“Apa kabar pula, ummi dan keluarga? Kalau saya dan keluarga di tanah air saat ini sehat, Alhamdulillah. Kakak saya pun mulai membuka kembali usaha kecil kerajinan tangan, lumayan buat beli beras sehari-hari bagi keluarga mereka, tetap dido’ain yah, mi..”, salah satu kutipan email dari saudariku ketika kami saling bertanya kabar, bunda Rina, di kota yang terendam lumpur.
Berita solusi si lautan lumpur itu malah tenggelam digerus pemberitaan lain dunia politik di negeri kaya tersebut. Beberapa tahun lalu tatkala awal kejadian tenggelamnya perkampungan sang kakak, bunda Rina telah berbagi cerita bahwa sejak saat itu kakaknya mengalami sedikit rasa stress, ketika harus mengungsi ke rumah bunda Rina, keluarga kehilangan rumah, pabrik kecil hasil jerih payahnya, serta merasa kehilangan ‘masa depan’ karena tiga anak mereka harus ‘cuti sekolah’. Masih untung sang kakak memiliki adik dan saudara lain yang mendukungnya untuk tetap bersandar pada rahmat Allah ta’ala, membantu untuk bisa bangkit meski terseok-seok dengan kesusahan di sana-sini.
Teman lainnya yang terkena musibah lumpur banyak yang tak hanya terkena penyakit lahiriyah, bahkan terserang gangguan jiwa yang sangat parah, derita mereka tak dapat dituliskan atau diungkapkan dengan kata-kata. Lantas, siapa yang tak sakit hati jika mendengar berita “para tokoh juragan” minyak (yang disebut-sebut sebagai pihak penanggung-jawab terjadinya lumpur) malah sibuk merancang proyek baru, hiburan ‘tanah-disney’ buat refreshing misalnya? Juga sibuk menaikkan ‘citra kebaikan’ dengan acara-acara awards yang tak secuil pun menghadirkan bahasan tentang sang lautan lumpur itu lagi? Dimanakah rasa peduli yang dahulunya menjadi ciri khas tanah pertiwi?
Satu dua pasangan rumah tangga terendus para pemburu berita, ada yang salah memilih jalan nafkah demi tanggung jawab isi perut keluarga, penipuan pun dilakukan. Serta pasangan lain mengaku tak punya dana untuk mengobati anak yang sakit, bahkan untuk membayar penerbitan surat nikah dan akta kelahiran anak pun mereka tak berdaya. Jika mau jujur, ratusan kasus seperti itu sudah ada sejak dulu, hanya saja tak diangkat media sebab tak ada kepentingan untuk pihak yang lagi populer, budaya pelicinan ‘jalan’ dalam rumitnya birokrasi dan urusan pelayanan publik serta maraknya pemberitaan “berdasarkan pesanan” adalah penyimpangan lain bagi ciri khas generasi di negeri berbudi-pekerti.
Tersebar pula kesimpulan persepsi yang keliru bagi para muslim dan muslimah yang menikah muda, kabar burung lebih dipercaya, dengan seenaknya memiliki “cap” bahwa yang menikah muda adalah kelompok pengajian aliran tertentu-lah, anak muda yang sudah dicuci otak-lah, atau bahkan dihina sebagai makhluk Tuhan yang sudah ‘pinter-keblinger’, dan mempermalukan orang tua. Sementara itu, pernikahan MBA (married by accident) walaupun pelakunya sudah berusia dewasa, dianggap lumrah, dianggap wajar sebagai ‘tes pasangan’, bahkan kegiatan pra-wedding yang juga berlumur dengan gaya cumbu layaknya suami-istri, yang jelas-jelas haram, malah masih saja dilakukan dengan bangga.
Yang diidolakan malah JB, VD atau para selebritis yang hidup dalam rekayasa dan sandiwara tanpa arah, meskipun jutaan nasehat telah lama didengar, ayat cintaNYA, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu, (yaitu) bagi orang-orang yang mengharapkan menemui (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab [33] : 21). Ia adalah rasul mulia, idola sejati para pemuda-pemudi, idola bagi para orang tua pula yang selalu berharap bimbinganNYA sepanjang masa.
Lalu, di berbagai ujung jalan utama kota X, kota Y, pun kota Z, saat berseliweran bus-bus antar-kota, berdiri perempuan-perempuan telanjang, ada pula komunitas ‘setengah perempuan’ yang bersuit-suit dan bergoyang badan menggoda para calon korbannya. Bahkan di antara para penjaja tubuh itu, ada yang berbusana muslimah sebagai standar ‘harga’ lebih tinggi, dan saat seorang Aki Jojo bertanya, “kenapa engkau melakukan hal ini, ananda…?”, Maka jawab sang putri malam, “buat makan, kek…saya juga masih sekolah…”. Astaghfirrulloh… Sambung aki, “Saya punya nini cantik di rumah, janganlah menggoda saya…”. Si Putri melanjutkan, “Minta beberapa ribu rupiah saja, kek…Saya temani ngopi di kedai…”, tak tanggung-tanggung keagresifannya mencolek si aki. Aki Jojo kelimpungan dan langsung melanjutkan perjalanan pulang dengan motor bututnya, tadinya ia kehausan dan ingin membeli minum terlebih dahulu, namun ia tak rela menodai kepercayaan sang nini meski hanya semenit berikhtilat di tempat peristirahatan ujung jalan itu.
Aki Jojo membagi resahnya, “Padahal sawah masih merata-rata di berbagai belahan nusantara, perkebunan teh tetap subur, ladang dan sayur-mayur tetap membuahkan hasil yang senantiasa dicurahkanNYA dengan cinta kasih, kenapa masih saja ada yang berdalih, memilih jalan ‘cepat’ dapat uang dengan mengorbankan kemuliaan diri…?”. Kata-kata itu mungkin sama dengan untaian perih yang ada dalam nurani kita.
Sementara para “orbek” alias orang-beken alias sosok-sosok tenar malah memberikan contoh nyata buat pemuda-pemudi dalam “mengoptimalkan” ekspresi dan mengembangkan bakat diri sebebas-bebasnya. Pakaian minim yang terkesan ‘belum selesai dijahit’ malah selalu jadi ‘trend masa kini’, harganya pun malah bisa sama dengan harga sekarung beras. Berlengket-mesra dengan nonmahram dijadikan prestasi, bahkan turut pula dibekali tips-tips tambah lengket dan tambah banyak dosa. Padahal, masih banyak pemuda-pemudi berprestasi di berbagai bidang, yang malah ‘nyaris tak terdengar’, sebab prestasi yang hakiki bagi mereka ini bukanlah terletak pada ‘penjualan badan’.
Bagaimana pula dengan objek wisata terbanyak di negeri beribu pulau itu? Sungguh, belahan Eropa manapun masih kalah dengan hutan alami, pegunungan, persawahan, berbagai pantai, serta pemandangan alam Indonesia lainnya. Objek wisata di nusantara kebanyakan masih benar-benar alami, bahkan masih banyak flora dan fauna yang tak bernama, sisi-sisi pulau yang tak terjamah, namun saking ‘alaminya’, malah tidak dirawat dengan optimal, atau diam-diam digerogoti para pebisnis dan terbengkalai. Sampah menumpuk dimana-mana, gubuk liar “sarang preman” juga susah dibasmi, dan penipuan di berbagai hal kerap terjadi. Sebutlah contoh sewaktu saya berkunjung ke candi di kota Y sekian tahun lalu, saya membeli minuman air mineral saat haus, seribu rupiah.
Namun, si pedagang mengubah harga saat mengobrol dengan orang asing di belakang saya, air mineral itu dijualnya seharga 20 ribu rupiah kepada si orang asing. “It’s too expensive…”, keluh si orang asing cemberut, namun tak ada pilihan karena anaknya kehausan. Si pedagang bersorak kegirangan, tanpa peduli efek selanjutnya malah si orang asing bisa bercerita ke semua temannya bahwa di daerah situ harga air mineral semahal itu. Bisa jadi pula teman lainnya mengatakan, “Oooh, anda tertipu di negeri itu. Disana memang banyak pedagang penipu!”.
Dan teriakan-teriakan rakyat lapar tak bisa mengubah prilaku “aji mumpung” para pejabat dan penguasa yang duduk di ‘kursi empuk’. Sudah “salah tujuan” study bandingnya ke Yunani, si negara bangkrut terkorup di Eropa, sudah ikut-ikutan menguasai dunia sepak-bola dan mengganggu konsentrasi tim Indonesia, sudah membuka jalan pelan-pelan atas produk-produk pendukung negara illegal ‘Israel’, sudah mengencangkan keakraban dengan penguasa negara ‘yang mengklaim super power’, dan bahkan sekarang malah sudah “ngidam” minta pembangunan gedung baru, bahkan mau bikin menara tinggi pula. Lupakah dengan Burj Dubai yang pembangunannya merupakan symbol “makin tunduk pada USA”, dana membangunnya adalah utang beberapa miliar dollar AS, alangkah teganya mewarisi utang melulu kepada generasi anak-cucu di masa mendatang? Sungguh tega menyisakan kabut hitam keresahan jiwa tanpa henti dan himpitan beban di hati anak-anak negeri?
Berbagai anjuran ‘toleransi dalam makna yang salah’ malah dielu-elukan, sejak “boomingnya” mode pakaian dengan ragam variasi dan hiasan yang lebih banyak, munculnya buku dengan pesan tersirat “maklumilah kaum muslimah yang melepas hijabnya”, sedangkan buku-buku dengan makna jihad, makna selektif memilih pengobatan penyakit, dan jenis buku yang ‘membahayakan kepentingan bisnis’ malah diributkan dan dianggap bermasalah bahkan disirami bumbu fitnah nan menyakitkan. Bahkan sekarang industri hiburan tambah berani ‘berperang’ melawan norma-norma masyarakat dengan memfilmkan sesuatu yang sakral : aqidah diobok-obok dengan kocaknya, halal dicampur haram, dan cenderung membolak-balikkan kebenaran sejati.
Tanah pertiwi tetaplah elok, prilaku buruk penginjak bumi-NYA yang merusakkan kecantikan alam. Sumber daya alam kita lebih luas dari samudera, sumber daya manusia pun bertebaran di berbagai pelosok negeri, namun kejujuran luntur dan terpinggirkan akibat rekayasa segelintir pemilik investasi.
Masihkah ada kelurusan niat dan nurani nan bersih, duhai kebanggaan pertiwi? (Kita punya jawaban masing-masing, optimis di hati dengan berbagai motivasi diri). Sebagaimana kelu lidah seorang bik Sumi, buruh cuci di sudut Jakarta yang tak punya dana berobat bagi si buah hati korban tabrak lari, sesama rakyat kecil-lah yang datang membantunya, iringan do’a mereka haturkan, “Ya Robbi, bukakan mata, telinga dan hati para pemimpin bangsa ini… Kami tau bahwa alam telah Engkau utus, tsunami-MU, letusan merapi, bencana banjir badang, ledakan populasi hama, ulat bulu, angin-MU, dan semua unsur ciptaanMU telah menjalankan tugas dalam mengingatkan kerakusan manusia yang menumpang di muka bumi…”.
Bik Sumi tak miskin hati, ia senantiasa sholat dan mengaji, masih tetap pula ingat akan firmanNYA, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Ma’afkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi kaum yang kafir." (QS. Al-Baqarah [2] : 286)
Wallohu’alam bisshowab.
(bidadari_Azzam, @Krakow, 19 april 2011 malam)