Biarkan Cinta Itu Terucap

Mama, aku gambar square square ini untuk Mama

Iya sayang,

terima kasih ya Mama, aku mau dipanggil cinta

Baik cinta, Mama sayang kamu.

Percakapan itu hanya sekilas dari cerita seorang ibu yang sedang dalam proses perceraian dengan suami yang telah 13 tahun menikahi dan memberi 4 orang anak-anak yang manis. Sang bungsu yang kebetulan berusia 5 tahun memberikan ibu itu gambar tak berbentuk dalam selembar kertas buram sebelum mereka sama-sama hendak berangkat keluar rumah, si anak ke sekolah sementara sang ibu ke pengadilan agama.

Berita harian infotainment pagi hari ini memang diawali dengan kasus perceraian akhir-akhir ini. Gosip teman sarapan dikantor, begitu rekan-rekan kerja laki-laki saya biasa menyebutnya, entah kenapa enam laki-laki di antara tujuh orang karyawan di ruangan ini –saya satu-satunya perempuan- senang sekali menonton acara gosip. Hm.. laki-laki yang aneh:p-

Jujur, saya tidak tertarik dengan gosip dan proses perceraian dari artis itu. Menurut saya perceraian seperti halnya pernikahan hanya bagian dari fase alur hidup manusia yang wajar dan normal saja. Kalaupun akhirnya harus di ekspos menjadi berita besar hanya karena yang bersangkutan adalah seorang public figur tidak lantas menjadikannya momok kemudian membuat saya yang notabena belum menikah lantas takut untuk menikah. Tak akan pernah!. Tapi itulah bagian dari proses hidup orang lain yang harusnya menjadi pelajaran untuk saya pribadi.

Tapi lepas dari semua itu saya benar-benar merasa terenyuh mendengar cerita tentang kedekatan dia dengan anaknya, bagian dari percakapan ibu dan anak itulah kemudian yang membuat saya tersenyum miris. Bisakah saya kelak sedekat itu dengan anak-anak saya? Bisakah saya se’mubajir’ itu dengan kata-kata cinta dan sayang kepada orang-orang yang saya cintai?

Bisakah saya memenuhi setiap desahan nafas anak-anak saya dengan kalimat-kalimat novel itu? Bisakah saya membiasakan anak-anak saya mengekspresikan perasaan sayang mereka dengan kata-kata? Jawabnya hanya satu: Saya Wajib Bisa! Dan jujur saja saya mau berusaha untuk bisa!

Saya berangkat dari lingkungan keluarga yang tidak terlalu terbiasa dengan bahasa mendayu-dayu seperti itu, tidak ada seorangpun di antara kami yang ekspresif dan terbiasa membahasakannya secara verbal.. Tidak ada yang salah dengan itu memang, tapi begitulah lingkungan membiasakan kami. Semua perasaan itu seperti tenggelam, dan tanpa diucapkan sekalipun rasanya kami sudah sama-sama tahu kalau kami mencintai satu sama lain, cara kami mengekspresikan rasa sayang itulah yang mungkin biasa saja.

Saya sempat tersenyum mendengar cerita seorang teman yang terbiasa bernyanyi via telepon untuk suaminya demi mengobati kangen manakala sang suami sedang dinas di luar kota, terdengar lucu memang. Tapi bila dibandingkan dengan saya dan bagaimana lingkungan telah membiasakan saya, saya akan lebih memilih pilihan pertama kalau boleh, cukup romatis juga untuk ditiru:p-

Jikalah saya suka diperlakukan seperti itu, suka ditaburi dengan kalimat-kalimat indah tentang diri saya sendiri dari orang lain maka logika yang paling masuk akal adalah orang lain juga akan suka diperlakukan seperti halnya saya. Tentunya maksud saya bukan seperti rayuan gombal tingkat tinggi Maka pilihannya hanya dua;
Pertama, Saya harus membiasakan diri melakukan dan mengatakan hal-hal yang akan saya sukai bilamana orang lain mengatakan dan melakukannya kepada saya. Kedua, saya lebih memilih menjadi diri saya yang sekarang ini; tidak ekspresif dan cenderung pelit mengatakan kalimat-kalimat indah itu.

Apapun pilihan saya semua konsekwensinya akan kembali lagi kepada saya. Kalau saya memilih pilihan pertama tentu saya wajib berusaha merubah diri dan kebiasaan-kebiasaan kaku saya dalam mengekspresikan perasaan saya, akan sulit memang, tapi paling tidak saya berusaha.

Sedangkan untuk pilihan kedua rasanya saya harus siap-siap kecewa dengan konsekwensi tidak mengharapkan orang lain berbuat hal yang sama terhadap saya. Maka, di sanalah pilihan itu akhirnya bermuara, yang perlu saya dan kita semua lakukan hanya memilih…

December 15th, 2006 Di antara rasa yang jarang terucap.