Sesuatu yang melakukan perjalanan panjang, pasti membutuhkan pemberhentian sejenak. Kenapa? Karena segala sesuatu itu memiliki kapasitas maksimal, dan agar ia berusia panjang, ia harus selalu dipulihkan setelah mencapai kapasitas tertentu. Laksana sebuah mesin, setelah bekerja terus-menerus hingga mencapai jumlah jam atau kilometer tertentu maka ia perlu diistirahatkan, yakni dicek, diservice, dan diganti beberapa komponen yang aus. Jika mesin itu dipaksakan terus-menerus bekerja tanpa henti, maka mesin itu akan cepat jebol dan rusak.
Demikian juga kondisi jiwa manusia. Setelah mencapai perjalanan tertentu, ia perlu berhenti sejenak untuk musahabah, bertaubat, dan mengumpulkan serpihan semangat untuk perjalanan berikutnya. Dengan pola yang demikian, maka jiwa bisa menempuh perjalanan yang lebih panjang hingga mencapai tujuan yang diimpikan.
Segala aktivitas manusia, baik aktivitas politik, ekonomi, atau sosial budaya, adalah aktivitas besar jika dibarengi dengan misi dakwah guna melahirkan perbaikan bagi kehidupan ummat. Aktivitas besar tersebut seringkali penuh dengan intrik-intrik dan jebakan-jebakan yang bisa melenakan manusia dari tujuan yang sebenarnya. Bahkan pada tingkat kesulitan tertentu, banyak manusia yang terjerumus pada kejatuhan dan keputus-asaan, akibatnya perjalanan menjadi terhenti dan tujuan yang dicita-citakan makin sulit diraihnya. Oleh karena itu, Jiwa-jiwa yang kuat, sangat diperlukan guna mencapai tujuan aktivitas bermisi besar tersebut.
Allah SWT dengan kemurahan dan keluasan ilmu-Nya, mengetahui tabiat jiwa dan sifat perjalanan panjang yang penuh dinamika tersebut, sehingga Dia menurunkan instrumen-instrumen yang mampu mengembalikan jiwa pada kondisi kestabilannya. Sholat wajib lima waktu secara harian, sholat jum’at secara pekanan, zakat dan puasa (Ramadhan) secara tahunan, dan ibadah haji sekali seumur hidup (jika mampu), adalah sebagian dari bentuk-bentuk instrumen-instrumen yang mampu menjaga kestabilan jiwa dari waktu ke waktu.
Berkenaan dengan masuknya bulan Dzulhijjah, sepuluh hari pertama darinya, adalah hari-hari utama dan merupakan bentuk lain dari instrumen penguat jiwa itu. Bulan Dzulhijjah itu sendiri adalah salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT. Dia adalah salah satu bulan haram, yaitu bulan yang didalamnya umat Islam diharamkan melakukan perang dan pertumpahan darah. Sedangkan sepuluh hari pertamanya merupakan waktu yang paling utama sebagaimana tertuang di QS 89:1-2 (Tafsir Ibnu Katsir) dan hadits Nabi Saw, “Tiada hari-hari yang paling agung di sisi Allah dan dicintai-Nya untuk beramal didalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini.” (HR Bukhari).
Banyak hikmah yang bisa kita petik dari pemuliaan bulan Dzulhijjah ini, terutama pada sepuluh hari pertamanya. Selain ia merupakan terminal pemulihan ruhiyah bagi jiwa kita yang telah mengalami keausan setelah menempuh perjalanan cukup panjang (yakni dua bulan : Syawwal dan Dzulqaidah), ia merupakan moment yang tepat untuk mengevaluasi (muhasabah) atas langkah-langkah di masa lalu dan membangkitkan semangat (mujahadah) –khususnya bagi yang mengalami kepudaran, untuk menempuh perjalanan ke depan yang masih panjang.
Ibaratkan sebuah kafilah, saat kita ini sedang berjalan dengan menggunakan kendaraan yang berbeda-beda. Ada kendaraan politik, kendaraan ekonomi, kendaraan sosial, kendaraan profesi, dan lain-lain. Masing-masing berkomitmen menuju tujuan yang sama. Namun dalam perjalanannya, boleh jadi permasalahan teknis karena jalan yang tersedia untuk mencapai tujuan itu begitu variatif, banyak cabang, metode, dan liku-liku tersendiri. Sangat dimungkinkan masing-masing kendaraan akan mengambil ijtihad masing-masing atas permasalahan teknis yang dihadapinya. Namun tidak sedikit yang akan merasa gamang. Maju tidak, mundur juga tidak. Langkahnya terhenti dan terpaku di tempat, sehingga yang semestinya sudah tercapai seribu langkah, hanya baru tercapai seratus langkah. Bahkan boleh jadi kurang dari itu.
Guna menghindari keragu-raguan dan mengokohkan semangat perjalanan, berhenti sejenak di tempat yang semestinya adalah langkah positif dan memiliki banyak manfaat. Tampaknya merupakan langkah mundur, tetapi ketahuilah dengan selangkah mundur itu, dimana jiwa-jiwa betul diperbaharui kembali, Insya Allah akan tercipta seratus hingga seribu kali lipat langkah ke depan.
Perbedaan kendaraan, hendaknya tidak menghalangi dari pencapaian tujuan yang sama. Boleh saja ada kendaraan yang melaju jauh di depan, dan ada pula yang tertinggal jauh di belakang. Ada kendaraan yang mogok, pecah ban, atau kendala teknis lainnya, dan ada juga ada yang berjalan mulus tanpa hambatan yang berarti. Karena mereka adalah satu kafilah atau rombongan, mereka memiliki pemahaman yang sama, dasar pijakan yang sama, perintah yang sama, dan manhaj yang sama, sehingga tujuan yang ditujupun tidaklah berbeda dan semua berharap akan mencapai tujuan tersebut dengan selamat.
Kondisi ummat sekarang ini adalah ibarat satu kafilah itu. Hanya saja, kondisi kita kini penuh dengan saling kecurigaan dan prasangka buruk, sehingga tampaknya kita tidak melakukan pergerakan apapun selain berjalan di tempat. Tujuan yang ingin kita capai, meskipun sudah kelihatan di depan mata, tetapi terasa berat untuk ditempuhnya. Sementara sikap positif yang merupakan langkah awal untuk mewujudkan persatuan, keutuhan, dan keberhasilan dalam mewujudkan tujuan yang sama, sulit ditanamkan di dalam jiwa.
Di sepuluh hari Dzulhijjah yang dimuliakan oleh Allah SWT ini, ada baiknya kita berhenti sejenak. Kita evaluasi apakah langkah-langkah ditempuh, baik oleh kita maupun saudara kita, melanggar syari’ah dan koridor-Nya atau tidak. Syukur jika tidak. Andai pun diduga ada penyimpangan, maka tindakan yang tepat adalah memastikan adanya penyimpangan tersebut. Bisa jadi karena berangkat dari titik pemahaman teknis yang berbeda, maka teknis pencapaian tujuannya pun berbeda.
Untuk kita yang melakukan penyimpangan, maka bermuhasabah dan bertaubat adalah langkah yang bijak untuk mengurangi ketakaburan di dalam jiwa. Kita adalah manusia yang pasti memiliki banyak kelemahan. Untuk saudara yang kita duga melakukan penyimpangan, konfirmasi dan penegasan berulang perlu dilakukan sebelum kita menjatuhkan prasangka buruk atas langkah saudara kita. Syaikh Hasan Al-Bana sering mengulang-ulang kata hikmah, ”Carilah udzur hingga tujuh puluh udzur untuk saudara Anda. Jika Anda tidak menemukan udzur, katakan, ‘Barangkali ia mempunyai udzur yang tidak aku ketahui’. Alangkah indahnya jika prinsip dan kata hikmah ini kita applikasikan dalam kehidupan persaudaraan kita. Sehingga aroma yang terlihat adalah saling menasehati dalam menegakan kesabaran dan kebenaran bukan pertengkaran, perpecahan, atau perseteruan.
Sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah saat yang tepat untuk banyak merenung dan meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah kita kepada Allah SWT. Ibadah di sepuluh hari ini memiliki banyak keutamaan karena nilai lebihnya. Selain itu, penempaan jiwa di bulan ini bermanfaat untuk mengkonsolidasi kekuatan pribadi dan ummat yang akhir-akhir ini memudar karena banyak tiupan-tiupan syetan.
Jika kita renungkan dari dulu hingga sekarang ini, penyakit yang mengambat kemajuan ummat hanya satu, yakni perpecahan. Sementara hal yang sulit diwujudkan dari dulu hingga sekarang juga satu, yaitu persaudaraan Islam (ukhuwwah) yang solid. Nampaknya, musuh-musuh Islam sangat mengetahui, itulah kelemahan kita dari dulu hingga sekarang ini. Sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam, penjajahan belanda, penjahan portugis, penjajahan Jepang, hingga penjajahan modern oleh USA dan sekutu-sekutunya sekarang ini, stategi mereka tidak pernah berubah. Dari politik devide et empira, politik belah bambu, dan politik pencitraan dan stigmatisasi, semua mengarah pada penciptaan perpecahan dan pelemahan di tubuh ummat Islam.
Dengan berhenti sejenak, semoga jiwa-jiwa menyadari akan kelemahan dan banyak beristighfar. Dosa dan prasangka buruk ditanggalkan, jiwa pun dikokohkan. Pada puncaknya, jiwa-jiwa pun siap berkorban mengemban misi dakwah memenangkan Islam di atas segalanya. Karena tiada kemenangan tanpa perjuangan, dan tiada perjuangan tanpa pengorbanan.
Spirit Dzulhijjah adalah pengorbanan, maka setiap kita dituntut untuk berkorban. Berkorban apa saja untuk kemuliaan Islam.
Wallahu’alam bishshawaab