Seringkali, keraguan yang menggelayuti hati menyebabkan seseorang tak berani bertindak atau mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu. Dan hal itu pula yang menyebabkannya terhambat, dan mungkin pula terlambat dalam mendapatkan hal yang dituju. Ini bukan hanya masalah ketakutan dan keraguan untuk memilih atau menentukan sikap. Ini juga mengenai ketidaksiapan mengalami kekalahan atau kegagalan.
Saya pernah kenal dengan seseorang, ia menceritakan kepada saya mengenai hal-hal yang ia inginkan. Pada sebuah hal yang menjadi keinginannya, ia memiliki sejumlah kriteria yang menurutnya harus dipenuhi. Bila ada satu atau dua hal saja yang tidak terpenuhi, ia tidak akan mau menerima hal tersebut. Mengenai kriteria, tak asing lagi bahwa setiap diri kita pasti menginginkan hal yang terbaik yang akan diperoleh. Oleh sebab itu, memiliki segala macam kriteria dalam meraih sesuatu, menjadi suatu kewajaran. Kalaupun tidak akan sempurna, setidaknya kriteria-kriteria tersebut mewakili upaya untuk mencapai kesempurnaan. Maka, setiap ketidaksempurnaan yang ditemui, seharusnya pun diterima dengan wajar.
Pernahkah kita menjadi seorang yang begitu perfeksionis? Merencanakan segala sesuatu dengan rapi, teliti, penuh aturan, seakan takut sesuatu yang akan dilakukan tersebut tidak berhasil atau memperoleh hasil yang jelek. Perencanaan adalah sebenarnya sebuah upaya untuk membantu hal-hal yang akan dilakukan supaya mencapai hasil yang baik, sesuai dengan tujuan semula, sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Perencanaan adalah sebenarnya salah satu alat ukur terhadap sebuah aktivitas. Keberhasilan maupun kegagalan adalah sebuah hasil yang penting untuk diketahui, namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana proses aktivitas tersebut dilalui. Bagaimanakah niat yang ada di hati ketika aktivitas tersebut dijalankan? Hikmah apa yang telah didapat dalam menjalankan aktivitas tersebut? Seringkali, keberhasilan yang diperoleh meninggalkan bekas yang membahagiakan. Disebut-sebut, dibangga-banggakan, dan lama sekali baru terlupakan. Namun bila yang ditemui adalah sebuah kegagalan… entah apa reaksi yang terjadi. Dan bekasnya? Bisa jadi ingin dihapus dari ingatan segera. Padahal di baliknya, terdapat suatu hal yang demikian berharga. Kadang kita lupa, betapa kegagalan dapat menjadi sebuah pelajaran yang tak ternilai.
Suatu kali, saya pernah merasakan frustrasi. Sebabnya adalah saat itu saya benar-benar merasa tidak bisa menulis. Setiap tulisan yang saya buat rasanya benar-benar tidak layak untuk dimuat di media manapun. Pendapat orang lain yang mengatakan sebaliknya, tak pernah saya pedulikan. Rasanya tangan ini benar-benar lumpuh dan tak mampu menulis lagi. Untuk sekian waktu yang cukup lama, benar-benar tidak ada satu buah tulisan pun yang berhasil saya selesaikan. Waktu itu, entah apa sebabnya, saya pikir bahwa selama ini saya memang tidak bisa menulis dan tidak cocok menjadi seorang penulis. Baiklah, pikir saya waktu itu, saya tidak akan menulis lagi. Benar saja, selama bertahun-tahun kuliah, tidak ada satu pun tulisan yang saya kirimkan ke media.
Namun akhirnya saya tergelitik juga untuk sedikit merenungkan sikap saya saat itu. Memutuskan untuk tidak pernah lagi menulis? Rasanya hal yang agak mustahil, pikir saya kemudian. Saya pun mencoba mengingat-ingat lagi, kira-kira apa penyebab dari keputusasaan saya pada saat itu. Semenjak pertama kali tulisan saya dimuat di sebuah majalah, rupanya sudah sekian banyak tulisan-tulisan berikutnya yang saya kirimkan ke majalah tersebut, sampai kira-kira setahun setelahnya. Namun tidak satu pun dari tulisan yang saya kirim dimuat. Oh, rupanya itu yang menyebabkan saya memutuskan untuk berhenti menulis.
Apakah satu buah tulisan yang telah dimuat sudah mencukupkan diri saya untuk terus belajar? Lalu menganggap diri ini sudah bisa menulis, kemudian menutup mata dari kenyataan bahwa satu tulisan saja tidak cukup untuk menjadi sebuah proses pembelajaran. Bahwa setiap tulisan yang gagal muat sebenarnya mengandung pelajaran bahwa saya tidak seharusnya mengulang kesalahan yang mungkin saya buat ketika menuliskannya. Bahwa seharusnya saya bisa lebih banyak menulis untuk meningkatkan kemampuan. Bahwa pada saat itu saya terpaku untuk melihat peluang hanya pada satu titik saja.
Saya mungkin lupa, bahwa setiap keberhasilan memiliki jalannya sendiri-sendiri. Ada yang mulus, sekali dua kali percobaan langsung berhasil, oleh sebab memang dikaruniai bakat dan kemampuan yang baik dalam hal itu. Namun ada juga yang penuh liku, bahkan proses itu begitu panjang hingga harus melewati berkali-kali kegagalan. Saya mungkin lupa, bahwa setiap kegagalan memiliki hikmahnya sendiri-sendiri. Dan setiap kali dapat merenungi sebuah kegagalan, saya akan mendapatkan kesegaran dan semangat baru untuk memperbaikinya dan melakukan hal tersebut lebih baik lagi.
Setiap diri kita memang memiliki kesiapan yang berbeda dalam menghadapi sebuah keberhasilan dan sebuah kegagalan. Seorang yang sangat siap dan senang akan sebuah keberhasilan, belum tentu dapat tegar mengatasi dampak dari sebuah kegagalan. Tak banyak yang bisa menghadapi kegagalan dengan baik, apalagi mengambil pelajaran darinya. Kalau saja kegagalan tersebut tak menjatuhkan beban begitu berat pada diri kita, maka ia akan terlihat indah. Kekecewaan ketika menghadapi kegagalan memang hal yang sangat manusiawi. Tetapi seringkali kita lupa bahwa melakukan kesalahan dan mengalami kegagalan adalah juga tabiat manusia. Bukankah di balik setiap kepayahan itu adalah sebuah kemudahan? Dan hanya Dia lah yang berhak menentukan hasil akhir dari sebuah proses panjang perjuangan manusia…
Sebab jurang tak selalu berarti kekalahan,
sebab jurang tak melulu masalah ketakberdayaan,
sebab jurang tak selamanya tempat kejatuhan.
Karena jurang juga diciptakan untuk mereka yang ingin mendaki,
karena jurang ada bagi mereka yang berani,
untuk menyeberangi,
untuk menaikinya kembali, bila ia terjatuh nanti.
Jadi, biarkan bila jatuh ke jurang, bila memang harus jatuh.
Sebab selalu ada yang membantumu untuk naik kembali.
***
(hadiah untuk FLP’ers, dan semua yang ada di “panggung pelangi