh pak, semua tugas yang kami lakukan sudah digaji…”, seraya mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal, mereka bergegas keluar dari gedung appartemen.
Saya dan suami masih melongo di depan pintu, berasa salut banget dengan mereka, sekaligus merasa bersalah, “Wah… jangan-jangan tip-tip yang seperti ini memang bisa jadi besar masalahnya, tak berbeda jauh dengan sogok-menyogok, yah…”, ujar suamiku.
“Padahal kita khan cuma ingin ngasih infaq, yah sedekah aja yah bi…gak ada maksud apa-apa”, sahutku.
“Iya, subhanalloh, mereka sudah disiplin sekali. Kita yang salah, sedekahnya kan harus menggunakan jalur resmi juga, hehehe, lain yah, say, beda banget waktu minta pasang servis meteran air, listrik, dan sebagainya di tanah air sendiri…”, ujarnya lagi.
Yah…Ranah bekas komunis yang dulunya dihuni kumpulan orang berwajah sangar dan tercekik kemiskinan, yang hanya kota kecil, yang kemudian mempergunakan sarana-prasarana bantuan dari uni eropa namun kemudian justru mata uangnya tak ikut ambruk saat krisis mengancam Eropa, yang kemudian bisa tertib dan disiplin, yang kemudian bahkan ada banyak orang yang sangat mengamalkan sifat hati-hati menerima kebaikan orang lain, yang menolak “disedekahi”, yang walaupun bukan muslim namun mereka telah mengerti makna ayatNYA, “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib(keadaan) suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang mengubah keadaan yang ada pada diri mereka ”(QS Ar-Ra’d:11).
Di tangan-tangan optimis serta kejujuran akan sikap professional, tentu sikap “obok-obok bongkar kasus sana-sini” di tanah air tak kan cuma jadi tontonan rakyat. Bangsa kita bisa berubah dari boroknya kolusi, jika semua pihak menjaga “harga diri” di hadapan Sang Pencipta, sebagaimana pak tua di persimpangan itu serta sikap dua petugas, mereka menularkan inspirasi.
(bidadari_Azzam, Krakow, 19 feb 2011)
Note : Maaf, akun di situs jejaring sosial dgn nama asliku, atau nama Bidadari Azzam, atau BidadariNYA Azzam bukanlah akun milik Saya. Hanya akun yang terhubung dgn profil suamiku, yang merupakan akun pribadi saya, trims.