Hari yang semula cerah, dalam waktu singkat berubah mendung. Langit biru berbaur putih berubah hitam kelabu. Dan di antara gemercik gerimis yang perlahan mulai turun, sesekali terdengar gelegar guntur. Meski tanpa kilauan kilat menyambar namun suasana terasa kian merambah ke titik ‘mencekam’.
Saat hujan menderas, cuaca yang semula panas seketika menjadi dingin. Bunyi rintiknya yang berirama tercurah ke atap rumah, mencipta rasa yang sulit diungkap dengan kata-kata. Dalam paduan cemas dan takut, terbersit teduh kepasrahan. Dalam gelisah, terlintas rasa syukur. Ah!. Hujan. Wujud peristiwa kehadiran yang kadang ditolak namun kadang pula ditunggu. Jadi bila memang sudah waktunya awan berarak diterbangkan angin, hingga terkumpul menjadi mendung menggumpal di seantero langit, siapa dapat mencegahnya mencurahkan titik-titik air hujan ke sekujur bumi?
Bila hujan tiba, lebih sering kita lantunkan sumpah-serapah. Seakan hujan sudah begitu identik dengan gambaran suasana sedih dan muram. Segala hal yang semula OK berbalik jadi KO. Jarum penunjuk antusias beralih ke titik bad mood. Rencana rapi yang sudah tersusun, jadi buyar seketika. Manajemen waktu yang telah terurutkan oleh step-step kegiatan, jadi amburadul dalam sekejap. Apa yang semula kita mau lakukan, jadi tak mampu kita wujudkan. Semua, gara-gara hujan.
Di atas segala hal yang menyangkut hujan, mungkin perlu kita bertanya: apakah selamanya sikap kita sudah benar mesti begitu?
Cobalah keluar rasakan rintik air hujan yang turun, lurus deras seakan hendak menusuk bumi. Bila hati terbuka menerima, maka kan terasa kesegaran menjalari raga.
Tengadahlah dengan wajah ceria, maka kan terhirup rasa sejuk di raut muka. Menjalar pelan ke relung sukma. Desir halus menghanyutkan dari Sang Maha Lembut.
Bukalah tangan, unjukkan ke arah langit. Berdoalah dengan lisan dan kalbu. Maka kan terasa nikmat getar ilham dalam mengingat-Nya.
Dalam buaian hujan, kita sebenarnya kan mampu pulas tertidur dalam rangkaian mimpi-mimpi indah yang berterusan. Bila kita mampu mengenali nilai ‘rahmat’ yang dibawanya serta. Bukankah udara yang semula keruh oleh tumpukan polusi, kan tercerai berai oleh kesegaran alaminya?
Tataplah dekat-dekat permukaan setiap daun di pepohonan. Tidakkah bulir-bulir yang tercipta di permukaannya yang hijau, mampu menciptakan perpaduan indah tak terlukiskan? Bukankah semua, karya agung Sang Maha Indah semata?
Di relung hujan, cobalah tulis berlarik puisi. Di permukaan tanah dan bebatuan, yang beradu dengan jernih air langit itu, cobalah ukirkan jejak. Segala arah mata angin kan berselimut kesejukan dari Sang Maha Kasih.
Berhadapan dengan berkah tiada kira ini, layakkah kiranya sumpah-serapah? Bila hujan tiba, inilah saat pintu langit terbuka. Segala lantun doa kan dengan mudah terkabulkan oleh-Nya. Haruskah saat baik ini berlalu di antara keluhan sia-sia?
Bila panas berlangsung tanpa henti. Bumi berputar, waktu berganti. Tanpa hujan sesekali, mampukah kita tegak berdiri?
Tuhan, terima kasih atas segala berkah tersembunyi yang demikian banyaknya telah Engkau kirimkan bagi kami di bumi. Maafkanlah bila kami tak pernah tahu pasti, untuk apa semua itu mesti ada dan senantiasa tak pernah henti hadir di tengah kami…
Segala macam berkah tersembunyi, seringkali terhijab dari kami. Karena memang hanya Engkau-lah Sang Maha Tahu Segalanya.