***
Setelah membaca buku Riwayat Sembilan Imam Fikih, aku berkata dalam hati, bahwa aku adalah orang besar. Dan kebesaranku dimulai dari apa yang telah kutulis selama ini. Tulisan-tulisanku merupakan bentuk lain dari perasaan, kemarahan dan kebencianku akan suatu hal.
Aku berpikir bahwa aku adalah orang besar yang kelak akan memikul amanah dakwah dan ummah. Tapi tiba-tiba hati kecilku bertanya, “Perangkat-perangkat apa saja yang telah engkau miliki dan jalan apa saja yang telah engkau tempuh untuk mendapatkannya?” Aku menjawab, “Aku belum punya apa-apa selain keinginanku yang menggebu-gebu.” Hati kecilku kembali berkata, “Aku tahu itu, tetapi itu belumlah cukup. Keinginan itu harus diiringi dengan pelaksanaan yang baik dan konsisten. Engkau harus menjalankannya dengan sungguh-sungguh dan tidak setengah-setengah, atau engkau tidak akan pernah mencapainya. Selama ini aku perhatikan engkau tidak menjalankannya dengan teguh. Engkau lemah oleh bujuk rayu setan dan kemudian menjerumuskanmu pada pelbagai bentuk kemaksiatan. Walaupun pada akhirnya engkau mengakui kesalahanmu itu. Engkau harus kuat. Engkau harus sabar. Bergaullah dengan orang-orang yang shalih karena mereka akan menjaga dan membimbingmu. Takutlah akan azab-Nya yang pedih dikala engkau seorang diri. Tutuplah rapat-rapat mulutmu dari perkataan dusta. Pergunakanlah harta bendamu untuk tujuan yang mulia. Jauhilah sumber-sumber fitnah. Banyaklah menuntut ilmu dan merenungkannya. Tepati janji yang pernah engkau ucapkan. Dan rajin-rajinlah mendekatkan diri kepada Allah.”
Nasihat yang baik. Hati kecilku berkata benar karena ia tak pernah berdusta. Menjadi orang besar bukan perkara mudah, pikirku. Menjadi orang besar berarti mempertaruhkan seluruh kehidupan untuk menggapai apa yang dicita-citakan. Ini tentu saja akan menyedot dan menguras seluruh energi, pikiran, tenaga, dan waktu. Aku pikir, betapa hebat dan mulianya orang-orang besar itu karena mereka telah menang dan kembali dengan jiwa yang tenang. Benarlah apa yang dikatakan seorang ulama, janganlah engkau hanya melihat kesuksesan seseorang, tetapi lihatlah proses mereka meraih kesuksesan itu.
Dari sembilan imam fikih yang kubaca sejarahnya, tak satupun yang tidak pernah mendapat ujian dan cobaan; dipenjara, diasingkan dan disiksa. Bahkan Imam Zaid bin Ali dibunuh dan mayatnya disalib di tempat umum. Untuk menjadi orang besar, mereka harus mempertaruhkan apa yang mereka punya termasuk diri mereka sendiri. Mereka tidak terikat pada suatu apa pun kecuali hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika ada perkataan mereka tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, mereka menyuruh kita agar meninggalkannya. Mereka tidak merasa malu mengatakan “saya tidak tahu”, sekalipun ilmu mereka luas dan kepakaran mereka tak tertandingi. Sejak kecil mereka sudah gigih menuntut ilmu dan merenungkan kejadian-kejadian yang ada disekelilingnya sehingga hati menjadi peka terhadap problematika umat. Tidak heran jika mereka mampu menghafal al-Quran sejak usia 10 tahun, 9 tahun, atau bahkan kurang dari itu. Bandingkan dengan keadaan kita saat ini, di usia yang kepala dua, tiga, atau bahkan lebih dari itu, kita belum mampu menghafalnya dengan sempurna. Pada usia dini pula, mereka telah mampu menghafal hadits dan buku-buku karangan guru mereka. Semangat dan etos kerja yang telah tertanam sejak kecil, ditambah dengan lingkungan yang kondusif (lingkungan para alimin danshalihin), setahap demi setahap cita-cita mereka raih.
Namun, bagi kita, perjuangan belum terlambat untuk terus kita kumandangkan. Dengan segala apa yang ada pada diri kita dan dengan semangat yang kita kobarkan dan dengan amal yang kita kerjakan dengan sungguh-sungguh, demi Allah, semua itu tidaklah sia-sia. Kita harus bangkit dari keterpurukan dan kemalasan ini. Kita harus raih kemuliaan sebelum ajal datang menjemput. Al-Khawarizmi, seorang ahli matematika tersohor dan penemu ilmu aljabar, ternyata baru belajar matematika ketika berusia 24 tahun. Sebelumnya dia adalah pemuda pengangguran yang senang bermain musik. Tapi dia sadar, bahwa apa yang dilakukannya itu adalah kesia-siaan dan kelalaian. Kemudian dia beralih dan mengerjakan pekerjaan yang jauh lebih bermanfaat. Usia bukanlah penghalang untuk meraih apa yang dicita-citakannya. Kelak beliau dikenal sebagai sosok yang menguasai banyak ilmu pengetahuan mulai dari fisika, kimia, astronomi, filsafat, matematika, dan tentu saja pandai memainkan alat musik.
Imam Bukhari biasa bangun dari tidur, lalu menyalahkan lampu dan menuliskan faedah suatu hadits yang terlintas dalam pikirannya, kemudian tidur lagi dan kembali bangun hingga beliau dalam sebagian malam melakukan perbuatan ini sampai 20 kali.
Imam Abul Wafa bin Aqil al-Hanbali berkata, “Tak halal bagiku menyia-nyiakan sejam pun dari umurku. Sampai-sampai bila lidahku sudah tak mampu untuk bertutur kata, dan penglihatanku tak bisa membaca, aku tetap menjalankan daya pikirku meskipun aku berbaring istirahat. Sehingga aku tak akan bangkit kecuali telah terlintas dalam pikiranku apa yang akan kutulis. Pada umur 80 tahun aku amat gemar kepada ilmu, yang tak kualami ketika aku masih berumur 20 tahunan.”
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah berkata, “Saya kenal seseorang yang sedang sakit demam dan sakit kepala, sedang kitab yang dibacanya tetap berada di atas kepalanya. Apabila sedang siuman maka ia membacanya dan apabila sedang sakit yang sangat, maka ditaruhnya kitab itu di atas kepalanya. Di suatu hari tabib memeriksa sakitnya itu, sedang ia dalam keadaan sedemikian itu, lalu tabib itu berkata, ‘Sungguh tuan jangan melakukan hal ini (membaca), karena akan membahayakan ketahanan tubuh tuan dan dapat berakibat lebih fatal lagi’.”
Syaikh Abdul Adzim bercerita tentang Ishak bin Ibrahim al-Muradi, sebagaimana penuturannya, “Saya belum pernah melihat dan mendengar orang yang lebih banyak kesibukannya sepanjang siang hingga larut malam. Saya bertetangga dengan beliau, rumah beliau dibangun setelah 12 tahun rumahku berdiri. Setiap kali saya terjaga di keheningan malam, selalu terbias sinar lentera dari dalam rumahnya, dan beliau sedang sibuk dengan pencarian ilmu; bahkan sewaktu makan beliau selingi pula dengan membaca kitab-kitab.”
Menjelang wafat Imam ath-Thabari, Ja’far bin Muhammad memanjatkan doa untuknya. Ath-Thabari kemudian meminta tempat tinta dan selembar kertas dan menulis doa itu. Dia ditanya, “Apa arti semua ini?” Maka dia menjawab, “Sepantasnyalah bagi seorang untuk memungut ilmu hingga menjelang kematiannya.” Beberapa saat kemudian beliau wafat.
Imam al-Izz Izzuddin Abdussalam meninggal dunia pada usia 83 tahun pada saat beliau sedang berusaha menafsirkan ayat al-Quran, “Allahu nuurus samawati wal ardh” di hadapan murid-muridnya. Achdiat K. Miharja penulis novel Atheis, mampu menulis novel setebal 219 berjudul Manifesto Khalifatullah pada saat berusia 94 tahun.
Merekalah orang-orang yang tidak terhalang oleh waktu dan peristiwa. Bagi mereka, menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada orang banyak adalah keutamaan yang besar dan harus mereka jalani hingga maut datang menjemput. Tidak ada kata terlambat untuk menuntut ilmu, berkarya dan meraih prestasi. Berhenti berarti kalah! Karena orang yang berhenti sama saja dengan orang yang mati.
[email protected] http://penulis-muda.blogdrive.com