Pagi ini, di perempatan Cempaka Putih. Aku di belakang kemudi Xenia biru, yang biasa dikemudikan Dedy menyusuri Jakarta. Lampu sedang merah. Dan aku berhenti mengantri.
Beberapa pedagang asongan datang dan pergi. Tak berapa lama, seorang anak perempuan datang ke pintu kaca mobilku. Usianya paling sekitar kelas 4 SD. Anaknya agak gemuk, tembem, kulit sawo matang. Hari ini ia memakai batik hijau kembang yang sederhana. Biasanya setelah kaca dibuka, ia akan menengadahkan tangan sambil berkata, “Buat bayar SPP, Om.” Atau, “Buat beli buku, Om.” Dan sekali waktu, “Buat beli seragam sekolah, Om.” Semuanya pasti berhubungan dengan sekolahnya.
Dan seperti biasa, pada kesempatan-kesempatan sebelumnya, dulu, Dedy pasti memberinya sebagian yang ia punya. Entah 500 atau 1000. Kadang sepotong Sari Roti atau kue yang lain. Atau mungkin bisa lebih dari itu, ketika sedang tidak bersamaku. Aku tak tahu. “Mumpung masih bisa, Mas,” katanya beralasan (baca: Aji Mumpung Dedy di Oase Iman eramuslim.com 19 Mei 2006)
Tetapi, satu hal yang kuingat, bahwa anak perempuan itu hampir-hampir pasti selalu menghampiri kami jika berhenti di perempatan ramai ini. Dan ia pasti mendapatkan sesuatu dari Dedy. Karenanya, kami sudah sangat hapal dengan dirinya, dan dirinya juga sudah sangat hapal dengan kami. Mungkin lebih tepatnya dengan Dedy, karena dialah yang hampir tiap hari melintas di jalan ini. Dan dialah yang selalu mengulur tangan pada gadis itu.
Ia sudah berdiri di jendela. Aku membukanya sambil meraba kotak Doraemon Dedy. Di sana harta karunnya masih bertumpuk segenggaman tangan. Kuangsurkan sekeping logam pada anak itu.
Setelah menerima uang itu, ia celingukan, dan tanpa dinyana, langsung berkomentar, “Lho, Masnya kok nggak ada?”
Seketika aku merasakan kehilangan yang sangat pada kata-katanya itu. Kehilangan seseorang yang bagi anak itu mungkin begitu dekat, karena hampir setiap hari ketika melintas di perempatan ini, ia mendapatkan uluran tangan darinya entah dalam bentuk sesederhana apapun.
Lalu beberapa orang yang lain, peminta, pembersih kaca mobil, yang juga kerap mendapat sesuatu dari Dedy menghampiri jendela yang sama. Aku mengambil harta karun Dedy dan kemudian mengangsurkannya kepada mereka.
Ah, betapa berat rasanya kehilangan seseorang yang begitu baik seperti Dedy. Ia, orang baik itu, sudah kembali ke kampung halamannya di Malang sejak seminggu yang lalu.
***
Di sudut pasar kota Madinah pernah ada seorang pengemis Yahudi. Ia buta. Ia hanya menggantungkan hidupnya pada orang yang mau memberinya makan. Dan setiap kali ada seseorang yang datang mendekatinya, ia selalu berkata, “Wahai saudaraku. Jangan dekati Muhammad! Dia itu orang gila, pembohong. Tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya, kalian pasti akan terkena pengaruhnya!”
Namun, setiap hari justru Rasulullah SAW mendatanginya. Beliau membawa makanan dengan tangannya sendiri. Dan lebih dari itu, tanpa berkata sepatah pun, beliau menyuapi pengemis Yahudi buta itu dengan makanan yang beliau bawa. Beliau pun tak luput mendapatkan pesan yang sama dari pengemis itu sebagaimana disampaikan kepada sekalian orang.
Hal demikian dilakukan Rasulullah hingga menjelang beliau wafat. Dan tentu saja, ketika beliau tiada, maka tidak ada lagi orang yang datang kepada pengemis Yahudi itu dan menyuapinya makanan sebagaimana biasanya.
Suatu hari, Abu Bakar ra datang kepada ‘Aisyah ra., anaknya yang isteri tercinta Rasulullah. Ia bertanya, “Wahai anakku. Adakah sunnah kekasihku Muhammad yang belum aku kerjakan?”
“Wahai Ayah. Engkau adalah ahli sunnah Rasulullah,” jawab ‘Aisyah. “Hampir tak ada sunnah Rasulullah yang belum engkau kerjakan kecuali satu hal saja.”
“Sunnah apakah itu, anakku?” tanya Abu Bakar penasaran.
“Setiap pagi, Rasulullah SAW selalu berkunjung ke sudut pasar Madinah,” terang ‘Aisyah. “Beliau membawakan makanan untuk menyuapi seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana.”
Keesokan harinya, Abu Bakar pergi ke sudut pasar Madinah. Ia membawa makanan di tangan. Ketika ia tanpa berkata sepatah pun mulai menyuapinya, Yahudi buta itu pun berteriak marah.
“Siapakah kau?” tanyanya ketus.
“Aku orang yang biasa menyuapimu,” jawab Abu Bakar.
“Bukan!” sergah si Yahudi. “Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku.”
Abu Bakar termangu.
“Apabila ia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan mulut ini mengunyah,” lanjutnya pada Abu Bakar. “Orang yang biasa mendatangiku selalu menyuapiku dengan lembut.”
Abu Bakar tak kuasa menahan bulir air di matanya. Ia pun sesenggukan. “Ya, kisanak. Memang aku bukanlah orang yang biasa datang kepadamu. Aku hanyalah salah seorang sahabatnya. Dan orang yang mulia itu kini telah tiada.”
“O, ya? Siapakah dia? Siapa dia sebenarnya?”
“Dialah Muhammad Rasulullah SAW.”
“Muhammad? Benarkah demikian?”
Abu Bakar mengiyakan.
Pengemis Yahudi buta itupun akhirnya juga sesenggukan. “Oh, selama ini aku telah menghinanya. Memfitnahnya. Dan ia tidak pernah marah padaku sedikitpun. Ia mendatangiku setiap hari dengan membawa makanan. Ia menyuapiku dengan tangannya. Ia begitu mulia….”
Lelaki itu merasakan betapa beratnya sebuah kehilangan. Kehilangan orang yang setiap hari ia hinakan, yang justru telah membawakan makanan buatnya dan menyuapinya dengan segala kelembutannya. Setiap hari… hingga wafatnya.
Ia pun lalu bersyahadat di depan Abu Bakar.
***
Singkat saja. Hidup cuma sekali dan tak bisa terulang lagi. Kenapa pula kita tidak berusaha menjadi orang yang jika tiada kelak banyak orang merasakan kehilangan yang sangat? Seperti Abu Bakar dan pengemis Yahudi itu kehilangan Rasulullah. Dan pada level yang sederhana, seperti diriku, gadis itu, para pengasong, pembersih kaca mobil di perempatan jalan Cempaka Putih kehilangan seorang Dedy.
Selamat jalan Dedy. Selamat jalan kawan. Aku yakin, di tempat lain, dirimu sedang membuat jejak yang sama. Agar kepergianmu kelak dari tempat itu pun akan membuat berat mereka yang kau tinggalkan.
***
Bahtiar HS
http://bahtiarhs.multiply.com
Buat Dedy, kawanku seiring seperjalanan