Bersujud kepada Allah, Bersyukur sepanjang waktu Setiap nafasmu seluruh hidupmu semoga diberkahi Allah Bersabar taat pada Allah, menjaga keikhlasannya Semoga dirimu semoga langkahmu, Diiringi oleh rahmat-Nya Setiap nafasmu seluruh hidupmu semoga diberkahi Allah (Opick)
Pagi itu, bibi dan pamanku tidak menyangka jika pasar tradisional di wilayah Bekasi tempat sehari-hari mencari penghidupan, dibongkar secara paksa. Tidak ada firasat atau mimpi apapun pada malam hari sebelumnya atau desas-desus bakal dilakukannya aksi yang menyentakkan dada tersebut. Mereka masih menyakini bahwa di lubuk hati manusia—walau setitik, masih tersimpan kebeningan bernama hati nurani. Meski tarik-ulur pembongkaran pasar tersebut telah berlangsung lama, jika memang pasar tersebut harus segera dieksekusi tentu para pedagang akan diberi pemberitahuan meski secara sepihak agar mereka memiliki persiapan yang cukup untuk meresponnya, apakah akan membiarkan kiosnya dibongkar tiba-tiba dengan segala isinya atau meminimalisir dampak kerugian dengan mengurangi persediaan barang dagangan yang ada di kios. Namun rupanya aksi pembongkaran di pagi itu, adalah aksi yang surprise bagi ribuan pedagang. Sungguh disayangkan kenapa tidak ada peringatan atau ultimatum sebelumnya. Para pedagang diperlakukan laksana musuh dengan aksi serangan fajar aparat yang tiba-tiba tersebut. Cukup ironis memang, karena para pedagang yang memiliki hati nurani tersebut diperlakukan layaknya serangga saja. Padahal dari para pedagang itulah banyak pihak mengambil keuntungan dari berbagai jenis retribusi dan pungutan.
Wajah pilu dan sedih, bercampur dengan kesal, marah, dan pasrah tanpa daya menggelayuti bibi dan pamanku dan juga para pedagang yang memiliki kios di pasar, yang sebagian dari mereka adalah para tetanggaku. Pilu dan sedih karena terbayang nasib mereka yang berantakan pasca pembongkaran. Dapat dipastikan selama beberapa hari ke depan, mereka tidak bisa berdagang lagi karena belum adanya tempat pengganti untuk berdagang. Seandainya pun bisa berjualan, dapat dipastikan omset penjualan akan turun drastis dibanding hari-hari biasanya, karena tentu banyak pelanggan yang merasa kehilangan pemasok barangnya tersebut. Butuh waktu beberapa pekan atau bulan untuk memulihkan keadaan dan menstabilkan roda perekonomian mereka. Pilu dan sedih mereka juga bertambah karena kompensasi ganti rugi dari masa sisa hak pakai pun masih belum jelas. Dan biasanya, jika kompensasi ganti rugi pun diberikan, jumlahnya kecil dan tidak sepadan. Aku heran, kenapa kasus seperti sering terjadi secara berulang. Boleh jadi, selalu saja ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari penderitaan para pedagang kecil tersebut.
Rasa kesal dan marah pun tidak bisa mereka sembunyikan. Wajar, mereka merasa diperlakukan tidak adil. Dengan logika sederhana saja, karena sesuai perjanjian masa pakai kios adalah sampai dengan tahun 2014, berarti mereka masih memiliki hak pakai selama 7 tahun. Jika mereka dipaksa pindah, tentu mereka berhak atas pengembalian dari uang sewa selama 7 tahun yang telah dibayarkan dimuka. Lha ini, mereka hendak diusir dengan alasan kondisi pasar kumuh dan perlu direnovasi, tetapi pemilik pasar enggan memberikan kompensasi atau mau memberikan kompensasi dengan jumlah ala kadarnya dan ditentukan secara sepihak.
Rona kepasrahan juga kental mewarnai wajah mereka karena mereka sangat menyadari bahwa —berdasar pengalaman, pada akhirnya para pedagang adalah pihak yang dikorbankan dari sebuah kepentingan yang ujungnya adalah kepentingan pribadi atau golongan karena motif ekonomi belaka, bukan motif memberdayakan atau meningkatkan ekonomi rakyat.
Sebagai wujud empati dan kepedulian, aku ikut berpartisipasi dalam rangka memindahkan barang-barang dagangan bibi dan pamanku ke rumah karena mereka belum memiliki tempat penampungan sementara. Di tengah bau busuk dan kumuh yang menebar ke mana-mana, aku mengemasi dan mengepak kue-kue kemasan (snack) ke dalam kardus dan diikat dengan tali plastik (rafia). Sebagian di antaranya adalah snack kadaluarsa yang tetap dikemas dan ikut dipindahkan karena masih bernilai ekonomis. Snack kadaluarsa tersebut bisa ditukar ke distributor dengan kompensasi 50% dari nilai pembelian.
Yang agak menyedihkan, suasana pengepakan agak mengalami kesulitan karena bersamaan dengan pembongkaran paksa yang menggunakan dua buah escavator tersebut, aliran listrik dipadamkan. Beruntung, lokasi kios bibi dan pamanku ada dipinggiran sehingga mendapat pencahayaan yang cukup lumayan.
Ada satu hal yang menarik dari pamanku. Saat kujumpai dia dan kunyatakan agar dia bersabar atas musibah yang terjadi, dia berkata, “Gimana lagi ya, dari sana-Nya sudah begini kali. Ya harus disabar-sabarin. ” Kemudian dia menambahkan, ”Untung aja tidak dibakar, jadi masih ada yang bisa diselamatin. ”
Ya. Di tengah musibah yang menyedihkan tersebut pamanku masih bisa bersyukur. Ia bersyukur karena pasar tidak dibakar seperti banyak terjadi di beberapa pasar yang lain. Dengan tidak dibakar, beberapa barang yang masih bisa dijual, bisa diselamatkan. Tak terbayang jika pasar dibakar secara tiba-tiba, tentu kerugian akan berlipat karena barang dagangan yang ada akan lenyap menjadi abu.
***
Ada dua pelajaran yang kupetik dari kejadian yang menimpa pamanku tersebut. Pertama, bersyukur hendaknya dilakukan sepanjang waktu. Bersyukur di kala mendapat kenikmatan adalah hal biasa dan memang seharusnya demikian adanya. Tetapi bersyukur di kala mendapat musibah, adalah hal yang luar biasa. Hanya orang yang ridha terhadap qadha dan takdir Allah-lah yang bisa demikian. Dengan ridha kepada Allah, di balik musibah yang menimpa, tersingkap rahasia hikmah kebaikan yang bisa disyukuri. Andaikan hikmah kebaikan itu belum bisa tersingkap, hendaknya seorang hamba beriman menyakini bahwa apa yang menimpa dirinya adalah murni kebaikan dari Allah dan boleh jadi hikmah kebaikan itu akan terungkap tatkala bertemu dengan Allah di akhirat kelak. Allah Maha Adil dan Bijaksana, Dia membalas kejahatan dan kebaikan dengan balasan yang setimpal dan sempurna.
Kedua, syukur akan nampak jika hamba mampu membayangkan kondisi yang lebih buruk ‘seharusnya’ terjadi pada dirinya. Pamanku masih bisa bersyukur karena mampu membayangkan kondisi yang lebih buruk tersebut, yaitu seandainya kiosnya terbakar. Dalam beberapa kesempatan, seringkali aku menemukan orang-orang yang tertanam perasaan demikian. Selalu saja dia masih bisa bilang ‘untung’ atas berbagai musibah yang terjadi. Untung hanya luka sedikit, untung masih hidup, untuk hanya handphone yang hilang, untung memiliki relasi yang menawarkan kerja, dan untung lainnya yang merefleksikan bahwa dia bersyukur tidak mengalami kondisi yang lebih buruk dari yang dialami saat itu.
Adakah pengaruh pola pikir ‘bersyukur sepanjang waktu’ ini bagi hamba dalam menjalani hidupnya? Ya, tentu saja. Hidupnya rasanya ‘enjoy aja’ tanpa beban permasalahan yang meresahkan. Sejatinya, itulah refleksi dari keimanan yang selalu memancarkan ketenangan jiwa.
Semoga kita mampu bersyukur kepada Allah sepanjang waktu. Karena hanya dengan bersyukur kita merasakan kasih sayang Allah yang begitu melimpah kepada kita. Mari kita optimalkan kasih sayang Allah itu adalah untuk amal-amal kebaikan.
Waallahu’alam