Kebiadaban militer Israel yang membantai penduduk Gaza adalah tindakan yang sungguh menggegerkan dan mengguncangkan dunia saat ini. Perlakuan mereka yang teramat keji sungguh sulit diterima oleh naluri kemanusiaan penduduk bumi. Adalah hal yang sangat wajar jika banyak aksi demonstrasi sebagai bentuk protes atas perlakuan militer Israel yang diluar batas perikemanusiaan di berbagai belahan dunia. Di Inggris, Spanyol, Australia, Amerika, Yunani, Malaysia, Jerman, dan banyak negara lainnya termasuk Indonesia. Dua negara, yaitu Venezuela dan Bolivia telah secara tegas memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel dan mengusir duta besarnya untuk pulang ke negaranya sebagai bentuk protes atas aksi yang menewaskan lebih dari seribu penduduk Gaza yang tak berdaya.
Tidak pandang Islam, kristen, atau agama lain. Bahkan penduduk Israel sendiri pun –yang non-zionis– tidak menyetujui agresi militer negaranya ke Gaza. Mereka yang kebetulan menjadi tentara, memilih desersi dengan ancaman penjara daripada bertindak bodoh membantai warga Gaza yang tidak berdaya dan tidak berdosa. Ya, semua manusia yang masih memiliki nurani kemanusiaan pastilah menyetujui bahwa tindak pembunuhan massal terhadap warga yang tidak berdosa adalah tindakan yang melanggar jiwa kemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia. Terlebih pembunuhan massal itu menggunakan senjata berteknologi canggih dan sangat mematikan. Barangkali, hanya Iblis yang memberikan dukungan penuh dan tersenyum puas atas tindakan biadab dari bangsa yang yang masyhur sebagai pembuat kerusakan di muka bumi itu.
Di tengah derasnya aliran simpati untuk perjuangan Palestina dan kutukan atas tindakan militer Israel, suatu pemandangan kontradiktif justru terjadi di negeri ini. Bukan karena tidak ada demo sebagai bentuk protes atas tindakan militer. Justru demo itu berlangsung merata di seluruh penjuru tanah air dan warga Palestina yang menyaksikan lewat siaran TV pun merasa terharu atas empati yang ditunjukkan oleh elemen masyarakat Indonesia. Yang ironis adalah adanya kecaman sebagian orang yang menuduh bahwa demo-demo yang berlangsung di negeri ini adalah untuk mengekploitasi penderitaan dan pembantaian yang berlangsung di Gaza. Masya Allah. Saya dan beberapa elemen yang mengikuti unjuk rasa merasa tidak memiliki niat seperti itu.
Bagaimana mungkin kami yang memahami bahwa “orang mukmin itu adalah saudara”, dan memahami bahwa “persaudaraan orang-orang yang beriman itu adalah laksana satu tubuh”, justru melakukan aksi dengan tujuan untuk mengeksploitasi mereka. Sungguh amat sangat bertentangan.
Nampaknya masih banyak orang di negeri ini yang belum bisa berfikir rasional dan jernih. Mereka belum bisa membedakan mana reaksi spontan dan mana reaksi yang direkayasa. Mereka juga belum mampu melihat mana tindakan yang dilandasi ketulusan dan mana tindakan yang dilandasi pamrih. Apakah mereka belum memahami pelajaran budi pekerti?
Budi pekerti adalah reaksi spontan dan tidak terpikirkan sebelumnya. Ia lahir dari kebersihan hati yang telah mengkristal di dalam hati sanubari. Karena sifatnya mengkristal, maka kapanpun ia menghadapi kondisi yang sama, maka reaksinya pun akan sama. Ia sudah menjadi jati diri yang tidak terpisahkan dari perwujudannya.
Budi pekerti yang sudah terbangun dengan baik akan memiliki konsistensi. Inilah parameter terbaik untuk menilai apakah budi pekerti yang ditampilkan sejatinya adalah tulus ataukah rekayasa.
Barangkali saya perlu menggambarkan realita yang pernah saya alami waktu saya kecil dulu. Yaitu berkait dengan pemilihan kepala desa secara langsung di kampung yang para kandidatnya biasanya dilambangkan dengan hasil-hasil pertanian, seperti Padi, Jagung, atau Ketela.
Kandidat berlambang Padi adalah kandidat incumbent. Beliau terkenal sebagai sosok yang otoriter dan jarang mengunjungi masjid. Namun anehnya, pada hari-hari menjelang pemilihan kepala desa, ia mendadak menjadi sosok orang yang alim, rajin mengunjungi masjid (sholat berjamaah) dan menjalin keakraban dengan siapa saja. Satu sisi masyakat mensyukuri adanya perubahan perilakunya itu. Namun pada sisi lainnya, mereka juga bertanya-tanya. Kenapa?
Sementara kandidat berlambang Jagung yang memang sudah dikenal rajin mengunjungi masjid dan bersikap baik dengan siapapun tidak dianggap istimewa karena memang masyarakat menyaksikan hal itu sebagai hal yang biasa. Sayangnya, kandidat berlambang Jagung ini tidak memiliki banyak dana sehingga ia tidak bisa membuat manuver-manuver penggalangan simpati warga. Lain halnya dengan kandidat berlambang Padi, secara intensif ia melakukan manuver-manuver proyek “kebaikan” kepada warga. Baik dengan mempermudah pelayanan di kelurahan, menawarkan pengurusan dokumen-dokumen secara gratis, mengundang warga pada acara pengajian rutin yang tiba-tiba diselenggarakannya, memprakarsai kerja bakti dan gotong royong, mendata kaum dhuafa dan membagikan sembako murah, dan lan-lain.
Sosialisasi yang intensif tersebut tak pelak mendongkrak popularitasnya. Keunggulan yang dimiliki oleh kandidat berlambang Jagung pun tenggelam. Integritas dan kompetensi yang dimilikinya tidak mampu meraih simpati masyarakat yang berpikir lugu dan pragmatis. Akhirnya, pada hari pemilihan kepala desa, kandidat berlambang Padi pun memenangi pertarungan secara telak. Euforia terjadi dipenjuru kampung. Harapan digantungkan terhadap kandidat yang kini mengalami banyak perubahan yang cukup menjanjikan itu.
Namun apa yang terjadi beberapa bulan kemudian? sang Padi mulai menunjukkan sifat aslinya. Ia tidak lagi mengunjungi masjid, tidak lagi membebaskan pengurusan aneka dokumen-dokumen di kelurahan, tidak lagi mengadakan jamuan rutin, dan tidak lagi melakukan aksi-aksi simpatik lainnya. Warga menjadi kecewa dan merasa tertipu. Mereka pun bersumpah tidak akan memilih sang Padi kembali pada pemilihan lima tahun yang akan datang.
Sepotong kisah tersebut hanyalah untuk menunjukkan betapa warga kehilangan parameter untuk memilih kepala desa secara tepat. Mereka tertipu dengan perilaku “baik” yang sesaat. Mereka tidak melihat sejauh mana kebaikan itu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu, baik sebelum terpilihnya sebagai kandidat atau setelah berhasil memimpin karena memenangi pertarungan.
Nah, nampaknya konsistensi ini menjadi azas dan parameter yang cukup ampuh untuk menilai itikad baik dari suatu tindakan atau kebijakan. Dalam terminologi audit atau pengawasan atas entitas bisnis, lahirnya kebijakan akuntansi yang melawan azas konsistensi, adalah kebijakan yang perlu diwaspadai motifnya. Jangan-jangan dimaksudkan untuk menyembunyikan suatu penyimpangan atau ketidakberesan.
Elemen pengawasan di negeri ini nampaknya perlu memperhatikan azas konsistensi yang terbukti menjadi parameter dalam pemberian opini/penilaian atas kewajaran (fairness) tersebut. Jika para demonstran yang sejak dari dulu selalu menyuarakan pembelaan atas Palestina dan memprotes atas tindakan Israel yang selalu brutal, apakah wajar jika pada demo saat ini dituduh mengeksploitasi korban-korban yang berguguran di sana? Sungguh tuduhan keji dan tidak ilmiah. Terlebih ditujukan bagi mereka yang memahami nilai-nilai persaudaraan yang bersifat universal.
Namun pada akhirya saya memahami bahwa hukum diciptakan terkadang bukan untuk mengarahkan manusia pada tindak kebajikan. Justru hukum sering digunakan untuk menjebak atau memberangus pihak lain. Itulah hukum ciptaan manusia yang selalu memiliki sisi kelemahan. Ia hanya mampu untuk melihat kulit bukan melihat substansi.
Wallahua’lam bishshawaab
[email protected]
http://muhammadrizqon.multiply.com