Hari Sabtu, kami mengiklankan mobil ke sebuah surat kabar. Ya, kami harus merelakan benda kesayangan itu. Ada sebuah kebutuhan mendesak yang memerlukan uang kontan dalam jumlah tidak sedikit.
Mulai jam 05.30, telepon berdering dari calon pembeli. Ada yang serius, namun selebihnya adalah orang-orang yang menawar dengan harga yang sangat di bawah yang kami harapkan. Mungkin, mereka adalah makelar, yang ingin menjual kembali mobil itu dengan mengambil untung.
Kami terus menunggu pembeli yang serius. Namun, sampai menjelang siang, hanya ada seorang calon pembeli yang melihat langsung keadaan mobil kami. Bapak itu serius dan teliti mengamati kondisi mobil, juga mengajukan beberapa pertanyaan sampai detail. Kami pun berharap, semoga beliau jatuh hati dan membeli dengan harga yang cocok.
Setelah hampir seperempat jam mengamati, mulailah kami membicarakan soal harga. Rupanya, belum sesuai dengan keinginan. Tawaran beliau masih terlalu rendah. Bahkan tawaran tertinggi yang beliau sampaikan, belum sampai pada batas minimal kami memberikan harga jual. Akhirnya, beliau pun pulang. Kami pun melepasnnya sambil berharap, semoga nanti beliau menelpon kembali, menaikkan harga.
Sampai sore hari, hanya ada beberapa yang menelpon. Itu pun tidak serius. Kami mulai risau. “Bagaimana bila mobil ini tak terjual?” Padahal, uang itu sangat kami butuhkan. Kami terus menunggu. Namun tak ada seeorang pun yang menelpon atau hanya sekedar sms menanyakan mobil itu. Ini semakin membuat kami pesimis.
Malam hari, ada sebuah telpon dengan nomor tak dikenal. Saat itu, suami tengah tadarus di mushola. Akhirnya saya angkat. Rupanya calon pembeli mobil. Dia menanyakan, apakah mobil sudah terjual atau belum. Setelah saya jawab belum, penelpon menanyakan detail mobil. Sayang, beberapa tak bisa saya jawab, karena saya memang tak begitu menguasai mesin, jenis mobil, fisik dan lainnya.
Akhirnya, penelopon bertanya, “tadi sudah ada yang menawar berapa saja?”
Saya jawab dengan jujur, tawaran terendah sampai tertinggi yang diberikan calon pembeli. Di luar dugaan, selesai saya mengatakan hal itu, penelepon mengatakan sesuatu yang membuat saya sedikit naik darah, “tawaran ‘segitu’ (menyebut harga tertinggi) belum dilepas? Memang maunya berapa sih?” dengan nada yang cukup menyakitkan.
Untunglah, saya sedikit bisa berpikir jernih. “Kondisi mobilnya istimewa, Pak. Makanya saya berani memberi harga segitu. Silakan saja dilihat langsung!” jawab saya, dengan nada yang saya buat setenang mungkin dan se-pede mungkin layaknya seorang sales yang meyakinkan konsumen.
Setelah itu, benar-benar tak ada yang menelpon lagi. Jadi, kami pikir usaha hari ini dengan memasang iklan di surat kabar tak berhasil. Kami pun merencanakan cara lain lagi untuk menjual mobil. Kami akan mendatangi bursa mobil. Memang akan sangat melelahkan. Kita harus berpanas-panas menunggu pembeli datang di sebuah tempat terbuka. Namun, tak salahnya mencoba. Bagaimana pun juga, ikhtiar haruslah maksimal.
Keesokan harinya, sesaat sebelum kami berangkat, ada telepon masuk dari seorang calon pembeli yang telah menelpon pada hari Sabtu. Beliau ingin melihat kondisi mobil. Harapan pun kembali muncul. Dan tak lama, datanglah calon pembeli itu. Sebuah keluarga yang ramah. Mereka melihat dengan teliti. Sampai mengelus-elus cat mobil, mencari cacat yang mungkin ada. Mereka juga melihat kondisi mesin dengan seksama. Beberapa pertanyaan pun dilontarkan oleh mereka untuk mengetahui lebih jauh akan keadaan mobil. Semua itu kami jawab dengan jujur apa adanya.
Saat itu, datanglah seorang nenek-nenek, menggendong sebuah bakul di punggungnya. Dia menawarkan telur ayam kampung yang hanya tinggal empat butir. Saya beli telur itu dengan harga lebih yang tak seberapa. Terima kasih yang berlebihan keluar dari bibir nenek itu. Ditambah lantunan doa agar kami sekeluarga mendapat berkah dari Allah. Semua itu saya aminkan sambil lalu, karena konsentrasi saya pada mobil dan calon pembeli.
Setelah pembeli puas melihat kondisi mobil, termasuk mencoba mobil mengelilingi perumahan, negosiasi harga pun di mulai. Namun, lagi-lagi belum mencapai kesepakatan.
Kami pun tetap pada rencana semula. Ikut bursa mobil. Sesaat sebelum berangkat, datanglah seorang pengemis. Suami mengambil sejumlah uang yang tak biasanya kami berikan kepada peminta-minta.
“Pak, tolong doakan saya. Saya sedang berniat menjual mobil itu, semoga cepat laku dan barakah.” Suami minta didoakan seorang pengemis. Benar-benar tak pernah ada dalam pikiran saya. Bahkan, saya tadi tak begitu menghiraukan doa dari seorang nenek tua penjual telur ayam kampung.
Pengemis tadi pun mendoakan panjang lebar, diselipi dengan doa berbahasa arab yang dilantunkannya dengan fasih. Suami ikut berdoa bersamanya dan mengaminkan dengan sungguh-sungguh. Saya pun berharap banyak, doa ini dikabulkan oleh Allah. Sungguh, kami memerlukan uang dalam waktu dekat.
Setelah itu, berangkatlah kami ke tempat bursa mobil. Sungguh di luar dugaan. Jam belum menunjukkan pukul 11.00, namun, mobil yang akan dijual sudah mencapai 370 buah. Sebuah jumlah yang tak biasanya. Bahkan, beberapa saat setelah kami mendapat parkir, pendaftaran ditutup, karena tempat sudah tak memungkinkan lagi.
Melihat begitu banyaknya mobil yang ada, kami pesimis akan menemukan pembeli di sini. Apalagi, banyak mobil yang jenisnya sama, dengan tahun yang lebih muda dan kondisi yang lebih ‘kinclong’, ditawarkan dengan harga yang sama dengan mobil kami.
Dan benar saja, tak ada seorang pun yang melirik mobil kami. Bahkan, kami semua semakin tersiksa dengan cuaca yang sangat panas di sebuah keramaian yang luar biasa. Anak pertama yang puasa, mengeluh kepanasan dan kehausan. Anak kedua mulai rewel. Sampai bajunya saya lepas dan hanya mengenakan kaus dalam, masih tetap kepanasan dan terus rewel. Akhirnya, kami pun tak tahan dan pulang.
Malam hari, kami memutuskan untuk menghubungi keluarga yang tadi pagi melihat mobil. Kami akan menurunkan harga, dan berharap mereka mau menaikkan harga. Suami pun menelpon, namun tak diangkat. Pikiran negatif terbersit di hati kami. Mungkin mereka telah mendapatkan mobil sesuai yang diharapkan, sehingga ‘malas’ menerima telepon kami. Namun, kami buang rasa itu, dan menganggap mereka sedang tak bisa menjawab telepon. Suami pun sms, menawarkan sebuah harga baru. Alhamdulillah, setelah beberapa waktu, mereka menelpon. Akhirnya setelah dua kali tawar menawar, dicapailah kesepakatan. Sebuah harga yang memang dibawah target kami, namun tak begitu berbeda jauh.
Kami begitu lega. Keinginan kami telah terlaksana. Doa kami telah terkabul. Pikiran kami melayang pada seorang pengemis tua yang telah mendoakan kami, juga pada seorang nenek tua penjual telur ayam kampung, yang telah mendoakan kami, hanya karena kami berikan sedikit uang lebih. Bisa jadi, rejeki ini diberikan Allah kepada kami, karena doa yang mereka lantunkan. Wallahua’lam. (Aan Wulandari U, [email protected])