Delapan belas derajat Celcius… Akhirnya, suhu nyaman musim semi di kota Berlin datang juga. Lengkap dengan semilir angin, hangat sinar mentari dan biru langit.
Kebetulan pula, anak-anak kami sedang libur karena guru-guru TK mereka mengikuti pelatihan. Maka kami pun memanfaatkan kesempatan ini untuk rihlah, berekreasi ke salah satu taman bunga terbesar di kota Berlin.
Hampir tengah hari, tibalah kami di tempat tujuan. Di taman tulip, kedua putra putri kami yang belum beranjak 3 tahun tampak begitu ceria. Berlari-lari kecil, tertawa-tawa dan sesekali berhenti memperhatikan aneka bunga yang dipadu-padankan dengan cantik di atas permadani hijau rerumputan.
Pada satu kesempatan, sang kakak memanggil saya sambil menunjuk ke salah satu bunga berwarna ungu. "Oh, … itu Biene, Abang." Ia sedang memperhatikan seekor lebah yang sedang mencari madu dan mengumpulkan serbuk sari. Saya coba jelaskan dengan sederhana bagaimana lebah mengumpulkan madu dari bunga-bunga atas petunjuk dari Allah yang Maha Bijaksana.
Tingkah sang lebah ternyata cukup menyita perhatian mereka. Saya pun mengambil kesempatan ini untuk mengalihkan konsentrasi pada mekar dan kuncup yang siap berpose di depan kamera. Jepret, jepret…
"Allaahu akbar…" Hah, suara kecil dan nyaring itu, sangat akrab di telinga saya. Ketika saya menoleh ke arahnya, saya dapati kedua putra-putri kami sedang bersujud di depan hamparan bebungaan itu. "Allaahu akbar…" Mereka berdua pun bangun dari sujudnya dan tersenyum ke arah saya.
Subhanallaah…, mereka bersujud setelah melihat keindahan ciptaan-Nya. Sementara saya, cuma sibuk mengagumi dan menyimpannya di dalam kamera. Astaghfirullaah…
Sungguh tak pernah terbayang sebelumnya mereka akan ‘sholat’ di tempat umum seperti itu. Beberapa pengunjung bule tampak memperhatikan tingkah mereka. Manis dan lucu, komentar salah satu di antaranya. Sepertinya mereka tak paham atas apa yang putra-putri kami sebenarnya sedang lakukan.
Saya langsung membuka pesawat HP untuk melihat jam: Sebentar lagi masuk Dhuhur. "Terima kasih ya, Abang, Adik, telah mengingatkan Ayah untuk sholat."
Sambil mencari tempat yang tak terlalu ramai dari lalu-lalang orang, saya tercenung. Andai saya seperti anak-anak itu, cuek, tak peduli dengan sekeliling, tak risih dengan tatapan mata atau komentar orang, betapa tenangnya saya bisa sholat. Kapan saja dan di mana saja.
Di negeri semacam Jerman ini, masjid atau musholla tak bisa dijumpai di setiap tempat. Namun, jika Allah telah menjadikan tiap jengkal bumi sebagai masjid-Nya, tentu bukan alasan untuk tak menunaikan sholat di mana pun kita berada. Pun jika air sulit ditemukan, Allah telah menjadikan debu dan tanah bersifat menyucikan.
"Robbi-j’alnii muqimashsholaati, wa min dzurriyyatii"
Yaa Rabbku, jadikanlah aku orang yang menegakkan sholat, demikian pula keturunanku, aamiin.
[Berlin, 19 Rabiul Tsanni 1429 H]