Semua penduduk komplek perumahan kami mengenalnya dengan baik, sebut saja namanya Bang Habib. Beliau humoris dengan senyum khasnya, penampilannya rapi tapi lucu, namun selalu ramah. Tak ada yang mengejek atau mencemooh keadaan fisiknya, sebab dia sendiri adalah orang yang percaya diri dan terlihat bersyukur dengan keadaannya. Padahal tubuhnya, (maaf) terlahir dengan sedikit tidak normal, semacam gangguan pertumbuhan tulang sehingga badannya sangat pendek, tentu ‘kurang matching‘ dengan kepala yang besar dan kulitnya yang gelap, begitu penilaian orang yang baru kenal padanya.
Ayah dan ibunya telah meninggal dunia, entah bagaimana ceritanya, dia diasuh oleh seorang tokoh agama di komplek tersebut, lalu kami mengenalnya sebagai “Bang Habib Si Penjaga Masjid”.
Karena rumahku dekat dengan masjid, dan kakakku juga sering menjadi mu’azzin (yang mengumandangkan adzan), otomatis keluarga dan para tetanggaku sangat akrab dengan Bang Habib ini. Kagum padanya, di usia yang masih harus bermanja pada orang tua, dia malah sudah melakukan berbagai kegiatan dengan mandiri, mencuci hingga menyetrika sendiri, merapikan ruangan kamarnya, memasak, dll, tentunya ditambah dengan ‘amanah special’ sebagai penjaga masjid. Bang Habib tak pernah mengeluh di saat harus lebih sering mengepel lantai masjid akibat cipratan becek air hujan, membersihkan semua WC dan kamar mandi masjid, ditambah menyapu halaman masjid yang sangat luas. Kemudian saat semakin sering ada jamaah yang banyak mengobrol dengannya, hadirlah sohib Bang Habib yang sering ikut menginap di sana, Bang Halim kita panggil namanya.
Kerja sama mereka sangat bagus, yang satu mengepel lantai masjid sisi kanan, yang lain mengepel lantai di sisi kiri. Saat yang satunya membersihkan menara dan peralatan di ruang dekat mimbar, yang lainnya membersihkan gulungan sajadah. Bang Habib menyapu halaman depan masjid, sementara Bang Halim menyapu halaman belakang, dan banyak lagi kegiatan mereka sehari-hari yang membuat keduanya semakin mencintai rumah Allah itu, laksana tinggal di istana surgaNYA, setiap hari tidak ketinggalan sholat berjama’ah—iya donk, mereka juga yang bergantian menjadi mu’azzin atau kadang-kadang membimbing anak-anak TK/TPA untuk belajar menjadi mu’azzin. Subhanalloh…
Satu cerita unik kala diriku masih berusia 5 tahun, masih ‘belajar berpuasa pol sehari penuh’ saat bulan ramadhan. Bersama sohib-sohib yang merupakan tetanggaku, kami bermain di halaman masjid. Beberapa kali kami masuk kamar mandi dan cuci tangan, cuci kaki serta bermain cipratan air. Lalu kami melihat Bang Habib memasuki ruangan kecil, dapur mini tepat di sebelah kamar beliau. Ternyata dia akan memasak makanan untuk berbuka puasa. Beberapa menit kemudian, dia keluar dari dapur dan entah pergi kemana, lalu kami iseng-iseng memasuki dapur tersebut. Salah seorang teman yang sudah berbuka puasa (alias setengah hari) mencolek secuil masakan Bang Habib, “hmmm…enak”, katanya, yang lain tertawa. Lalu Saya dan teman lain yang saat itu sedang kehausan mengambil gelas dan air putih di panci air dapur Bang Habib, kemudian meneguknya bergantian, “legaaaaa….”, sampai bertepuk tangan lho kami di saat itu, (harap maklum dan jangan ditiru), namanya juga masih kanak-kanak. Kami sedang ‘berimajinasi’ seolah-olah penemuan ruang dapur saat itu adalah menemukan harta karun, “oooh…ternyata Bang Habib tuh tinggalnya di masjid, ada dapur juga toh…”, begitu contoh celoteh temanku.
Tiba-tiba tak sengaja seorang teman lain menjatuhkan tutup panci, praaang! bunyinya berisik. “Hey…siapa tuh di dapur?”, terdengar suara orang dari kejauhan, sepertinya Bang Habib sudah pulang. Dan suara lainnya terdengar pula, sepertinya Bang Halim yang langsung menuju dapur, namun tak menemukan kami. Saya dan teman-teman sudah berlarian melalui pintu lain sekaligus memanjat pagar dari arah berlawanan dengan mereka, tentunya sambil bersorak-sorai khasnya anak-anak.
Setelah hari usil itu berlalu, rasanya ada ‘rasa malu hati’ kalau bertemu Bang Habib dan Bang Halim, padahal setiap hari di bulan ramadhan, mereka pasti datang saat setengah jam sebelum adzan maghrib untuk mengambil makanan berbuka puasa—waktu itu setiap keluarga diperbolehkan menyumbang makanan apa pun untuk buka puasa jamaah masjid setiap hari, tinggal dicatat saja jadwal dan rencana makanan apa yang akan disiapkan di hari tersebut, dan semua penduduk senang, karena hal itu menambah semangat persaudaraan dan meningkatkan amalan baik di bulan mulia. Pada waktu hari iedul fitri tiba, akhirnya Saya dan teman-teman menemui Bang Habib, ikut bermaafan sekaligus ‘pengakuan hari usil itu’, dengan gaya anak-anak yang lucu tentunya, malu kalau mengingatnya.
Dan ternyata Bang Habib cuma tersenyum simpul, tidak terkejut atau marah-marah, ckckckck, sambil menyalami kami satu persatu, “kalian khan anak-anak soleh-solehah…masih kecil gini, gak ada dosa… tapi lain kali, puasanya harus beneran pol yah, kalau kehausan siang-siang, tidur siang donk, jangan main terus…hehehehe”, selorohnya. Lega hati kami.
Hari terus berlalu, tak terasa kegiatan di masjid bertambah padat, sampai akhirnya lahirlah "Risma.." (remaja islam masjid…), yang sering mengadakan seminar dan pesantren kilat (sanlat). Sosok Bang Habib dan Bang Halim adalah ‘partner setia’ setiap acara di masjid. Kadang-kadang mereka juga aktif membantu RT dan RW dalam mengadakan perlombaan 17 agustusan, misalnya pengadaan panjat pinang, mengatur lokasi lomba tarik tambang, acara marathon bersama, dll.
Bang Habib dan Bang Halim tidak pernah hilang dari masjid itu—meskipun cuma sehari, sementara sosok kami, teman-teman, dan generasi-generasi Risma sudah lulus sekolah, satu persatu pindah rumah dari komplek itu, lalu melanglang-buana ke berbagai negeri. Adapun seseorang yang mencoba bertanya pada Bang Habib, apakah beliau punya keinginan semisal memiliki usaha lain di luar kota atau menikah dan kemudian merantau melihat suasana di tempat lain ? Bang Habib menjawab ringan, “Sesekali Saya juga ikut acara ke luar kota sama anak-anak TPA, atau pengajian bapak-bapak, ibu-ibu, dapat ilmu juga. Saya masih bisa hidup sampai saat ini pun, sudah sangat bersyukur sekali, Saya sudah merasa bahwa tidak perlu punya keinginan muluk-muluk, yang penting selalu sehat dan tetap bisa mengurus masjid ini… Banyak ulama kita yang sudah meninggal dan disholatkan di masjid ini, Saya pun nantinya ingin di sini saja (disholatkan saat meninggal dunia), sedari kecil sampai dewasa disinilah rumah saya…”, seraya berurai air mata. Beliau ceritakan bagaimana perihnya kehilangan orang tua, namun "pak haji X" yang menolongnya telah menceritakan tentang sosok baginda Rasulullah SAW, yang merupakan manusia teladan sepanjang masa padahal hidupnya yatim piatu di usia kanak-kanak. Beliau ceritakan betapa sulitnya menerima keadaan fisik diri sendiri, tidak keren, tidak bisa tinggi, tidak ‘matching’ antara kepala dengan badan, apalagi dengan kondisi kesehatan yang masih sering down saat masa pertumbuhan—menyebabkan dia sulit menyelesaikan pelajaran di sekolah. Namun para bapak aktivis masjid yang sabar, memotivasinya terus-menerus, bahwa Allah SWT telah menciptakan semua makhlukNya dengan sempurna, dan kelak kita semua tak ditanya soal ‘sekeren apa di mata orang lain’, hanya nilai Ketakwaan padaNya yang dapat menyelamatkan diri, hanya amalan baik di dunia yang akan menemani kita saat berada di yaumil hisab. Hasil tempaan itu menjadikan Bang Habib sebagai sosok pemuda idaman. Ia percaya, setiap orang punya ‘amanah’ masing-masing, apapun peranan kita, ‘setia-lah’ dalam rasa optimis padaNYA.
“dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65] : 3)
Beberapa tahun yang lalu Bang Habib sudah menikah dengan seorang muslimah nan cantik dan insya Allah sholehah. Mereka telah dikaruniai Allah SWT amanah, anak-anak ceria. Begitu pun Bang Halim, menikah dan memiliki anak yang cerdas. Namun, Bang Halim telah meninggal dunia saat kecelakaan lalu lintas tiga tahun lalu, (semoga Allah SWT melimpahkan tempat terindah di alam kuburnya, amiin).
Terakhir kuterima kabar dari teman lain bahwa Bang Habib sekarang telah menunaikan rukun islam ke lima, subhanalloh… ia dan istrinya tetap setia menjaga masjid ‘masa kecil kami’, dan sekarang sudah tambah banyak aktivitas disana, termasuk program manasik haji dan umroh. Semoga sesibuk apapun kita, tidak melupakan ‘basecamp ummat’, masjid. Pemuda seperti Bang Habib dan Bang Halim sangatlah diperlukan untuk kemajuan ummat ini, berkontribusi langsung menjaga kebersihan dan keindahan masjid, meningkatkan kreativitas masyarakat. Jangan sampai masjid jadi ‘sasaran politik’, ramai di saat kampanye pemilu doang—tertular penyakit aneh rembesan kolusi, dsb, naudzubillahi minzaliik…
(bidadari_Azzam, salam ukhuwah dari Krakow yang merindukan masjid, 7 jan,2011)