Berempati Pada Makhluk-Nya

Langit senyap. Waktu menunjukkan lewat dini hari.

Saya beranjak pulang dari sebuah warnet. Ada beberapa alasan kenapa saya sering berselancar di dunia maya pada jam-jam segitu. Kesunyian membuat pikiran lebih jernih untuk berpikir dengan tenang, sangat kontras dengan suasana di siang hari yang dijejali berbagai aktivitas.Koneksi yang jauh lebih cepat dari jam-jam sibuk. Dan tentu saja, biaya sewa yang jauh lebih murah.

Menyusuri jalanan sepi, ekor mata saya menangkap sosok seekor anjing sedang mengais-ngais sisa makanan di tempat sampah di sebrang jalan sana. Saya diam sejenak memperhatikan tingkahnya. Anjing itu tampak sekali kelaparan. Penciumannya yang tajam sedang mendengus tumpukan plastik-plastik sampah itu. Sesekali kaki depannya mengorek-ngorek sampah.

Ah, tiba-tiba hati saya terenyuh melihatnya. Saya pernah merasakan malam-malam kelaparan seperti anjing itu dulu, saat-saat akhir kuliah sekitar tahun 2003. Uang bulanan saya lebih sering habis di akhir bulan sebelum sampai bulan berikutnya. Saya pernah beberapa hari tidak makan nasi, dan hanya makan gorengan dan minum air putih berhari-hari saat itu. Beruntung ada seorang teman akrab yang bersedia meminjami saya berkali-kali saat keadaan sudah sangat memaksa. Terima kasih, Sahabat.

Teringat hal itu, kaki saya berbalik kembali melangkah ke arah warnet. Saya lihat di sana tadi masih ada beberapa bungkus roti yang dijual. Saya membelinya satu bungkus.

Keluar dari warnet, saya langsung menyebrang jalan mendekati posisi di mana anjing itu sedang mengorek sisa makanan di tumpukan sampah. Setelah dekat, sambil membuka plastik bungkus roti, saya berusaha bersikap akrab dengannya.

Alhamdulillah saya tidak takut dengan anjing. Hanya tentu saja saya harus menjaga jarak, karena bagaimanapun juga seluruh anggota badan anjing termasuk bulunya adalah najis mugholadlah (najis berat) yang bila menyentuhnya harus dibasuh tujuh kali dan salah satunya dengan debu yang suci untuk mensucikannya.

Anjing itu menyadari ada orang asing mendekatinya. Ia memandang ke arah saya, berhenti sejenak dari aktifitasnya.

Setelah jarak kami cukup dekat, saya mencuil roti di tangan saya dan melemparkannya ke depan anjing itu.

Oh, Tuhan! Ia bukannya melahap roti itu, tapi malah berlari menjauhi saya. Meninggalkan saya terbengong sendirian di dekat tumpukan sampah itu.

Saya mencoba memaklumi tindakannya itu. Boleh jadi ia tak biasa diberi makan oleh manusia sebagaimana layaknya anjing-anjing yang berkeliaran di kota-kota besar tanpa ada pemiliknya. Dan saya tidak akan pernah menyesali tindakan saya dini hari itu.

Saya teringat kisah seorang wanita tuna susila yang menggunakan sepatunya untuk tempat minum bagi seekor anjing yang sedang kehausan yang mendatanginya.

Saya teringat kisah seorang tua dari Khurasan yang lebih memperhatikan seekor anjing yang kelaparan hingga selesai memberinya makan daripada kehadiran Imam Ahmad yang akan menanyakan perihal sebuah hadits kepadanya.

Sebuah hadits shoheh yang dari Abu Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah ra.

“Siapa yang memutus harapan orang yang datang kepadanya, Allah akan memutus harapannya pada hari kiamat dan tidak akan masuk surga.”

Orang tua itu berkata pada Imam Ahmad, “Di kampung ini tidak ada anjing. Tiba-tiba anjing ini datang kepadaku dalam keadaan lapar. Ia mengharap padaku agar aku memberinya makan, aku tidak mau memutus harapannya hanya karena kedatanganmu.”

Begitulah, saya belajar berempati kepada makhluk-Nya. Tak terkecuali pada seekor anjing sekalipun.

Wallahu a’lam.

#

Jum’at, 15 Pebruari 2008 01:49 a.m

http://www.setta.blogs.friendster.com/the_way_to_paradise/