Satu keluarga itu bernyanyi riang gembira di musim semi tahun lalu, masuk ke mobil mereka, kemudian tampak anak-anak menikmati beberapa snacks, dan orang tuanya mengobrol mesra. Tak sampai semenit kemudian saat mereka memasuki jalan raya, “gedubraak!”, tabrakan maut terjadi, entah kenapa mobil itu menabrak tiang besar lalu ‘menyenggol’ bus panjang yang sedang melaju dari arah berlawanan. Pemandangan itu sangat meyeramkan, kami segera berlalu dari riuhnya situasi jalan raya tersebut, seraya menyebut nama-Mu, ya Allah…
Senyuman, tawa, cerah ceria dapat lenyap seketika atas izin dan kuasa-MU.
Sama halnya kala kuingat tentang seorang tante Laura, usianya sangat muda, masih belum kepala empat. Tahun lalu di kala beliau berlibur dari sumatera ke Bandung, Jakarta dan sekitarnya, tiba-tiba tawa lenyap dari wajahnya saat merasakan nyeri dan lemas badan, langsung ke emergency, beberapa jam kemudian tubuhnya sudah membiru, malaikat maut telah menjalankan tugasnya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un… tak ada suami yang mendampingi, juga anak dan keluarga lainnya, persis seperti nasehat ustadzahku dahulu, “Bahwa tak ada tempat kita bergantung setiap waktu, kecuali Allah SWT. Di kala maut menghampiri, kita harus menghadapinya sendirian, tiada mama papa, tiada suami, anak-anak, saudara, siapa pun tak dapat menolong, kita hanya ditemani oleh belaian-NYA. Cuma Dia yang dapat memudahkan jalan menuju kesana, begitu pun saat memasuki alam kubur, hanya amalan di dunia yang kita bawa.”
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran [3] : 185), dulu kalimat itu sudah tak asing di telinga Rara. Namun saat karirnya melesat bersama suami, ia malah lupa pada semangat juangnya, ia malah lalai mengingatNYA. Target-target amal jariyyah yang biasa ia buat sudah terkubur seiring menumpuknya target proyek kerja di kantornya, ia lebih teliti pada tampilan fisik atau zahir dibandingkan dengan berkaca diri atau muhasabah atas kualitas pribadi. Ia lebih banyak mengontrol baby-sitter dari pada menemani hari-hari sang buah hati. Tiba-tiba di hari itu, teman Rara mengabarkan padaku, “Ri… Kamu tau Rara, kan…? Sekarang ia janda, kemarin suaminya meninggal dunia karena kecelakaan tragis,” Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un… Ya Allah, secepat itu suatu kesenangan hidup lenyap. Anak-anak yatim jadi bertambah, perencanaan alur hidup jadi berubah. Sungguh Maha Kuasa, duhai Robbi…
Sebagai hamba-Nya yang telah menikmati keindahan Islam, orang-orang beriman diberikan hiburan tentang kematian. Walaupun kenikmatan dunia hilang, sungguh kehidupan abadi telah menanti, dan kita antri menuju kesana. Insya Allah. Tidak seperti orang kafir yang selalu saja berusaha untuk menghindari kematian, mencari segala obat anti-penuaan, pil-pil berkhasiat panjang umur misalnya, naudzubillahi minzaliik, Orang beriman sangat dipengaruhi oleh pesan Baginda Nabi shollallahu ’alaih wa sallam yang bersabda, “Banyak-banyaklah mengingat penghapus kenikmatan, yakni kematian.” (HR. Tirmidzi, No. 2229)
Juga pada hadits lainnya, Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ”Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” Dan dalam hadits lain disebutkan, ”Kematian adalah hiburan bagi orang beriman.” (HR. Ibnu Abi ad Dunya dengan sanad hasan)
Sehingga disamping tetap optimis menghadapi skenario-NYA, harus pula mengingat bahwa belum tentu nafas ini masih berhembus di menit kemudian. Selain harus optimal berusaha dalam beramal, sekaligus harus mengingat bahwa antrian menuju alam kubur-Nya makin dekat. Dengan mengingat kematian, otomatis hati yang tadinya masih penuh rasa iri, dapat berubah menjadi hati yang bersyukur. Dengan mengingat bahwa kesenangan pasti bisa lenyap, maka sesungguhnya kita akan melaksanakan amanah-amanah dengan sebaik-baiknya. Tak perlu diawasi oleh para polisi, KPK, atau manusia-manusia lainnya, cukuplah Allah SWT yang mengawasi gerak-gerik kita, apakah sudah mengerjakan amanah dan segala tugas sesuai peranan masing-masing, ataukah malah berbuat curang dengan mengabaikan amanah dan hak-hak orang lain? Sesungguhnya jika hanya mementingkan kesenangan pribadi dan melanggar hak orang lain, tak lain dan tak bukan bermakna telah melanggar aturan Allah, sungguh beraninya, telah menipu Allah SWT!
Beberapa tahun lalu kita dikirim-NYA hikmah, atas sebuah peristiwa memalukan, seorang karyawan level tinggi di sebuah perusahaan, ditemukan telah meninggal dunia dalam mobilnya, di sudut kota J, bersama seorang wanita yang bukan mahromnya, astaghfirrulloh, dalam keadaan (maaf) setengah bugil pula. Semua orang dewasa mengerti ‘sedang apa mereka’, dan sungguh malangnya, sakaratul maut di kala berzina, bahkan meninggalkan ‘warisan malu dan sakit hati’ bagi istri dan anak-anak yang tadi mengira sang ayah sedang mengerjakan tugas di kantor.
Kalaulah akal kita memang bekerja dengan baik, tentu kejadian tersebut bisa jadi pelajaran buat semua pihak. Siapa pun kita, saat ini sedang memegang amanah, memiliki peranan dalam kehidupan yang berkualitas, sehingga bila ingin ‘akhir yang baik’ kala ajal menjemput nan tiba-tiba, jangan pernah menipu Allah SWT. Jadilah pejabat atau penguasa yang amanah atas tugas-NYA yang merupakan amanah dari rakyat pula, jadilah mahasiswa rantau yang amanah walaupun orang tua berada jauh di kota lain, jadilah orang tua yang amanah, guru yang amanah, dokter yang amanah, manajer yang amanah, dan lain sebagainya. Sebab menjalankan amanah-amanah itu adalah berat, namun juga tetap ada godaan dan kesenangan di berbagai sisi, dan kita harus hati-hati, penghujung kesenangan yang dapat lenyap seketika, saat raga terbujur kaku, tangan tak dapat lagi meliuk-liuk mencari celah korupsi, mata terpejam dan mulut tak lagi dibungkam makanan enak, melainkan terkubur tanah. Siapkah kita mempertanggungjawabkan amanah-amanah ini ?
Wallahu a’lam bishowab.
(bidadari_Azzam, Krakow, malam 20 jan. 2011)