Saat pertama kali mengenalnya di komplek itu, saya mendapat kesan yang kurang baik. Kemudian saya mencoba mencari informasi dari beberapa orang, ternyata mereka juga memberi kesan yang kurang baik padanya. Setelah lama tinggal di komplek itu, saya makin mengenal kepribadiannya dan makin menyakini bahwa dia adalah bagian dari orang yang belum memahami Islam.
Dia adalah seorang pengacara. Sifat yang menonjol darinya adalah ia suka merendahkan orang dan kukuh dengan pendapatnya sendiri. Dalam setiap pembicaraan atau diskusi dia tidak mau kalah. Itulah barangkali yang menjadikan bapak-bapak di komplek itu tidak bisa tahan lama ngobrol dengannya. Dia ingin selalu menguasai pembicaraan dan ingin menang dengan argumentasi-argumentasinya. Al-hasil, pembicaraannya selalu mengarah kepada perdebatan atau permusuhan bukan pembicaraan dari hati-ke hati. Bapak-bapak merasa jengah karena pembicaraan sudah memasuki wilayah ghibah dan penistaan terhadap saudara muslim. Barangkali itu adalah cermin dari perilakunya sebagai pengacara yang suka beradu argumentasi.
Pernah dalam suatu pengajian bapak-bapak di masjid komplek, beliau mengkritisi pendapat-pendapat ustadz (berkait masalah politik) yang dirasa bertentangan dengan pemikirannya. Saya salut terhadap ustadz yang cukup hafal dengan beberapa ayat dalam Alqur’an yang dia gunakan sebagai hujjah itu. Saat itu Bapak pengacara berusaha memberikan argumentasi, tetapi beberapa kali selalu dimentahkan oleh dalil dalam Alqur’an. Ustadz itu mengatakan, “Ini perkataan Allah Pak, bukan perkataan saya. Kita boleh saja tidak puas dengan jawaban Allah ini. Tetapi konsekuensinya kita harus mengevaluasi kembali apakah kita beriman kepada Allah atau tidak. ” Bapak-bapak peserta pengajian lain sebenarnya telah mengetahui sikap Bapak Pengacara yang tidak mau mengalah itu. Tetapi mereka berusaha diam dan menghargai. Ketika dia mencoba menggali pendapat bapak-bapak lain dan mereka menyatakan persetujuan dengan pendapat ustadz, tentu saja dia merasa tidak berkutik. Jawaban ustadz dan dukungan dari jamaah lain itu seakan menohok jati dirinya yang sebenarnya kurang sepenuhnya beriman kepada Alqur’an. Na’udzubillah.
Dia sering mengatakan ‘salah’, ‘bodoh’, atau ‘goblok’ demi melihat kejadian atau perilaku yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Seakan ia memiliki pandangan yang paling benar. Padahal kejadian atau perilaku itu dilakukan oleh ummat Islam yang pada hakikatnya adalah saudara sendiri. Kewajiban kitalah untuk menasehati saudara yang melakukan cara-cara yang kita pandang kurang elegan. Lagi pula, dalam kasus tertentu mereka tidak sepenuhnya bersalah karena boleh jadi sikap mereka terpicu oleh provokasi. Tidak jarang dia memuji perilaku umat non-muslim secara tidak proporsonal. Dalam berbagai hal, non-muslim memang memiliki kelebihan, tetapi dalam hal yang lain, mereka juga memiliki kekurangan yang tidak kecil. Contohnya adalah perilaku kaum nasrani Amerika dan kaum yahudi Israel yang tidak memenuhi prinsip keadilan.
Sikapnya yang tidak proporsional itu kadang menjadikan orang ragu sebenarnya keberpihakan dia itu kepada siapa. Al-quran menegaskan bahwa pemimpin orang mukmin itu adalah Allah, Rasulullah, dan orang-orang mukmin. Namun dia belum sependapat khususnya tentang orang-orang mukmin. Persepsi dia tentang orang mukmin masih bias dan terkontaminasi dengan orang-orang Islam kebanyakan yang belum sepenuhnya mengamalkan Al-Islam secara benar. Padahal seharusnya mereka tidak bisa dijadikan contoh. Contoh terbaik kita adalah Rasulullah saw.
Pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa berawal dari kelemahan akal (jahiliyah), kebenaran baginya adalah sesuatu yang belum jelas dan bercampur dengan kebatilan. Otomatis, kelemahan ini menjadikannya tidak memahami Islam secara baik. Seorang ustadz mengatakan kelemahan ini sangat berpotensi pada tindak kekufuran, bid’ah dan nifaq.
***
Ada kejadian menarik di komplek tempat saya tinggal berkait dengan hikmah berkurban.
Sudah menjadi tradisi, setiap tahun masjid di komplek saya bekerja sama dengan ikatan remaja masjid mengadakan acara penerimaan, penyembelihan, dan pembagian hewan kurban. Dan isteri saya selalu dipercaya untuk mengkoordinir pendistribusian daging kurban hasil penyembelihan itu.
Biasanya sebelum acara pembagian daging kurban, isteri saya menyebar beberapa kupon kepada para dhuafa di lingkungan sekitar untuk ditukar dengan daging kurban pada acara penukaran kupon nantinya. Setelah acara pembagian berakhir, biasanya tersisa beberapa bungkus daging. Kemudian kelebihan itu dibagikan langsung oleh panitia kepada warga prioritas kedua atau didistribusikan ke daerah lain yang membutuhkan.
Pada setiap pelaksanaan kurban, selain menerima jatah dari masjid, isteri juga menerima jatah daging kurban dari organisasi atau yayasan lain untuk didistribusikan di daerah sekitar. Satu yang unik, daging dari yayasan atau organisasi itu biasanya dibungkus pada plastik yang berlogo, untuk mengenalkan masyarakat akan keberadaan yayasan atau organisasi itu. Biasanya, jatah ini didistribusikan pada malam hari setelah menyusuri kembali siapa-siapa yang masih belum menerima daging kurban karena lolos dari pendataan panitia.
Pada pembagian daging kurban tahun kemarin itu terjadilah kasus yang janggal dan sekaligus memprihatinkan. Dan ini menjadi pelajaran bagi isteri bahwa ternyata bekerja itu tidak hanya bermodal semangat tetapi juga harus disertai laporan pertanggungjawaban yang jelas. Timbul fitnah bahwa isteri saya telah mengganti plastik kresek pembungkus daging dari masjid dengan plastik berlogo yayasan atau organisasi kemudian membagikannya ke para dhuafa. Dikabarkan pula bahwa orang itu mengatakan bahwa ia tidak menyangka kalau selama ini isteri saya berbuat seperti itu —yaitu mengganti plastik pembungkus daging—demi popularitas pribadi dan yayasan/organisasi. Isteri yang mendengar demikian sangat terkejut dan tidak habis mengerti.
Apa pasal? Karena fitnah yang dilontarkan oleh isteri bapak pengacara itu ditujukan langsung kepada isteri saya yang pada waktu itu kebetulan tidak menjadi panitia kurban karena berada di luar kota. Kami sekeluarga merayakan Idul Adha di kampung mertua. Kebetulan tahun itu, keluarga berhajat untuk berkumpul —selain berkurban bersama yang alhamdulillah berhasil dikumpulkan dua ekor sapi— dalam rangka tasyakuran atas ulang tahun emas penikahan mertua.
Kejadian itu semakin membuktikan bahwa ada unsur ketidaksukaan yang sebenarnya terakumulasi sejak lama sebab jika itikadnya baik tentu akan melakukan beberapa konfirmasi sebelumnya, terutama konfirmasi kepada isteri saya selaku penanggungjawab distribusi.
Isteri menuturkan bahwa ia maklum karena sebenarnya dari dulu, keluarga pengacara itu selalu sentimen dengan keluarga isteri, terlebih terhadap isteri yang menunjukkan komitmen keIslamannya yang kuat dan aktif berdakwah di komplek. Rupanya, di samping mereka tidak suka orang lain mendominasi dalam pembicaraan, dia juga tidak suka orang lain mendominasi dalam masalah berdakwah untuk kebaikan. Bagi kami ini adalah sesuatu yang teramat janggal. Orang berbuat baik kok dibenci dan dimusuhi.
***
Kisah tersebut memberikan hikmah kepada saya tentang orang yang berkurban tetapi sebenarnya belum memahami makna kurban. Alangkahnya sayangnya sekiranya kurban yang dilakukannya tidak menjadikannya dekat kepada Rabb-nya. Dan cukup ironis sekiranya kurban yang dilakukannya belum dapat membinasakan perilaku buruk yang melekat pada dirinya seperti membenci, mendengki, memfitnah, melakukan permusuhan, mendebat, dan menuruti hawa nafsu.
Saya coba merenung kenapa bisa demikian. Seharusnya kurban yang dilakukannya mampu mendekatkan dirinya pada Allah dan mampu menyuburkan keimanannya. Kemudian keimanan yang subur itu bisa menumbuhkan berbagai sifat kebaikan dan mereduksi sifat-sifat keburukan. Namun yang saya lihat dari Bapak Pengacara itu tidaklah demikian. Seakan antara berkurban (beribadah) dengan nilai-nilai yang ditumbuhkannya (buah dari ibadah) adalah sesuatu yang terpisah. Boleh jadi benar apa yang diungkap oleh seorang ustadz bahwa kelemahan akal (jahiliyah/tidak ma’rifah) menjadikan seseorang banyak melakukan perbuatan bid’ah, kekufuran dan kemunafikan.
Saya menduga —untuk sekedar mengambil hikmahnya—salah bentuk kemunafikan yang ditampilkannya adalah dia berkurban tetapi menggunakan harta yang tidak baik. Kita terlalu familiar dengan fenomena seperti ini, khususnya di kalangan pejabat atau orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Dan bapak pengacara itu adalah orang yang dekat dengan kekuasaan. Kekayaan beliau yang bisa dilihat jumlahnya cukup luar biasa. Beberapa rumah mewah di komplek itu, beberapa rumah di tempat lain, mobil yang berderet, tempat usaha di daerah lain adalah sebagian di antaranya. Belum kekayaan yang tidak terlihat seperti deposito, perhiasan, saham dan lain-lain. Adalah sesuatu yang wajar jika orang yang melihat kekayaannya yang begitu melimpah itu kemudian bertanya darimana semua itu berasal. Dugaan saya semua itu berasal dari harta yang tidak baik.
Al-Jauzi menyatakan bahwa jika harta yang diperoleh manusia adalah barang haram, seluruh tindakannya akan selalu berada pada jalan yang haram. Sedangkan dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda, Barang siapa yang mendapat harta dengan jalan haram, kemudian ia menyambung silaturahim dengan harta itu, atau bersedekah dengannya, atau menginfakkan di jalan Allah, di hari kiamat nanti ia dan seluruh harta itu akan dikumpulkan dan dilemparkan ke dalam api neraka.
Sungguh hadits itu memberi isyarat bahwa harta haram itu tidak bisa memberikan manfaat apapun bagi yang membelanjakannya. Alih-alih bermanfaat, bahkan ia diancam dengan api neraka.
Saya tidak bisa membuktikan apakah harta yang diperoleh pengacara itu adalah harta yang halal atau tidak. Tetapi saya mengambil hikmah dari kondisi yang boleh jadi benar. Bahwa seharusnya ibadah kurban itu makin mendekatkan sang hamba kepada khaliknya, bahwa seharusnya ibadah kurban itu mampu membinasakan sifat-sifat buruk yang ada pada dirinya. Berkurban adalah pembuktian dari iman yang benar dan iman yang benar itu akan menjaga pemiliknya dari perilaku yang menodai kehormatan orang lain.
Jika tidak berlaku demikian, tentu ada titik mula yang menyebabkannya. Salah satu hal yang mungkin adalah boleh jadi harta yang diperolehnya adalah haram sehingga niat berkurban pun tidak dilakukan dengan tulus ikhlas.
Pesan utama dari kisah tersebut adalah hendaknya berkurban dilakukan dengan cara terbaik. Tidak sekedar fisik hewan kurbannya yang nyaris sempurna tanpa cacat, namun juga asal harta untuk berkurban itu harus kita perhatikan. Insya Allah jika hal ini diperhatikan maka berkurban yang kita lakukan mampu membawa banyak kebaikan sebagaimana hadits mengatakan, bahwa setiap bulu yang menempel dikulit hewan yang akan kita kurbankan adalah kebaikan bagi kita.
Wallahu’alam bishshawab.