Beribu Pintu Rezeki untuk Berhaji

Kalimat talbiyah kembali menggema, musim haji kembali tiba. Musim yang sama, setahun yang lalu rasanya adalah hari-hari terindah dalam hidup saya dan suami. Hari-hari yang tiap kali mengenangnya, mata masih berkaca-kaca dan hati membuncah rindu yang sangat. Hari-hari yang begitu sering menjadi cerita pengantar tidur kami, berharap mimpi membawa jiwa kembali melayang ke sana. Ka’bah yang agung dan kubah hijau yang menaungi taman surga di Masjid Nabawi.

Mengenang indahnya ibadah haji, tak lepas pula kenangan akan kebesaran dan kemurahan Allah melimpahi kami dengan rezeki-Nya, hingga kami memenuhi undangan-Nya, saat itu. Cerita tersendiri yang bahkan kami pun masih sering merasa tak percaya, walau telah melaluinya.

Teringat saya kejadian suatu pagi, musim haji tiga tahun yang lalu. Saya dan suami berkendaraan motor dalam perjalanan ke suatu tempat. Jalur yang sama kami lalui tiap pagi, namun pagi itu mata saya basah saat melintasi bandara di kota kami. Satu kloter jamaah calon haji sedang mengantri menaiki tangga pesawat. "Ya Allah, kapan hamba bisa seperti mereka? Menunaikan rukun kelima…", hati saya berbisik seiring rasa ingin yang begitu menggugah. Keinginan yang nyatanya telah sejak lama saya simpan dan kian hari saya merasa kian rindu untuk mewujudkannya. Entah kenapa, perjalanan pagi itu, saat melintasi bandara dengan pemandangan barisan jamaah calon haji begitu lekat di benak saya, di hati saya.

Beberapa bulan pagi itu berlalu. Suatu sore suami tercinta pulang membawa kabar tentang beberapa kapling tanah yang dijual murah di lokasi sangat strategis. Alhamdulillah, meskipun tinggal di rumah orang tua tidak setitik pun mengurangi kebahagiaan kami, namun terbayang indah juga jika suatu saat kami bisa punya pondok mungil yang dekat dengan tempat kami beraktifitas, terutama kantor suami. Tak ingin membuang kesempatan, rencana membeli tanah pun segera kami diskusikan. Tak lupa niat ini kami sampaikan juga pada orang tua, memohon pertimbangan mereka. Ah, tabungan yang kami kumpulkan selama dua tahun menikah ditambah sedikit perhiasan yang ada ternyata masih jauh dari cukup untuk membeli sebidang tanah dengan harga miring itu. Dengan segala bentuk simpanan yang ada, baru dua puluh juta rupiah dana yang terkumpul, separo dari total empat puluh juta rupiah yang kami butuhkan. Mau tak mau, jika tekat tetap bulat, jalan meminjam sejumlah uang harus kami tempuh untuk mencukupkan kebutuhan. Alhamdulillah, orang tua bersedia memberi pinjaman dan kami berjanji akan berusaha secepatnya mengembalikan. Inshallah jauh lebih baik daripada meminjam ke bank, pilihan terakhir yang sejak dulu selalu kami hindari. Mengingat kami berburu kesempatan dengan peminat lain, segala sesuatunya pun kami pertimbangkan dengan segera. Dana dikalkulasikan, kondisi dan lokasi tanah dipastikan dan kami pun telah bertemu langsung dengan pemilik.

Kami hampir sampai pada keputusan "ya", namun ada unek-unek di hati saya. Sesuatu tentang cita-cita lain yang lama kami simpan. Tak ingin menyesal, ganjalan itu saya sampaikan pada suami. "Jika kita berani meminjam uang dan bersiap mengencangkan ikat pinggang demi sebidang tanah yang entah kapan akan sanggup kita bangun, mengapa kita tak punya keberanian yang sama untuk bisa menunaikan ibadah haji?", tanya saya pada suami. Subhanallah, Allah Yang Maha Membolak-balikan Hati. Diskusi tentang tanah yang mendominasi hari-hari kami terhenti saat itu, seketika berganti dengan diskusi tentang rencana berhaji. Orang tua kami pun tak kalah gembira. Bukankan akan lebih indah jika kita mengencangkan ikat pinggang demi berharap sebuah istana di surga?

Bismillah, dana yang tadinya untuk membeli tanah segera kami setorkan sebagai setoran awal haji, berdua. Alhamdulillah, nomor porsi masih tersisa untuk tahun yang akan datang meski kami tak bisa memastikan dari mana dana haji akan kami cukupkan. Kami perkirakan setidaknya enam puluh juta rupiah total dana dibutuhkan dan artinya empat puluh juta rupiah lagi harus kami usahakan sampai saat keberangkatan, termasuk membayar pinjaman pada orang tua. Waktu yang ada kurang dari setahun. Dari kalkulasi kami, menyisihkan dari gaji suami yang PNS muda tak mungkin cukup terkumpul dalam waktu singkat. Namun kami yakinkan hati, Allah akan memberi jalan untuk niat suci kami.

Tak ada yang tak mungkin bagi Allah. Tak terduga, Dia membukakan begitu banyak pintu rezeki yang tak kami bayangkan sebelumnya. Tiba-tiba saja seorang teman mengajak saya mengikuti rekruitmen untuk salah satu posisi utama di kantornya. Walaupun telah cukup lama vakum dari dunia kerja, alhamdulillah saya diterima. Hal yang sama terjadi pada suami, yang dipercaya untuk mengemban tanggung jawab ekstra di kantor, dengan penghasilan tambahan tentunya. Beberapa waktu kemudian, entah ide dari mana (dari Allah tentu saja!), seorang sahabat yang lama tak bertukar kabar tiba-tiba saja menghubungi dari pulau seberang dengan setumpuk pekerjaan. Minta tolong, katanya. Rupanya ia tengah merintis usaha dan butuh tenaga konsultan dengan kemampuan yang kebetulan dimiliki suami saya. Sejak itu jam kerja suami saya menjadi hampir dua kali lebih panjang. Setelah seharian berkutat di kampus dengan kertas-kertas, buku-buku dan para mahasiswanya, malam hari disambung di rumah dengan pekerjaan di komputer, hingga larut. Walau saat itu saya pun sudah punya penghasilan yang cukup besar, suami saya punya cita-citanya sendiri, membiayai perjalanan haji kami dengan hasil keringatnya. "Tanggung jawab Ayah untuk membawa Bunda berhaji", katanya selalu.

Dalam waktu tak terlalu lama, pinjaman pada orang tua berhasil kami lunasi. Saat itu masih beliau berpesan jika kelak kami membutuhkan uang itu kembali, beliau akan mengikhlaskannya untuk perjalanan kami. Alhamdulillah rejeki mengalir terus. Di kampus pun, suami dipercaya untuk menangani beberapa penelitian bersama sejawatnya. Tak lupa kami cermati setiap rupiah yang kami terima, jangan sampai pundi-pundi kami ternoda oleh dana-dana subhat, apalagi yang haram. Naudzubillah!

Saat pelunasan tiba. Semua sumber daya yang ada kembali kami hitung. Pas! Sepertinya dana yang ada memang disediakan Allah untuk dibayarkan saat itu juga. Sedikit yang tersisa kiranya untuk memenuhi kebutuhan kami sebelum menerima gaji bulan depan. Kurang empat bulan sebelum keberangkatan, hari-hari kami jalani dengan lebih tenang karena dana yang utama telah tercukupi. Tinggal persiapan pribadi dan tambahan untuk manasik. Begitulah, rezeki itu ada saja jalannya seiring suami saya menyimpan tekadnya untuk mencukupi seluruh kebutuhan perjalanan ini dengan hasil keringatnya.

Hingga saat keberangkatan tiba, bulan-bulan yang kami jalani seperti berlalu tak terasa. Tak ada kesulitan yang begitu berarti. Bahkan sebaliknya, rezeki lain berupa berbagai kemudahan dan kesempatan juga berdatangan melengkapi keterkejutan-keterkejutan kami. Tak dapat kami gambarkan perasaan kami saat itu. Sebelum meninggalkan tanah air, kami sempatkan mewasiatkan harta yang ada pada keluarga yang ditinggalkan. Dan sungguh tak terduga, dana di tabungan kami saat itu ternyata tepat dua puluh juta! Jumlah itu tepat sebanyak dana awal yang kami miliki saat pertama mengukuhkan niat untuk berhaji, hampir setahun sebelumnya. Artinya, semua yang dilebihkan Allah untuk kami sepanjang tahun itu seakan khusus disediakan-Nya untuk berhaji, lewat keringat suami saya, sesuai tekadnya membiayai perjalanan kami ke tanah suci.

Demikianlah, perjalanan ke tanah suci akhirnya terlaksana sesuai harapan kami. Hanya hingga saat ini, kami masih seakan tak percaya bagaimana masa-masa itu kami lalui. Bagaimana rezeki-rezeki itu mengalir dari mata air-mata air rezeki yang Allah hadirkan untuk kami. Sungguh kami telah membuktikan ada beribu pintu rezeki untuk niat suci berhaji. Maka, berniatlah! Berhajilah!

*Tanggal delapan bulan haji, 1428 H. Dalam syukur dan rindu yang dalam. *