Pagi, Matahari masih bersembunyi, Lelaki Calon Pengantin ini berangkat berpakaian rapi, Berjalan dengan Cepat, Bergegas menelusuri jalan semen yang hanya bisa dilewati satu Mobil, Dia Berpapasan dengan beberapa tetangganya yang senang bermasyarakat.
Masyarakat awam sepertinya masih menganggap aneh bila Calon Pengantin yang masih tetap bekerja walaupun besok pagi akan menikah. Seolah-olah ada peraturan tak tertulis yang melarang bekerja pada 1(satu) hari sebelum menikah, atau ada juga peraturan membuat hari pernikahan harus diperlakukan secara berlebihan.
"lho…, Bang Maulana, Besok mau nikah, kok hari ini masih kerja?" kata beberapa tetangga, saat itu Maulana akan berangkat kerja di Daerah Kalibata Jakarta”
"Ya, emang kenapa" Jawab Maulana sambil berjalan cepat karena sudah merasa terlambat, mengejar jadwal KRL Jabotabek yang jarang tepat.
"ya nggak apa apa sih" Jawab mereka dengan jidat berkerut.
Maulana melanjutkan berjalan cepat, karena khawatir terlambat dan dia berfikir dalam hati "iya ya… kenapa Allah membuatku lupa untuk minta libur saja?, biasanya kebanyakan orang akan meliburkan diri sehari menjelang pernikahan, kenapa aku merasakan perasaan biasa saja, tidak tegang atau perasaan campur aduk seperti kata-kata orang kebanyakan yang mengatakan menjelang nikah akan timbul adonan rasa gembira, takut, sedih dan tegang, menghadapi perjanjian aqad nikah ijab qabul yang menggetarkar arasy dan disaksikan dicatat malaikat,
Sepertinya… bagi sebagian besar orang, mereka menganggap pernikahan secara berlebihan luar biasa, harus ini itu, ada yang dipingit, lalu membuat ritual siraman, lalu membuat ritual sesuai adat-istiadat yang menghabiskan waktu, energi dan biaya besar. Di lain pihak, untuk pasangan muda yang tidak mementingkan ritual adat, mereka akan sibuk membuat rancangan pakaian, lokasi pesta, dan lain-lain yang hampir sama menghabiskan energi waktu dan biasa yang luar biasa. yang mereka anggap harus dibuat semewah mungkin, semenarik mungkin agar bisa sekalian mengangkat gengsi keluarga di depan tetangga.”
Ada juga orang-orang yang berdalih: ini kan peristiwa sekali seumur hidup jadi harus dibuat mewah habis-habisan, tapi kenyataannya, tetap saja makin banyak perceraian dan makin banyak yang menikah lagi, jadi tidak ada manusia yang dengan sombongnya mendahului taqdir dengan mengatakan bahwa "ini hanya sekali seumur hidup" Padahal peristiwa menikah ialah peristiwa biasa, tanpa mengurangi kesuciannya, pernikahan bisa dilakukan dengan tetap melakukan walimahan yang tidak berlebihan.
Padahal dengan melakukan tindakan berlebihan, maka calon pengantin akan menguras energi dan waktu. Betapa banyak pasangan yang ingin menikah dengan cara biasa dan sederhana dalam hal waktu dan biaya, tetapi pihak orang tua dan keluarga kaya sering merasa "wajib" pesta mewah untuk menjaga gengsinya."
Alhamdulillah, tidak dengan keluarga Maulana, walaupun dia bukan dari keluarga kaya namun juga tak bisa dibilang fakir miskin, Maulana Bisa menikah dengan walimah yang sewajarnya saja.
Begitu pula dengan keluarga mertua yang sudah layak disebut kaya raya dengan asset toko, dua Truk dan beberapa kendaraan roda empat, tetapi mereka tidak memaksakan diri untuk menjaga gengsi. Melaksanakan walimahan di Kampungnya dengan sewajarnya tidak berlebihan dan tidak mengumbar kemewahan.
Pak Ustadz Bo’im, Guru ngajinya Maulana juga pernah mengatakan bahwa "pernikahan adalah hal biasa, dan sudah tertulis di akhirat (lauh mahfudz)* sebelum manusia lahir, jadi mau merasa tegang atau merasa biasa, tetap bekerja, toh jodoh kita tetap sudah ditulis atau terprogram bakal terjadi atau bakal tak jadi"
Mungkin saja karena Maulana tidak melewati masa pacaran seperti orang pacaran bermesraan, jadi Maulana menganggap pernikahan itu biasa, bahkan Maulana tidak melibatkan rasa cinta, dan memang tidak punya rasa cinta pada calon istri. karena Maulana cuma menjalani perkenalan atau taaruf.
Dunia dan lika-likunya memang sulit ditebak, sebelumnya bertaaruf Maulana pernah berusaha berjuang mati-matian mendapatkan calon istri yang sangat Maulana cintai dengan cara pacaran, tetapi Allah mentaqdirkan calon istri yang lain mendatangi Maulana.
Bahkan Istrinya kini menjadi istri yang shaliha, penuh cinta dan taat pada suami, bahkan setelah tiga tahun menikah Istrinya menyuruh Maulana menikah lagi. Entah taqdir apalagi, kisah rumah tangga memang sulit diprediksi, yang penting, suami istri harus saling berusaha menjadi Makhluk Golongan Rabbani*.
Makhluk yang selalu taat dan selalu mengkaitkan diri pada tuhan Rabb bil’alamin (pemelihara alam semesta) di dalam segala suka dan duka, Makhluk Yang selalu berusaha taat pada Rabb (tuhan pemelihara) nya Allah SWT,
Bersabar saat Sukar,
Bersyukur saat Makmur.
Penulis: Mr.Anas Ayahara
Sie.Humas Forum Lingkar Pena Depok
Ideanas.multiply.com
Kisah di atas mengambil dasar kisah nyata yang sudah ditambahi, nama-nama tokoh diganti dengan nama samaran untuk menjaga privasi, Semoga bisa diambil hikmahnya.
—————-Catatan Kaki————–
*Lauh Mahfudz
yaitu penulisan taqdir bagi seluruh makhluk di lauh mahfudz 50 ribu tahun sebelum penciptaan bumi dan langit.
** Golongan Rabbani:
Ibnu Abbas berkata, "Jadilah kamu semua itu golongan Rabbani, yaitu (golongan yang) penuh kesabaran serta pandai dalam ilmu fiqih (yakni ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hukum hukum agama), dan mengerti." Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud "Rabbani"’ ialah orang yang mendidik manusia dengan mengajarkan ilmu pengetahuan yang kecil-kecil sebelum memberikan ilmu pengetahuan yang besar-besar (yang sukar)