Suatu hari seorang nenek berjalan terseok-seok di jalan trotoar yang sempit. Nenek itu menengok ke sebuah toko di sebelah kanan jalan sambil mendorong kereta belanjaan yang telah dipenuhi isi. Entah dia sadari atau tidak, tiba-tiba seorang pemuda sedang berusaha melewatinya. Tapi karena sempitnya trotoar, ditambah lagi dengan kereta dorongnya yang berada di tengah-tengah, membuat pemuda itu kesulitan untuk mendahului.
Aku yang melihat pemandangan itu jadi berpikir apa yang akan dilakukan pemuda itu. "Pemuda itu akan membunyikan bel sepedanya dan melewati nenek itu," tebakku. Kenyataan ternyata tidak seperti yang kubayangkan. Dengan pelan-pelan pemuda itu tetap berada di belakang si Nenek dan tidak membunyikan bel sepedanya. Sampai akhirnya si Nenek menyadari ada seseorang di belakangnya dan dia telah menghambat jalan orang lain. Dengan membungkukkan badannya berkali-kali sambil meminta maaf (kebiasaan yang sering kulihat pada orang Jepang), dia menepi dan memberi jalan untuk pemuda itu. Dan berlalulah pemuda itu dengan anggukan balasan tanpa kudengar suara omelannya.
Pernah pula saya dan beberapa teman berjalan di trotoar yang lebarnya mungkin hanya 2 meteran, tetapi kami berjalan berjejer sambil mengobrol. Seakan-akan itu jalan milik kami dan tidak ada orang lain yang akan menggunakannya. Atau karena kami tidak mempunyai pikiran untuk berjalan agak ke pinggir dan membaginya untuk orang lain, walaupun saat itu tak ada orang yang lewat.
Entahlah, mungkin saat itu di kepala kami tak ada pikiran seperti itu karena asyik mengobrol? Tiba-tiba ada orang berkata, "Sumimasen.sumimasen…" Seseorang meminta maaf (permisi) untuk dapat melanjutkan perjalanannya yang terhalang oleh kami. Atau kekhawatiran menabrak salah seorang anak-anak kami yang berkeliaran dengan bebasnya. Tetapi orang itu bukan yang terakhir, masih ada yang merasa tidak enak untuk meminta jalan kepada kami.
Padahal mereka mempunyai hak yang sama atas jalan trotoar itu. Sama halnya dengan kami."Ah… sumimasen, gomen nasai…," kataku meminta maaf sambil menarik tangan anakku untuk menepi dan memberi jalan kepada orang yang sempat turun dari sepedanya. Dia berlalu sambil menganggukkan kepalanya disertai senyuman di bibirnya. "Duh…kok dia nggak marah, ya?" batinku. Padahal biasanya orang marah-marah kalau jalannya terhalang, dan dari jauh sudah membunyikan bel sepedanya nyaring-nyaring. Kadangkala malah keluar kata-kata umpatan yang tidak sedap didengar.
***
Di sekitar tempat tinggalku ini jarang sekali kudengar suara klakson mobil ataupun bel sepeda berdering-dering. Kenapa ya? Apakah mereka sudah sampai pada tahap yang namanya manusia beradab? Atau karena begitu patuhnya pada peraturan? Atau tenggang rasa pada sesama sudah mengakar dalam kehidupan mereka? Atau mereka tidak sudi dianggap orang bodoh karena membunyikan klakson atau bel? Orang Jepang terkenal sangat patuh pada peraturan. Itukah jawabannya?
"Eh, kenapa ya orang-orang ngga ada yang bunyiin klakson?" tanyaku pada suami, yang kebetulan orang Jepang. "Ngapain bunyiin klakson? Kayak orang bodoh aja? Nanti juga kan dapat gilirannya kalau mau jalan?" suamiku malah balik bertanya. Memang kulihat lalu lintas di Jepang teratur, yang jalan lurus sudah ancang-ancang dari jauh memilih jalur lurus, begitu juga yang ingin belok mengambil jalur sisi jalan agar tak menghalangi mobil yang akan jalan lurus. Mobil yang akan belok kanan akan mendahulukan pengendara yang berlawanan arah, baik itu yang jalan lurus ataupun yang belok kiri.
***
Kemarin sewaktu aku dan teman-temanku ketinggalan bis, kami duduk di sembarang bangku yang berjejer di halte itu. Masih ada waktu 10 menit lagi untuk keberangkatan bis berikutnya. Kami ngobrol sana sini, hingga tak terasa sudah banyak orang yang mulai berdatangan. Mereka hanya melihat sekilas kepada kami dan tetap berdiri, padahal masih banyak bangku yang kosong. Karena yang duduk hanya aku dan anaknya temanku. Sedangkan temanku berjongkok menghadap anaknya dan satu temanku lagi berdiri di belakang kami.
"Heh…! Kok ada perasaan tak enak ya?" batinku ketika aku melihat seorang nenek berdiri tak jauh dari kami. Tentu saja nenek itu dan orang-orang yang ada di situ tak bisa maju karena biarpun di depan kami masih kosong, tetapi karena kami yang ada di sana lebih dulu, maka mereka akan berada di belakang kami.
Segera aku mengajak teman-temanku maju ke depan mendekati tempat naiknya bis. Barulah nenek itu dan yang lainnya ikut maju dan duduk di bangku yang tadi kami duduki. Aku menganggukkan kepala dan meminta maaf, "Sumimasen…" Nenek itu hanya tersenyum sambil mengangguk.
Tak ada kesan marah atau sinis. Anggukan kepala dan senyum, tanpa ada kata-kata umpatan atau omelan malah membuat kita malu sendiri dan sadar telah berlaku ceroboh. Nenek tersebut seolah berusaha memahami kami.
Dari beberapa contoh di atas, aku merasa ada sebuah kekaguman pada orang Jepang. Mereka yang terkenal dengan sifat individunya, ternyata masih bisa berusaha memahami perasaan orang lain. Dengan caranya, mereka akan tersenyum sambil menganggukkan kepala. Seolah memberi tanda bahwa tak ada hal yang perlu dirisaukan oleh si pihak lawan akan sikap salahnya. Sesuatu yang kadang masih sulit aku terapkan. Yaitu berusaha memahami perasaan orang lain.
Tidak salah jika Rasulullah saw sering mengingatkan bahwa saling memahami (tafahum) akan meningkatkan rasa ukhuwah Islamiyah. Karena dari rasa saling memahami inilah akan timbul keinginan saling bekerjasama. Yang kemudian akan berlanjut menjadi mendahulukan kepentingan orang lain, tingkatan yang tertinggi dalam jalinan ukhuwah. Hingga terjalin rasa saling cinta kasih.
Entah cerita di atas berhubungan atau tidak, tapi dengan kejadian tersebut, kini aku mulai berusaha agar dapat memahami orang lain. Aku berharap dengan berusaha memahami orang lain, dapat meningkatkan diri ke arah insan yang bisa mendahulukan kepentingan orang lain. Wallahu`alam bisshowab.
[email protected] (flp-Jepang)