Beramal dengan Cara Terbaik

Siang itu, kami berkunjung ke gedung DPD yang berada di komplek gedung MPR-DPR Senayan, Jakarta. Bagi saya hari itu adalah hari yang cukup bersejarah dan memiliki arti tersendiri. Pertama, baru kali itulah saya —sebagai rakyat kecil— berkesempatan mengunjungi gedung yang dihuni oleh orang-orang ‘terhormat’ dan menjadi simbol kedaulatan rakyat yang cukup megah tersebut. Saya jadi terbayang bagaimana gigihnya para mahasiswa yang berusaha memasuki gedung tersebut meski harus beraksi dorong pagar dengan aparat, menerima lemparan gas air mata yang memedihkan mata, dan menerima guyuran air dari water canon aparat demi memperjuangkan cita-cita reformasi yang hingga kini belum signifikan kemajuannya. Kedua, kami menjadi tamu terhormat dari salah seorang anggota DPD yang membutuhkan jasa kami selaku konsultan.

Cuaca Jakarta cukup cerah ketika kami menyusuri jalan Sudirman dan Gatot Subroto, secerah harapan kami akan imbalan pekerjaan konsultasi yang cukup bernilai bagi kami. Sekitar pukul 11.15 WIB kami beranjak dari kantor dan sekitar pukul 11.45 kami tiba di gedung DPD setelah melewati pintu penjagaan yang berlapis-lapis. Rupanya gedung DPD itu berada di sebelah paling barat dari komplek gedung MPR-DPR, menghadap ke arah barat. Bisa jadi itu adalah gedung baru sejak ditetapkannya DPD pada Pemilu tahun 2004 lalu.

Begitu turun dan memasuki lobby utama, saya langsung mendatangi salah satu petugas protokuler (sekuriti) yang bersiaga di lobby itu (ada empat petugas). Saya mengenalkan diri kemudian memberitahu bahwa kami hendak bertemu dengan Sang anggota DPD. Kami sudah berjanji bertemu pada pukul 12.00 WIB.

Petugas itu —via telepon internal— menyampaikan maksud kami ke sekretariat dan boleh jadi sekretariat yang akan menyampaikan maksud kami itu ke Sang anggota DPD yang sedang mengikuti sidang. Sambil menunggu, saya coba menulis pesan singkat ke Sang anggota DPD klien kami bahwa kami telah menunggu di lobby utama. Saya melakukan itu karena khawatir akan menunggu lama di lobby yang hanya bisa berdiri saja di sana. Tidak lama kemudian, beliau call ke saya meminta saya menuju ke ruangan kerja beliau dan menunggu hingga sidang selesai atau waktu break tiba. Saya bilang kami sedang menunggu konfirmasi dari petugas sekretariat dan belum bisa menuju ke sana sebelum ada izin.

Kemudian beliau meminta agar handphone yang sedang saya gunakan diserahkan ke petugas agar ia berbicara langsung dengannya. Saat saya memberikan handphone —yang masih tersambung dengan Sang anggota DPD— itulah terlihat pemandangan yang cukup membuat saya tersenyum simpul. Begitu tahu yang menelepon adalah anggota DPD yang dikenalnya itu, dia langsung menegakkan badan, membusungkan dada, kemudian secara berulang-ulang terdengar dari lisannya ucapan ‘baik pak’ dan ‘siap pak’ dengan tegas layaknya seorang prajurit yang menerima komando dari sang komandan. Dalam batin saya bergumam, sungguh hebat dan luar biasa petugas itu, meski Sang anggota DPD itu berada di kejauhan tetapi dia mampu bersikap layaknya Sang anggota DPD itu ada di depan matanya. Kepatuhan dan kedisiplinan, ditunjukkannya meski di depan handphone. Bisa dibayangkan bagaimana kepatuhan itu akan ditunjukkan seandainya dia berhadapan langsung. Tentu akan lebih luar biasa.

Meski pemandangan itu sepele, bagi saya ada hikmah yang cukup besar yang bisa dipetik. Setidaknya saya diingatkan tentang adanya sikap yang bertentangan (paradoksal) antara sikap manusia terhadap manusia dan sikap manusia terhadap Rabb-nya.

***

Mampu merasakan kehadiran ‘sang tuan’ yang berada dikejauhan dan meyakini bahwa ‘sang tuan’ itu mengetahui apa yang dilakukannya, menjadikan orang patuh, hormat, dan berusaha melakukan hal terbaik yang bisa dilakukannya. Yah, layaknya petugas protokuler tersebut. Ia membusungkan dada dan berucap gaya militer, padahal ‘sang tuan’ tidak berada di hadapan. Ia juga mampu melayani kami dengan ramah setelah menerima instruksi dari ‘sang tuan’ itu.

Ada berbagai alasan yang bisa menyebabkan demikian. Petugas protokuler itu terikat dengan peraturan untuk melayani setiap anggota DPD dengan sebaik-baiknya. Ini adalah konsekuensi dari status yang disandangnya yang tentu saja sebanding dengan fasilitas yang diperolehnya baik berupa gaji, tunjangan, atau benefit lainnya. Dia bisa saja tidak patuh kepada aturan, namun tentu saja dia harus berhadapan dengan resiko pemecatan dan hilangnya benefit yang menyertainya. Atau secara jangka panjang, kariernya tidak akan bertahan lama.

Saya mendapat pelajaran bahwa seharusnya kita pun bersikap demikian terhadap sang majikan agung kita (Allah SWT). Allah SWT memberikan aturan yang mengikat bagi kita berupa syariah. Seharusnya kita mentaati ketentuan syariah itu dalam kondisi apapun. Adalah ironis, jika kita tetap mengharap supply dan tambahan rezeki dari Allah SWT sementara kita tidak mau (atau bermain-main) mematuhi syariahnya. Allah SWT memang maha pemberi dan penjamin rezeki. Tetapi yakinlah rezeki yang diperoleh dengan semacam itu tidaklah memberi keberkahan dan nilai tambah yang berarti. Analogi terhadap petugas yang tidak taat, dia memang tetap menerima benefit —sebagaimana petugas yang loyal— meski aturan tidak sepenuhnya ditunaikan. Namun demikian, meski sama-sama menerima benefit, tentu dihadapan sang majikan akan memberikan citra dan nuansa yang berbeda. Sang majikan lebih mencintai petugas yang betul-betul taat kepadanya (baik ketika dia ada di hadapan atau tidak) bukan petugas yang hanya berpura-pura taat saja. Konsekuensinya, ia tentu akan lebih memberikan perhatian (kesejahteraan) kepada petugas seperti itu dibanding dengan yang sebaliknya. Ketaatan yang diberikan petugas itu bisa jadi berefek jangka panjang. Boleh jadi ketaatan yang dilakukannya akan berbuah kemuliaan di kemudian harinya. Dia akan selalu dibutuhkan sang majikanandaipunia berpindah tugas. Dan ini adalah investasi untuk kelancaran pekerjaan di kemudian hari.

Kita dihadapan Allah, kadang sulit untuk menciptakan kondisi ketaatan seperti itu, yaitu taat kepada Allah kapanpun dan dalam kondisi apapun. Kita cenderung menyimpang karena merasa tidak ada yang mengawasi kita, tidak ada yang memperhatikan kita, dan tidak ada yang memberi balasan atas ketaatan kita. Padahal jika mau membayangkan kekuasaan Allah, Sungguh, Allah sangat mampu mengawasi segenap makhluknya di alam semesta ini. Tiada selembar daun pun di dunia ini yang jatuh, kecuali Allah mengetahuinya, tiada lintasan hati seorang manusia yang muncul kecuali Allah mengetahuinya, dan tiada pembicaraan dua orang atau lebih dari itu kecuali Allah bersama mereka.

Jika kita mampu merasakan kehadiran Allah ini seperti itu maka itulah yang disebut ihsan, yaitu “engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau.” Dalam sebuah hadits, ihsan digambarkan sebagai derajat tertinggi setelah Islam dan iman. Seorang muslim boleh jadi telah menyatakan syahadat (berIslam), tetapi belum tentu istiqomah menjalankan konsekuensi dari syahadat itu (beriman). Andaikan dia telah berkonsekuen menjalankan segala bentuk ibadah dan amal sholeh, belum tentu semuanya itu dilaksanakan secara ihsan (cara terbaik). Rasulullah Saw mengatakan bahwa Allah mewajibkan ihsan dalam segala urusan. Artinya, ibadah dan amal sholeh pun harus dilaksanakan secara ihsan, yaitu dengan cara terbaik. Ihsan —sebagaimana halnya dengan taqwa— tidak memiliki ambang batas. Hikmahnya tentu untuk memotivasi kita agar saling berlomba di dalam ketaqwaan dan kebaikan.

Cara terbaik hendaknya dilakukan untuk segala hal. Contohnya dalam hal jual beli hewan kurban. Penjual yang ihsan akan berusaha menjual hewan kurban yang terbaik sesuai dengan ketentuan dan syarat yang berlaku bagi hewan kurban. Oleh karenanya, andai penjual tahu ada catat yang tersamar, pasti hewan itu tidak akan dijualnya meskipun ditawar dengan harga yang cukup tinggi. Apa pasal? Karena meski manusia bisa luput dari melihat catat yang secuil itu, tetapi Allah tidak akan pernah luput karena Allah maha mengetahui dan maha melihat akan hal itu.

Demikian halnya ketika hewan kurban ditampung dalam penampungan, mereka akan tetap digembirakan dengan makanan daun-daun yang segar, bukan malah diberikan makanan ala kadarnya sebagai penyambung hidup hingga hari pemotongan. Demikian pula dalam hal penyembelihan, pisau yang digunakan akan betul-betul dipertajam sehingga ketika pisau itu mengenai leher hewan kurban, ia tidak menyakitkan.

Sungguh luar biasa dampak dari ihsan. Ia akan berujung pada suatu kualitas amal yang terbaik (the best) yang berdampak secara signifikan baik bagi pribadi maupun ummat. Secara pribadi, Allah akan memberikan keberkahan dan pahala terbaiknya. Secara keummatan, akan tercipta tatanan masyarakat madani yang dilandasi oleh tingkat profesionalitas dan kejujuran yang tinggi dan semangat yang luar biasa dalam berlomba berbuat kebaikan. Pada ummat yang demikian, tentu tidak ada budaya tipu menipu atau korupsi, tidak ada budaya bermalas-malas, tidak ada budaya gosip dan dengki, apalagi budaya memuaskan diri dengan hawa nafsu tanpa peduli dengan kepentingan lain.

Adalah wajar jika Allah memberi julukan generasi nabi dan sahabat sebagai ummat terbaik. Karena mereka mampu merealisasikan keimanan dengan cara yang terbaik. Sholat dengan cara sholat terbaik, membaca qur’an dengan cara membaca terbaik, sedekah dengan cara sedekah terbaik, dan segala aktivitas ibadah dan amal shaleh lainnya dilakukan dengan cara terbaik.

Semoga kita tidak puas dengan amal-amal yang kita lakukan, sebaliknya kita lebih terdorong untuk senantiasa memperbaharuinya agar menjadi lebih baik, lebih baik dan lebih baik. Hadanallahu waiyyakum ajma’ain. Waallahu’alam.