Lama ingin kuceritakan tentang beliau, namun kesempatan untuk mengenangnya melalui tulisan barulah hadir saat ini. Sosok bernama pendek Ujang ini adalah mantan supir di kantor tempat bapakku bekerja dahulu, beliau bertugas khusus buat mengendarai mobil dinas tim atau shift kelompok bapak.
Karena telah tiga kali kecelakaan kerja, Mang Ujang pun menjalani pemeriksaan kesehatan, ternyata ia sudah mengalami kemerosotan indera pendengaran. Pantas saja, kita harus berteriak kalau ngomong dengannya, harus kencang dan kadang diulang-ulang, beliau lebih mengerti gerakan mulut lawan bicara, suara kita tak terdengar jelas di telinganya. Maka ia berhenti bekerja namun tetap “orbit edarnya” di wilayah kompleks perumahan kami, menjadi seorang pengayuh becak.
Beliau termasuk pengayuh becak unik, lho, “jam kerja bebas”, lebih sering “nongkrong” di rumah kami atau di beberapa rumah tetangga yang paling akrab dengannya. Pokoknya, tidak mengejar setoran, selalu ramah, ‘nyantai’ beraktivitas. Saya dan kakak-kakakku sering saling menggoda, “hayooo…. Kenapa Mang Ujang selalu nongkrong paling lama di rumah kita?”, Jawaban yang serius adalah ‘karena bapak dan ibu kita sering meminta pertolongan tenaganya’. Tapi kakakku yang usil sering menjawab (sambil pura-pura serius), “Karena… eng ing eng! Karena sebenarnya ada satu anaknya di antara kita, yang dititipkan di rumah ini!”, terang saja kami bisa saling lempar bantal atau handuk mendengar jawaban tersebut, (hehe, canda yang agak menyebalkan) apalagi mata kakakku itu ‘menuduh’ salah satu di antara kami, yang jelas-jelas tuduhan palsu, semuanya tak ada yang mirip Mang Ujang kok, dan secara fakta sudah jelas anak kandung bapak ibuku adalah kami berenam.
Tapi seringkali Mang Ujang jadi ikutan meladeni candaan itu, saat kakakku bertanya, “Mang Ujang kesini mau jenguk anaknya yah…?”, seraya melirik adik dengan goyangan bola mata yang usil. “iya…iya, dong…hehehe”, seloroh Mang Ujang. Wuaaargh, mulai deh rumah kayak panggung sandiwara, ada yang menangis, karena ‘gak rela’ menukar bapaknya jadi Mang Ujang.
Dalam kesehariannya saat tak mengayuh becak, beliau sering dimintai tolong oleh kami atau para penghuni kompleks lainnya, misalnya mengecat rumah, memperbaiki pagar, menata kebun/halaman, memotong rumput, menguras kolam ikan atau bak mandi besar, membetulkan atap rumah, ikut kerja bakti lingkungan RW atau menemani mudik ke desa. Sesekali beliau membantuku di halaman rumah, memunguti jambu, alias saya yang memanjat pohonnya, lalu dia yang memunguti buah jambu ketika keranjang yang kusodorkan dari atas telah penuh, sekaligus dialah yang menyapu dedaunan jambu tersebut.
Mang Ujang hanya menerima dengan ikhlas, berapa pun honor yang diberikan orang-orang atas pekerjaan ‘serba-bisa’-nya itu. Kalau ada yang bertanya blak-blakan, “Berapa yah yang harus saya bayar, Mang?” Beliau ini tetap hanya menjawab, “Seikhlasnya aja bu…”. Demikianlah akhirnya para tetangga sering saling tanya terlebih dahulu mengenai honor buat Mang Ujang agar ‘sama-sama enak’, maklumlah, tak sedikit pula yang kurang puas akan hasil pekerjaannya karena permasalahan pendengaran beliau, contohnya kalau disebutkan harus begini-begitu, bagian ‘ini-itu’, mungkin yang ia kerjakan hanya begini, trus tersisa pekerjaan bagian lainnya itu.
Mang Ujang itu setia, menurutku. Langka di zaman ini, setia kawan, setia tolong-menolong dalam bersikap. Seringkali ia disuruh bapak untuk mengantarkanku ke tempat teman, saat saya harus menyelesaikan tugas kelompok dari sekolah. Selama beberapa jam, di depan rumah temanku, mang ujang duduk menanti di dalam becaknya dengan sabar. Saya bilang, “Mang, kalau dipanggil orang buat ngantar, gak apa-apa, pergi dulu aja… Kalau mau minum, ada di atas meja…”, temanku menyiapkan sebotol air es buatnya. Tapi waktu menunggu saat terik matahari, biasanya dimanfaatkan beliau untuk tidur atau mengisi teka-teki silang saja. Sehingga saya pun selalu termotivasi agar tugas sekolah cepat selesai, berharap Mang Ujang tidak kelamaan menungguiku. Dan tatkala sudah pulang ke rumah, seolah melapor kepada bapak, Mang Ujang berkata, “siap, boss… sudah diantar dan dijemput nih…hehehehe”, beliau pun sebenarnya tak hanya mengantarkanku, karena saat sudah makin kenal dengan teman-temanku, kadang-kadang sohibku pun “kecipratan rezeki” naik becak di’gratisin’ Mang Ujang ketika bertemu dengannya di jalan. Maka kalau usai tugas kelompok sekolah, sohib yang rumahnya searah dengan rumahku pun bisa pulang bareng, diantarkan oleh Mang Ujang.
Tapi kesetiaannya itu memang bagus, ia menjalankan tugas-tugas yang diberi, tidak seperti mamang X yang tukang becak senior, Mang X menjual agamanya karena “terlalu setia”, ketika pelanggan setia Mang X masuk ke agama lain (di luar Islam) dan memberikan hadiah uang yang (bagi Mang X) lumayan banyak, maka Mang X pun rela mengikuti agama tersebut. Naudzubillahi minzaliik.
Di setiap akhir bulan masa gajian, tak cuma pundi-pundi rupiah Mang Ujang yang mengalir deras, (padahal jumlah nominal tidaklah seberapa, namun kalau terkumpul ‘tip’ dari pelanggan dadakan atau orang-orang yang sering ditolongnya, maka penghasilan beliau memang lumayan, berkah Allah mengiringi rezekinya), ada yang ikut membelanjakan beras buat keluarganya, susu, gandum, sirup, atau ada pula yang membelikan pakaian baru buat anak-anaknya. Subhanalloh…
Suatu hari ketika di dalam becaknya, Mang Ujang cerita, “Kemarin Mamang mengantar nenek Fulanah, lho ri… Kayaknya orang itu baru pindah ke kompleks ini…”, “Oooh, di jalan yang simpang empat itu…hmmm, iya, rumah itu dulu rumputnya tinggi, sekarang udah rapi halamannya…nenek-nenek yah Mang? Diantar kemana?”, sahutku, tak terlalu konsentrasi.
“Pagi-pagi banget. Nenek Fulanah mau ke pasar besar, stop di pintu gerbang… Ngobrol-ngobrol, ramah orangnya, kaca matanya tebal… dapat rezeki lagi lah Mang Ujang…”, ujarnya lagi.
Saya waktu itu berpikir ‘rezeki’ yang dimaksudkan adalah uang sisa kembaliannya yang lumayan besar. Ternyata pikiran yang keliru. Mang Ujang melanjutkan, “Nenek Fulanah hanya membawa selembar lima puluh ribuan dan beberapa uang logam di tas belanjanya. Mana ada kembaliannya kalau lima puluh ribu, apalagi masih pagi…”, “terus…? ditukar dulu yah?”, kataku, ongkos becak di kompleks kami waktu itu hanya kisaran dua ribu rupiah.
“Ditukar dimana, ri? Kan belum ada toko yang buka. Tukang becak lain, cuma sedikit yang nongkrong di pos, dan gak ada yang punya duit tukeran, hehehe. Jadi mamang tanya aja, logamnya ada berapa bu ? Kata si ibu, ‘tujuh ratus perak, mang…’. Ya udah gak apa-apa, tujuh ratus aja. Kalau lima puluh ribuan gak ada kembaliannya, ‘wah, maaf banget yah, terima kasih banyak, mang. Udah tua begini, saya lupa nyiapin dua-ribuannya’, kata si ibu. Yang penting udah rezeki dapat pelanggan baru kan mamang, hehehe”, panjang Mang Ujang berceloteh.
Deg. Hati ini bergetar. Mang Ujang itu baik sekali, kalau ada pelanggannya yang sedang berjalan kaki (karena kehabisan ongkos), dia kasih ‘gratis antar’, apalagi jika kebetulan searah dengan jalan yang ditujunya. Untuk pelanggan yang membayar bulanan, dia menanti dengan sabar hari gajiannya. Bahkan berkat banyaknya ‘servis jasa’ beliau kepada orang lain, banyak yang menganggap beliau bagaikan bagian dari keluarga sendiri. Satu hal tentang kalimat hari itu adalah prihal “rezeki”. Ketika waktu kian berjalan, beberapa tahun lalu barulah diriku sadar, bahwa memaknai rezeki-Nya memang tak hanya urusan ‘jual-beli’, alias urusan perut, tak melulu uang. Rezeki-Nya Maha Luas, dari sejak tidur nyenyak dengan nyaman, bangun tidur menghirup kesegaran oksigen dan air wudhu, bisa mendengar adzan, melihat mentari, membaca qur’an, rezeki sarapan, memperoleh teman-teman, punya sahabat yang amanah, dan seterusnya berlimpah ruah, selain rezeki keteguhan iman serta nikmat kesehatan nan teramat mahal, hingga memang tiada seorang pun yang bisa menghitung rezeki-Nya dalam kehidupan kita.
Mang Ujang punya jam terbang tinggi saat ramadhan, banyak yang minta tolong merenovasi bagian-bagian rumah. Dan kalau mendekati hari raya, tak perlu ia beli baju baru, memang sudah ada yang membelikan. Bahkan ada yang memberi kejutan, menghadiahinya televisi dan sofa baru yang sederhana, kadang-kadang ada yang menghadiahkannya barang-barang yang masih layak pakai, subhanalloh walhamdulillah, siapa pun yang mengenalnya, merasa kagum akan ‘derasnya rezeki Allah yang tercurah’ buat keluarganya. Dengan menjadi pengayuh becak dan servis serba bisa ala ‘sukarelawan’ yang memang amat dibutuhkan warga kompleks, si mamang ini berhasil mencukupi nafkah keluarga, menyekolahkan anak-anaknya.
“Sehabis bayar zakat minggu lalu, wah mamang gak nyangka juga langsung tambah banyak rezeki…”, ujarnya suatu pagi ramadhan.
“Banyak yang ngasih THR yah mang, hehehe ?”, jawabku.
Katanya, “Bukan duit THR-THR-an. Tapi bu asih yang diujung sana, kan saudara jauh mamang. Beliau nganterin tivi ke rumah, Alhamdulillah… Terus, Bu Sasha juga ngasih kain baru, ‘katanya buat sholat di hari raya’, padahal mamang gak minta apa-apa sama mereka…hehehe”, seraya nyengir si mamang.
Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya, “…Dan apa saja yang kamu infakkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah pemberi rezeki yang terbaik.” (QS. Saba’ [34] : 39)
Barokalloh Mang Ujang! Mang Ujang kini sudah punya cucu, anak-anaknya sudah bekerja dan berkeluarga. Sejak beberapa tahun lalu ia tidak ‘nge-becak’ lagi. Terakhir kali ia memberikan jasa kayuhan becaknya saat saya akan melahirkan anak pertama, delapan tahun lalu. Setelah waktu terus bergulir, semua ortu yang seangkatan orang tuaku telah pensiun, kompleks itu nyaris kosong. Servis becak disana sudah lumayan mahal, lima ribu-an sekali jalan, dan tak ada pengayuh becaknya yang seperti Mang Ujang, seramah dia dan seringan tangan itu. Dan tetangga kami yang usianya sama dengan kakakku ‘mengangkat’ Mang Ujang sebagai orang kepercayaannya. Mang Ujang ikut membantu di bengkelnya (yang memiliki beberapa cabang) di luar kompleks, menjadi supir antar-jemput jika ada yang menyewa mobil, mengawasi pekerja di toko perlengkapan rumah milik mereka, istri si mamang pun ‘menghandle’ urusan memasak di bisnis catering keluarga tersebut. Subhanalloh.
Tatkala dua tahun lalu kami berjumpa kembali, Mang Ujang mengantarkan catering bersama istrinya ketika sulungku dikhitan di kota kami, Mang Ujang bertepuk tangan sambil nyengir, dan tak henti-hentinya mengucapkan selamat dan rasa kagum kepada kami, anak-anak bapak (yang dulunya toh dia juga yang jadi ibarat “pak pengawas” kami sejak kecil). Dalam hati, “Kami pun kagum dengan perjalanan hidup yang engkau lalui, Mang Ujang…”.
Beliau pernah bangkit dari keterpurukan, pernah menunjukkan bukti bahwa orang yang hebat adalah orang yang selalu bersyukur, meskipun apa yang dijalani ternyata tak sesuai keinginan diri.
Ayat indah-Nya, “…Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh [2] : 216)
Mungkin saja sekarang kita bertanya ‘mengapa begini…mengapa begitu…’, kenapa jalan hidup terasa lebih terjal dan lebih berliku, ataukah diluar pemikiran dan perencanaan kita, dan sebagainya. Lalu suatu hari nanti kita akan berucap dalam nurani, “Subhanalloh… ternyata jalannya begini…ternyata yang dialami harus begitu. Ternyata Allah ta’ala memang menghendaki skenario terbaik buat kita semua…”, insya Allah selalu ada solusi buat orang-orang yang optimis di jalan-Nya.
(bidadari_Azzam,@ Krakow, jelang malam 18 juli 2011)