Waktu, laksana jalan membentang panjang saat kita berada di ujung awalnya, tetapi terasa sangat pendek ketika kita berada di ujung akhirnya. Demikianlah yang saya rasakan saat itu, saat hendak meninggalkan daerah yang setahun saya singgahi guna menimba ilmu dan hikmah dari setiap perjalanan yang saya lakukan.
Kantor megah yang menjadi kebanggaan kota ini pun harus saya tinggalkan. Demikian juga dengan rekan-rekan kerja yang selama ini menjalin kerja sama yang baik dengan saya.
Di saat matahari telah tergelincir dari titik kulminasinya, saya berpamitan pada rekan-rekan kerjaku. Tidak ada ucapan selamat berpisah. Yang ada adalah ucapan titip salam buat keluarga dan harapan agar lebih sukses di tempat tugas yang baru. Sebagian dari mereka mengucapkan terima kasih kepada saya, karena kontribusi yang saya berikan tidaklah bernilai kecil. Andai bisa memohon, mereka pun memohon agar saya bertahan lebih lama di kota ini. Bukan apa-apa, mereka tidak yakin orang yang datang setelah saya adalah orang yang bisa langsung diandalkan. Setidaknya butuh waktu bagi orang baru untuk beradaptasi dan bisa bermitra dengan mereka. Sungguh kata-kata yang tidak bisa saya lupakan yang sejatinya mengungkap dan membangkitkan optimisme saya bahwa saya bisa menjadi orang yang berguna.
Demi menghibur mereka, saya mengatakan bahwa perubahan akan senantiasa ada dan bersifat dinamis. Kita tidak mengetahui nasib ke depan berkaitan dengan perubahan-perubahan yang terjadi itu. Apakah akan berpisah selamanya ataukah akan dipertemukan lagi, semuanya adalah misteri dan dua-duanya bisa terjadi.
***
Malam harinya, saya menyempatkan diri berpamitan dengan sahabat-sahabat yang ada di kota ini, sahabat-sahabat yang selama ini menghiburku di tengah galau dan keterpisahan saya dengan anak dan isteri, nun jauh di sana.
Saya bertemu dengan Helmi, sahabat yang menawarkan diri untuk mengantarkanku ke bandara esok hari. Sangat antusias Helmi menawarkan kebaikannya sehingga saya tidak berkuasa menolaknya. Saya bisa saja meminta tolong rekan-rekan kerja yang memiliki mobil untuk mengantarkan saya, atau meminta kesediaan sopir kepala unit untuk mengantarkan dengan mobil operasional kantor. Atau andai semuanya tidak bisa, saya bisa memesan taksi mobil pribadinya yang nomor handphonenya sudah saya simpan sebelumnya. Namun saya lebih tertarik dan merasa sreg jika Helmi yang mengantarkan saya, meski bukan dengan mobil melainkan dengan sepeda motor butut.
Jarak Bandara dengan kediaman saya memang relatif dekat dan mudah di jangkau dengan jenis kendaraan apa saja. Saya yang biasa di antar kawan dengan mobil perusahaan, kali ini menyatakan bersedia diantar oleh sahabatku Helmi Ibrahim dengan sepeda motor. Ini adalah saat-saat terakhir meninggalkan kota, jadi tidak ada salahnya saya ingin menikmati kebersamaan dengan seorang sahabat menjelang detik-detik perpisahan itu.
Helmi sangat konsisten dengan janjinya. Pagi hari Helmi sudah stand by dengan rompi khasnya di depan rumah kos saya. Saya beranjak turun dari lantai dua tempat persinggahan saya itu, kemudian saya persilahkan Helmi untuk duduk di beranda sementara saya memesan minuman dan kue –di warung depan milik ibu kos– untuk saya sajikan sebagai teman menunggu.
Setelah saya hidangkan dan mempersilahkan minum, saya pamit untuk merapikan ruangan dan mengemasi barang-barang. Barang-barang saya tidaklah banyak, sehingga tidak butuh waktu lama untuk mengemasinya.
Saat saya telah siap, saya berpamitan kepada bapak dan ibu kos. Saya sampaikan permohonan maaf jika selama ini ada kekhilafan yang sengaja maupun yang tidak disengaja. Saya juga mohon doa agar Allah memudahkan perjalanan dalam rangka menemui keluarga di Jakarta. Terakhir saya juga mohon doa agar di tempat tugas yang baru nanti, saya bisa memberikan kontribusi yang cukup berarti, baik buat pengembangan diri pribadi maupun kemanfaatan pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
Setelah cukup berpamitan, Helmi menghidupkan motor, kemudian saya segera naik. Saya mengucapkan salam kepada bapak ibu kos, yang selama ini menemani saya dalam kesendirian terpisah dari orang-orang tercinta.
Motor melaju pelan dan cukup nyantai karena kami tidak begitu diburu waktu. Tersedia cukup waktu bagi kami untuk berbincang dan berbagi perasaan menjelang detik-detik perpisahan. Tanpa terasa, kami akhirnya tiba di Bandara.
Pesawat belum datang saat kami kami tiba di bandara pagi itu. Saya ajak Helmi untuk menunggu di kedai minuman. Di sana kami melanjutkan perbincangan yang sempat tertunda. Begitu terdengar bunyi Pesawat yang hendak saya tumpangi datang mendarat, kami pun bersepakat untuk berpisah saat itu. Saya hendak menuju ruang tunggu keberangkatan, sedangkan Helmi hendak kembali ke kota menjalani dan melanjutkan aktivitas rutinnya yang sempat tertunda.
Sebagai tanda persahabatan, saya ingin memberikan sesuatu kepada dia. Sayangnya, saya tidak menyiapkan apa-apa, selain beberapa lembar uang yang bisa saya berikan.
“Helmi, terimalah ini.” Saya menyodorkan sejumlah uang dalam sebuah amplop.
“Apa ini?!” Helmi menjaga jarak agar aku tak bisa menjangkau dirinya. Nampaknya ia hendak menolak dengan apa yang akan saya berikan.
“Ini untuk anak-anakmu. Untuk membeli buku-buku atau apa saja.”
Helmi adalah profil seorang sahabat yang dhuafa. Rumahnya masih ngontrak. Kondisi rumahnya sangat sederhana dan terkesan selalu berantakan. Handphone saja ia belum memilikinya waktu itu. Komunikasinya adalah komunikasi langsung. Namun untungnya, keberadaan dia gampang untuk ditelusuri. Terlebih di kota kecil yang bukan kota metropolitan layaknya Jakarta ini. Jika ia tidak ditemukan dirumah, pastilah ia berada di warung kelontongnya. Atau di markas organisasi dakwahnya, atau sedang berada di masjid. Atau jika tidak ditemukan juga, ia bisa ditemukan dengan cara menghubungi teman-teman yang memiliki handphone, pasti salah satu dari mereka mengetahui keberadaan Helmi.
Meski dhuafa, Helmi adalah sahabat yang sangat menghargai arti persaudaraan. Jika ia hendak menghadiri majelis iman, ia selalu menanyakan siapa teman-teman yang bisa dijemput untuk hadir bebarengan menggunakan sepeda motor bututnya. Meski butut, ia sangat menyadari bahwa sepeda motor itu akan memiliki nilai keberkahan jika dimanfaatkan untuk kebaikan. Oleh karenanya, ia kadang rela bolak-balik menjemput teman-teman yang hendak hadir di majelis iman di malam hari, sementara mereka tidak memiliki sepeda motor dan di malam hari tidak ada angkutan yang beroperasi.
Karena penghargaan atas nilai persaudaraan itulah, ia menolak apa yang hendak saya berikan di bandara itu. Ia berkata,
“Jangan begitu lah. Aku ini tidak mau dibayar. Aku hanya mengharap kebaikan dan pahala dari Allah saja.”
Saya pun mencoba membujuk, “Tapi yang saya kasih ini tidak mengurangi pahala kebaikanmu, Helmi. Ini adalah rezeki dari Allah.”
Namun nampaknya ia masih bersikukuh dengan pendiriannya itu. “Sudahlah, kamu bawa saja buat nambah ongkos di jalan. Atau buat beli oleh-oleh buat anak-anak di rumah.”
Saya tentu saja berkeberatan. Anak-anak Helmi tentu lebih membutuhkan uang dibanding anak-anak saya. Pada akhirnya saya memberi jalan tengah untuk menghindari situasi tidak enak yang berkepanjangan.
“Gini aja dech. Kamu terima aja, tolong diinfaqkan ke pihak yang membutuhkan. Saya tidak patut untuk menarik uang itu kembali.”
Alhamdulillah, kami pun sepakat dengan solusi itu. Kami akhirnya berpelukan sebelum akhirnya berpisah. Nampaknya Helmi ingin menangis karena haru. Saya pun sebenarnya juga demikian. Namun masing-masing kami mencoba menahannya dan cukup menyimpan keharuan itu di dalam hati.
“Hati-hati ya!”, Helmi berpesan kepada saya.
“Insya Allah, jangan putus komunikasi ya.”
“Ya. Insya Allah. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam warahmatullah”
Helmi menuju halaman parkir sepeda motor. Menghidupkannya dan kemudian meninggalkan bandara. Bayang-bayang Helmi perlahan hilang sebelum akhirnya saya beranjak menuju ruang tunggu keberangkatan.
***
Kejadian barusan yang dilakukan Helmi, benar-benar mengundang keharuan saya. Helmi, adalah salah satu sahabat yang begitu memahami dan menghargai makna dari persaudaraan. Keterbatasan hidupnya sebagai pedagang kecil, tidak memudarkan rasa cinta kepada saudaranya, termasuk terhadap diri saya.
Semangat ‘survive’ dan mandirinya perlu dicontoh. Dia pernah berjualan gorengan dengan gerobak, berjualan sayuran di pasar, membuat dan mengantarkan kue di pasar, jualan sembako, dan usaha-usaha lain agar ia tetap survive. Keyakinan jaminan rezeki menjadikan semangat berusahanya tidak pernah mati. Kisah ‘burung yang pergi di pagi buta dengan perut kosong, pulang sore hari dengan perut penuh berisi makanan’ menjadi inspirasi dan referensi hidupnya sehingga ia selalu terpacu semangatnya menjalani kehidupan tanpa ada keluh kesah dan kekhawatiran akan jaminan rezeki dari-Nya. Tubuhnya yang menghitam, seakan menjadi saksi betapa kerasnya perjuangan hidup yang dia lakukan guna menafkahi keluarganya.
Saya sungguh kagum dengan sahabat seperti Helmi itu. Dengan kondisi ekonomi yang seadanya, ia tetap bisa berdakwah dan berjuang untuk memperbaiki kondisi ummat. Subhanallah.
Selamat jalan dan selamat berjuang sahabatku. Kita pernah bersatu dan Insya Allah selalu bersatu di jalan kebaikan. Kelak, kita pun akan dipertemukan dalam rangka menunai jalan kebaikan itu di Surga. Insya Allah. Amin.
Waallahu’alam bishshawaab ([email protected]).
—
Kenangan bersama seorang sahabat di Bangka Belitung