Ada satu peristiwa berkesan yang mencerminkan tipikal utama dari masyarakat Madinah, yaitu selalu antusias untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.
Suatu ketika orang-orang miskin Madinah mengadu kepada Rasulullah Saw,
“Ya Rasulullah, kami merasa iri dengan saudara-saudara kami yang diberi kelapangan harta. Kami sholat, mereka juga sholat. Kami berpuasa, mereka juga berpuasa. Kami bertilawah Quran, mereka juga bertilawah Quran. Tetapi begitu mereka bersedekah karena kelapangan harta mereka, kami tidak bisa seperti mereka.”
Kemudian Rasulullah Saw menghibur orang-orang miskin itu dan memberikan sebuah tips kepada mereka,
“Maukah aku tunjukkan amalan yang bisa menyamai mereka sebagai ganti karena engkau tidak mampu bersedekah?. Bacalah setelah sholat: subhanallah 33 kali, alhamdulillah 33 kali, Allahu Akbar 33 kali, dan tutuplah dengan laa ilaaha illa allahu wahdahu laa syarilahu lahul mulku walahulhamdu wahua ‘ala kulli syaiin qodir.”
Orang-orang miskin Madinah pun menerima “tips” dari Rasulullah Saw itu dengan suka cita. Kini mereka merasa terhibur dan merasa bangga karena akan segera mampu menyamai amal orang-orang kaya Madinah. Kemudian mereka pun mempraktekkannya.
Namun “tips” dari Rasulullah Saw itu pada akhirnya sampai juga di telingga orang-orang kaya Madinah, sehingga mereka pun mempraktekkan amalan yang serupa dilakukan oleh orang-orang miskin itu. Kembali orang-orang miskin Madinah itu mengadu ke hadapan Rasulullah Saw,
“Ya Rasulullah, mereka (orang-orang kaya Madinah) mempraktekkan serupa amalan-amalan yang kami lakukan itu.” Rasulullah Saw menjawab bahwa itulah kelebihan mereka yang diberikan harta sementara mereka banyak bersedekah dengan harta yang dimilikinya itu.
***
Saat ini, seringkali kita memiliki persepsi yang kurang proporsional tentang kaya dan miskin. Orang kaya merasa bangga dengan kekayaannya dan menilai bahwa mereka yang miskin adalah mereka yang malas dan bodoh. Sementara orang miskin kadang merasa suci dan mencurigai bahwa orang-orang kaya telah merampas hak harta-harta mereka secara culas, dengan korupsi dan cara-cara yang melanggar rambu syari’ah. Semua itu bisa jadi disebabkan karena masing-masing tidak melihat amal kebaikan satu sama lainnya, yakni kebaikan yang tulus, tanpa motif atau tendensi apapun selain mengharapkan ridha dari Allah SWT. Orang miskin tidak pernah melihat bahwa orang kaya itu bersedekah atau beramal kebaikan, sementara orang kaya juga tidak pernah melihat orang miskin itu telah bekerja keras dan menunjukkan keseriusan dalam bekerja.
Rasulullah Saw mencontohkan dan memberi pelajaran bahwa dalam hidup ini yang seharusnya menjadi motif dan fokus adalah bagaimana agar selalu bisa berbuat baik dan berlomba-lomba dalam kebaikan dan memproduksi amal sholeh. Andaipun mengejar harta, maka hasil perolehannya pun diniatkan dan diarahkan ke sana. Bukan karena prestise, status, dan motif-motif duniawi lainnya. Jika amal sholeh ini menjadi tolok ukur dari kemuliaan yang disepakati maka kaya dan miskin menjadi hal yang kurang relevan dalam kehidupan.
Alangkah indahnya jika semua elemen bangsa memiliki persepsi yang demikian. Saudara yang miskin akan mensyukuri saudaranya yang kaya karena yakin saudaranya itu akan menggunakan kekayaannya semata-semata untuk kebaikan dan menunaikan kewajiban hartanya itu dengan sempurna. Demikian juga saudara yang kaya akan selalu membantu mengentaskan saudaranya dari kemiskinan karena yakin bahwa jika ia menjadi kaya kelak, ia pun pasti akan mendayagunakan kekayaannya untuk kebaikan dan membantu saudara yang lainnya. Semua itu dibingkai oleh rasa persaudaraan (ukhuwwah) yang indah dimana masing-masing saling membantu dan bekerjasama untuk mencapai derajat yang mulia di sisi-Nya.
Kondisi real sering menampilkan hal yang sebaliknya. Yang kaya menampilkan aura bangga dan ujub, sedangkan yang miskin menampilkan aura iri dan dengki. Sebagai akibatnya, makna ukhuwwah dan persaudaraan yang hakiki makin jauh panggang dari api. Yang rugi adalah ummat ini, yang tidak pernah beranjak untuk perbaikan diri karena tidak berfokus pada inti masalah yang sejati. Yakni berlomba-lomba berbuat kebaikan demi mengangkat izzah dan harga diri.
Semoga Allah SWT mengaruniai kita dengan amal kebaikan atas dasar pemahaman yang benar dan ikhlas dalam melaksanakannya. Amin.
Wallahua’lam bishshawaab.
[email protected]