Melayang kembali ingatanku di masa kecil, masih tak jauh berbeda dengan generasi ayah-ibu kita, saat tayangan televisi hanya ada TVRI, masih hitam putih gambarnya, dan acara yang paling sering ditonton keluarga sebelum tidur adalah ‘Dunia Dalam Berita’. Kalau acara itu sudah dimulai, tandanya sudah larut malam, tak boleh keluar-keluar lagi, walaupun untuk pergi ngobrol dengan teman tetangga sebelah rumah. Selain itu, satu tradisi keluargaku yang sangat unik, dulu, semua anak wanita harus berambut panjang, kami berempat anak perempuan ‘lomba membagus-baguskan’ rambut yang panjang, tak mau kalah dengan zaman ibu waktu masih muda, beliau punya rambut se-tumit kaki yang tiap hari selalu disanggul rapi. Kakak-kakakku rambutnya se-lutut, sementara aku biasanya hanya sampai sepinggang, lalu dipotong dan dipotong lagi, seiring pernah rontok akibat thypus dan gangguan rambut seperti rambut bercabang, gatal-gatal, dsb. Kadang-kadang sebelum tidur, sambil nonton berita, kami gantian membantu sisiran rambut, membuat kuncir dan kepangan rambut, atau belajar bersanggul. Namun saat hidayah menutup aurat datang, ternyata perawatan rambut malah menjadi makin mudah dan cepat.
Begitulah, walaupun kami harus telaten merawat si rambut panjang ini, tak pernah absen dari jadwal ketat usai maghrib : antrian mengaji, guru ngajinya yah ibuku sendiri, kadang-kadang kakakku bergantian mengajari, dia yang sudah duluan khatam bacaan qur’annya. Saat kesibukan kami makin bertambah, ada yang kuliah dan harus les tambahan pun, tetap harus pulang sebelum maghrib. Pernah kakakku terpaksa pulang seusai waktu isya’ saat harus mengerjakan skripsinya di rental komputer dekat kampus, akhirnya bapakku selalu menjemput dan menungguinya di rental tersebut.
Sungguh model orang tua yang lumayan ketat menjaga anak-anaknya, penilaianku terhadap orang tuaku seperti itu. Kadang-kadang orang tuaku membantu kami menyusun buku pelajaran di waktu malam, seraya memeriksa tas sekolah, laci meja belajar (itu baru kusadari saat sudah menikah, bahwa mereka sangat peduli akan aktivitas anak-anaknya, diam-diam selalu menggeledah isi tas, laci, dsb). Dan dulu pernah zaman SMP, saat naik motor dengan bapak, beliau membahas hal tentang surat cinta, “Jangan dimarahi kalau ada yang bilang menyukaimu, nak… bilang aja, sekarang harus belajar yang baik, harus jadi anak pintar, tidak boleh pacaran, kalau berteman saja, boleh…”, hehe…Saya sempat bengong waktu itu, ternyata beliau mengetahui, memang beberapa hari sebelumnya ada surat cinta dari teman terselip di catatan bahasa Inggrisku, padahal surat itu pakai bahasa Inggris lho…
Di keheningan malam kala tiba-tiba terbangun kebelet pipis, kadang-kadang kulihat orang tua sedang mengobrol di dapur sambil makan snacks. Barulah saat sudah menikah kusadari, mungkin orang tuaku sering diskusi berduaan di saat anak-anaknya sudah pulas. Apalagi saat kami semua berusia remaja yang tentunya semakin banyak problema, sering kali tak hanya bapak dan ibu yang berdiskusi malam-malam, kakak yang lebih tua kadang-kadang curhat pada ortu malam-malam, adik-adiknya sudah tidur. Akhirnya masa itu pun kurasakan, saat di bangku SMU, kebiasaan bangun di keheningan malam seperti sudah jadi kewajiban, ibu rajin membuatkan camilan saat Saya wudhu dan belajar, lalu kami qiyamul lail dan ‘curhat’ (maksudnya Mencurahkan isi hati). Perasaan lega dan tentram, dan kemungkinan besar ortuku pun sangat senang karena anak-anak terbuka pada mereka.
Suatu hari sewaktu saya ikut study-tour SMU, ke pulau Jawa, keheningan malam terasa berbeda dari keadaan saat di sisi orang tua. Di sebuah jalan terkenal kota Y, ternyata aktivitasnya sampai larut malam, banyak ABG (Anak Baru Gede) mondar-mandir di jam “jalan malam buat turis”, pikirku, berani banget yah, jalan sama beberapa teman doang, tanpa ditemani orang tua. Padahal kami saat itu masih bergandengan dengan guru pembimbing saat keluar wilayah penginapan.
Di tengah perjalanan saat bus wisata menyeberangi selat sunda di keheningan malam pun, untuk pertama kalinya kulihat “pornoaksi” di depan mata. (Maklum deh, Saya kan anak daerah, bukan dari ibu kota, di daerah kami, pemandangan yang seperti itu bisa dilempari batu beramai-ramai oleh masyarakat), ceritanya saya dan semua teman harus turun dari bus, kami boleh melihat-lihat pemandangan, makan di kantin, atau sholat di mushola kapal. Kebetulan Saya jalannya paling belakangan waktu itu, tengah malam yang riuh di dalam kapal, namun senyap saat melewati sisi-sisi kosong di antara parkiran bus dan mobil serta tumpukan barang-barang dekat tangga kapal itu. Tanpa sengaja, Saya lihat salah satu sopir bus wisata yang cekikikan di sudut tersembunyi bawah tangga itu, posisinya menyamping dan dia tidak mengetahui kalau Saya dan teman-teman berjalan di dekat situ. Cekikikannya tak sendirian, disampingnya ada wanita yang penampilannya seperti mbakyu tukang jamu, dan mbakyu itu dadanya terbuka (astaghfirrulloh, dua tangan sopir bus itu menari, disensor sajalah kelanjutannya). Saat itu, waktu berlalu begitu cepat, namun yang jelas, jantung terasa sempat berhenti berdetak. Seusai sholat, saya bisik-bisik, “ngadu” ke bu guru atas pemandangan yang mengerikan itu, yang kelanjutannya bu guru bengong, pasti beliau terkejut dan bingung juga menjelaskan kejadian itu pada saya, namun pada akhirnya kami semua dinasehati berulang-ulang untuk tidak terpencar-pencar, dan menjaga jarak dengan semua awak bus wisata tersebut.
Sedangkan di saat berkunjung ke desa kakekku, atau ikutan “sanlat” (pesantren kilat) ala anak Rohis mengunjungi pesantren di luar kota, keheningan malam selalu diisi dengan tangisan kepadaNya, qiyamullail, serta adanya tausiyah indah tentang muhasabah diri, betapa beruntungnya menjadi pemuda-pemudi berprestasi yang dititipi amanahNya di jalan dakwah, itu sangat berkesan hingga terkenang seumur hidup.
Almarhum kakek tak pernah absen bangun di tengah malam, tempat sholatnya hanya 3 meter dari kasur pembaringanku, sehingga saya ikut terharu mendengar lantunan ayat suci dari bibirnya, perlahan sekali, beliau ulang-ulang hafalan qur’an minimal satu juz dalam satu malam. Katanya, “bangun tengah malam itu sekalian bahasa telepati dengan saudara lainnya”, Maksud beliau, kakekku yang lainnya, di kota lain atau yang sudah tinggal di tanah arab sama-sama tetap saling mendo’akan walaupun lama tak berjumpa, beliau katakan kekuatan do’a ibarat bahasa telepati, rasakan dalam jiwa, kita dan saudara nun jauh saling mendo’akan, dan keheningan malam memang memiliki nuansa berbeda.
Sholat malam, manakala kebanyakan makhluk Allah Subhanahu wa ta’alaa sedang tertidur lelap, kesunyian dan ketenangan akan membantu kita untuk lebih khusyuk bermunajat kepada Allah SWT. Seorang muslim yang senantiasa bangun sholat tahajud, bersujud di sepertiga malam, insya Allah akan selalu dicintai oleh-NYA. Dari Abdullah bin Salam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, dan sholat malamlah pada waktu orang-orang tidur, kalian akan masuk surga dengan selamat.” (HR. Imam Tirmidzi)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda yang artinya, “Lazimkan dirimu untuk shalat malam karena hal itu tradisi orang-orang shalih sebelummu, mendekatkan diri kepada Allah, menghapus dosa, menolak penyakit, dan pencegah dari dosa.” (HR. Ahmad)
Di sudut Krakow, kota kelahiran Paulus II ini pun, semua toko tutup pukul sebelas malam, kecuali rumah bilyar dan tempat perzinahan. Dan masyarakat awam “yang normal dan baik-baiknya” juga masih punya persepsi bahwa “gentayangan di malam hari” adalah kebiasaan orang yang tidak baik. Di atas jam 10 malam, polisi akan patroli, menangkap orang yang berteriak, menertibkan gonggongan anjing, orang mabuk-mabukan di jalan, dan gangguan lainnya, kecuali di musim panas, kala mataharinya bersinar lebih lama. Pernah juga ada wanita keluar malam, dengan ambulance nguing nguing alarmnya, karena darurat akan melahirkan.
Sedih hati ini mendengar ada saudari-saudariku di Indonesia yang masih single, bekerja di restoran, kafe atau karyawan hotel, kadang harus lembur hingga jam satu malam karena ada acara meriah atau pengunjung sedang penuh. Memang sudah bagus jika para direkturnya selalu menyediakan antar-jemput khusus karyawan dengan pengamanan ekstra kalau sudah malam, dan ada pula yang meminimalisasi ikhtilat dengan mengantar jemput karyawati beramai-ramai, dipisahkan dengan karyawan di mobil lain. Namun akhirnya telah melunturkan “persepsi para orang tua” bahwa anak wanita adalah sumber fitnah, apalagi dengan keluar rumah di saat malam. Dan runutan peristiwa yang mengikuti kejadian malamnya pun akan dianggap biasa-biasa saja, duh, kondisi yang menyedihkan. Saya yang sudah bersuami dan sudah jadi ibu pun, masih selalu diperingatkan orang tua tentang kebiasaan yang baik di waktu malam. Bahkan ketika tinggal di luar negeri pun, tak pernah keluar rumah di malam hari kecuali pengajian keluarga bersama suami dan anak-anak. Pertama kalinya Saya melihat situasi Jakarta di tengah malam adalah saat baru beberapa bulan bersuami, 8 tahun lalu, bus dari Bandung ke Jakarta berangkat usai isya’. Namun kini, remaja SMP saja sudah banyak ekstra kurikuler yang mengharuskan pulang saat sudah maghrib, tiba di rumah pukul 8 atau 9 malam. Apalagi waktu macet parah-banjir di Jakarta, ada anak remaja temanku harus pulang tengah malam karena ortunya terjebak macet saat akan menjemputnya, naudzubillah.
Bagaimana dengan keheningan malammu, saudara-saudariku, sudahkah kita memanfaatkan waktu yang paling efektif untuk berkomunikasi denganNYA ?
(bidadari_Azzam, Krakow, hening malam 28 jan 2011)