Sesuai fitrah, kita diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial. Interaksi dengan orang lain menjadi kebutuhan mutlak. Sehingga bisa terjadi sosialisasi, saling tolong menolong dan saling melengkapi sesuai kemampuan yang melekat pada diri masing-masing.
Pernahkah kita memikirkan saat kita menikmati makanan, berapa jumlah orang yang telah berkontribusi terhadap kita? Makanan yang kita makan melibatkan sekian orang petani, peternak, nelayan, pedagang bahan makanan, pengemudi kendaraan yang mengangkut bahan makanan. Untuk mengolah bahan makanan diperlukan bahan bakar berupa gas atau minyak tanah. Ribuan orang bekerja di pabrik pengolah gas, kilang minyak tanah, dan sumur penambangan gas dan minyak bumi. Kompor, panci, wajan untuk mengolah makanan diproduksi di pabrik yang juga melibatkan sekian banyak pekerja. Subhanallah, rahmat Allah SWT diturunkan kepada kita dengan perantaraan sekian banyak orang, sehingga kita bisa menikmati makanan yang merupakan kebutuhan hidup.
Ilustrasi di atas sebagai sekedar contoh. Ternyata satu jenis nikmat Allah SWT kepada kita datang dengan berbagai cara dan jalan yang dikehendaki-Nya. Padahal nikmat-Nya tak terhitung banyaknya. Orang-orang di sekitar kita dan di tempat lain yang tidak kita ketahui telah memberikan manfaat untuk kita. Sewajarnya kita tidak perlu merasa hebat. Keberhasilan kita dalam berbagai hal tidak bisa dianggap karena peran sendiri. Orang lain ikut berperan sesuai kemampuannya. Jangan pula merasa berjasa karena telah memberikan kebaikan kepada orang lain dengan mengatakan, ” Dia bisa maju usahanya karena saya telah membantunya dalam banyak hal ”, atau mengatakan, ” Bos bisa maju karirnya berkat kerja keras saya sebagai bawahannya. ”
Orang bijak mengatakan, ” Lupakanlah kebaikan-kebaikan kita kepada orang lain. Namun ingatlah selalu kebaikan-kebaikan orang lain pada diri kita. Lupakan pula kesalahan-kesalahan orang lain pada diri kita, sebaliknya ingatlah selalu kejelekan-kejelekan yang telah kita lakukan terhadap orang lain. ”
Fenomena kehidupan dunia saat ini sangat hedonis. Dampaknya, manusia mempunyai kecenderungan untuk bersifat egoistik. Lebih mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan orang lain. Banyak contoh nyata egoisme yang ditemui sehari-hari dalam kehidupan. Bisa jadi, kita telah melakukan praktek-praktek egoisme tersebut secara sadar ataupun tidak. Harus disadari bahwa egoisme adalah suatu penyimpangan dari jalan yang diridhoi-Nya.
Untuk mengantisipasi sifat egoistik yang ada pada diri kita diperlukan suatu ikhtiar, yaitu dengan menumbuhkan empati. Empati merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam interaksi antar pribadi. Dengan empati, kita bisa saling memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. Sehingga kita tidak akan meraih tujuan yang menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan pada orang lain. Pada dasarnya, empati itu telah tertanam pada diri setiap manusia. Suatu sunatullah yang telah dilekatkan pada penciptaan manusia oleh Allah SWT.
Saling memahami antar pribadi yang timbul dari empati akan meningkatkan kesadaran akan saling ketergantungan. Karenanya akan timbul keinginan saling bekerjasama. Selanjutnya akan timbul keinginan untuk mendahulukan kepentingan orang lain. Akhirnya terjalin rasa belas kasihan dan tenggang rasa terhadap sesama hamba Allah SWT.
Rasulullah SAW, panutan kita, mempunyai empati yang dalam terhadap orang lain seperti yang tergambar dalam ayat berikut ini. “ Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. ” (QS At Taubah [9]:128).
“ Seorang muslim bersaudara dengan sesama Muslim lainnya, tidak boleh menganiaya dan tidak boleh dibiarkan dianiaya oleh orang lain. Dan barangsiapa yang menyampaikan hajat saudaranya, niscaya Allah akan menyampaikan hajatnya. Dan barangsiapa membebaskan kesukaran seorang Muslim di dunia, niscaya Allah akan membebaskan kesukarannya di hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi kejelekan seorang Muslim, niscaya Allah akan menutup kejelekannya di hari kiamat. ” (HR Bukhari Muslim).
Hadis di atas menekankan tentang pentingnya empati dengan memahami permasalahan yang dihadapi oleh orang lain. Kepedulian terhadap kesulitan orang lain merupakan indikator sejauh mana rasa ukhuwah seseorang terhadap orang lain. Dalam hal ini atribut-atribut duniawi seperti pangkat, kedudukan ataupun status sosial harus ditanggalkan. Harus disadari bahwa kita semua adalah hamba Allah SWT.
Kita selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam berbagai hal. Kondisi tidak bisa berbuat sesuatu, seperti saat kelahiran atau saat kematian menunjukkan contoh betapa pertolongan orang lain sangat kita butuhkan. ” Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. ” (QS Al-Maa-idah [5]:2)
Bangsa kita yang sedang bangkit dari keterpurukan, harus menumbuhkan empati antar pribadi dalam berbagai aspek kehidupan. Egoisme dibuang jauh-jauh demi tujuan bersama yang lebih mulia yaitu kemajuan dan kejayaan bangsa. Pejabat saling berempati dengan rakyat, antar pejabat saling berempati, pimpinan saling berempati dengan bawahan dan seterusnya. Sifat tolong menolong dikedepankan. Dengan kondisi seperti ini, atas izin Allah SWT berbagai permasalahan bangsa dapat teratasi.