Suatu saat, saya sempat tak percaya ketika guru kelas anak saya menceritakan tentang anak sulung saya ketika ia masih kelas satu dulu. Ia sama sekali tak mau masuk kelas, lebih suka bermain di luar kelas. Waktu itu saya masih menganggapnya wajar, toh ia baru kelas satu. Meski pun setelah itu saya harus menungguinya di kelasnya beberapa waktu. Bahkan sambil dibonusi dengan tangis karena ia tak mau ditinggal. Padahal di TKnya dulu ia sudah tak seperti itu. Kami sempat berfikir membawanya ke SD alam mengingat latar belakangnya yang aktif dan tak mau berkonsentrasi lama, tetapi mengingat jarak dan faktor biaya, rencana itu kami urungkan.
Seiring waktu ia mulai mau belajar di dalam kelas, meski ia lebih suka dihukum karena kesalahan yang ia lakukan agar ia bisa mencabuti rumput di luar kelas. Sekarang, alhamdulillah, ia sudah kelas lima. Setiap tahun menjelang kenaikan kelas, sesungguhnya saya sering khawatir karena gurunya senantiasa memberi "warning"sebab nilainya yang mepet untuk bisa naik kelas. Sungguh, rasanya tak percaya. Bukankah ketika ia masih bayi dulu, iamenunjukkan kecerdasan yang membanggakan. Bukankah kalau dililhat dari sisi genetis, mestinya ia tak menunjukkan kesulitan belajar, abinya dosen, saya pun lulus dari PTN dan dapat beasiswa karena berprestasi? Eyangnya guru yang dihormati sekitar.
Tetapi saya memang harus banyak belajar darinya, bahwa kecerdasan tidak hanya ditentukan dari sisi intelektualnya, tetapi dari banyak sisi yang lain. Dia adalah teman yang menyenangkan bagi anak-anak didekatnya, dia empati, ringan tangan membantu dan sangat kreatif menbuat permainan baru.Itu sebabnya dia banyak mempunyai "fans", nak-anak para tetangga. Begitu pulang sekolah, namanya disebut berkali-kali. Dia juga yang beranjak pertamakali ketika mendengar adik bungsunya menangis dan senantiasa menghiburnya.
Dia pula yang menyetrika baju seragamnya dan adik-adiknya ketika mau sekolah dan belum ada seragam setrikaan. Dia pula yang rajin membuat nasi goreng dengan aneka bumbu yang berubah-ubah dan biasanya, enak. Dia pula yang mencuci piring ketika umminya terbaring sakit. Sungguh, di usia sepuluh tahun, saya belum mempunyai ketrampilan sebanyak yang dia punya, karena saya memang difokuskan untuk belajar. Meski saya sering menang lomba akademis mewakili SD saya, tetapi putri saya memiliki kekayaan yang jauh lebih banyak dari yang saya punya. Ia sangat menikmati outbond, turun tebing, panjat tebing, menyebrang sungai, mabit, mencari kepiting dan wader di kali tanpa risih dan rasa takut.
Saya yakin, saya salah ketika saya memandangnya tak sepintar adiknya yang selalu tiga besar di kelasnya. ia pintar dari sisi sisi yang lain sebagaimana adiknya juga pintar dari sisi yang lain lagi. Menerima dia seutuhnya dan tak membandingkannya dengan yang lain adalah keadilan yang harus saya tegakkan, meski seringkali juga banyak godaannya.
Tetapi, hidup banyak pilihan. Meski suatu saat dia pernah bilang, "Aku nggak mau kuliah seperti ummi dan abi, aku mau sampai SMA saja." Tetapi esok masih panjang. Ia masih bisa berkembang lebih baik dan lebih potensial. Semoga Allah membariskannya dalam barisan pencerah ummat dalam bingkai keridhoanNYa….sebagaimana amanah kecerdasan yang dimilikinya