"’Di… coba lihat, itu yang di depan menawarkan apa…?" Mamah meminta saya untuk memeriksa ketika terdengar seseorang menjajakan sesuatu di depan rumah. Saya pun segera beranjak ke depan, lalu bertanya kepada si bapak di depan, apa yang dijualnya. Setelah itu kembali ke dalam rumah.
"’Mah… Bapak itu menawarkan gula merah."
"Oh, si Bapak yang itu… Beli tiga bungkus," kata Mamah. Mamah sepertinya sudah hapal dengan si bapak penjual itu.
"Mamah, kita kan masih ada gula merah. Kemarin Adi lihat masih ada beberapa bungkus di dapur," ujar saya. Di rumah saya memang memanggil nama diri sendiri ketika bercakap-cakap dengan orang tua.
"Meuli wae, ‘Di, deudeuh… Si Bapak keur panas montereng kieu ngider nawar-nawarkeun daganganna. Meureun can aya nu meuli…" Mamah tetap meminta saya membelinya.*)
Akhirnya meskipun saya masih bertanya-tanya dengan cara berpikir Mamah, saya pun ke depan lagi dan membeli tiga bungkus gula seperti Mamah minta. Mamah juga sempat ke depan dan menyapa si bapak penjual gula, sambil menawarkan air untuk minum. Bapak penjual gula berterima kasih, tapi dia memilih segera pergi untuk kembali menjajakan gulanya.
***
Kejadian di atas tertanam kuat pada benak saya. Perlu beberapa lama untuk menyerap dan memahami dorongan kejiwaan apa yang ada di lubuk hati Mamah, untuk membeli barang yang sebetulnya tidak dibutuhkannya. Pembelian yang semata didasarkan pada rasa kasihan kepada penjual itu.
Saya pernah mendengar Mamah di masa anak-anaknya sudah mesti membantu Abah dan Embah (panggilan saya kepada Kakek dan Nenek yang sekarang sudah tiada) dengan berjualan. Barangkali tempaan kehidupan seperti itu termasuk bagian yang membentuk jiwa yang lembut menyayangi orang lain.
Ah… saya jadi malu. Mungkin secara keilmuan saya lebih tahu daripada Mamah tentang arti al-itsar atau mendahulukan orang lain daripada diri sendiri. Satu kondisi puncak seseorang dalam membuktikan persaudaraan dalam keimanan; Barangkali saya lebih tahu juga sifat Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan tak pernah menolak seseorang yang meminta sesuatu kepada beliau. Kalau perlu beliau membantu dengan meminjam dahulu kepada orang lain. Barangkali juga saya lebih hafal ayat "dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran jiwanya, maka merekalah orang-orang yang beruntung" (QS. al-Hasyr:9). Akan tetapi hikmah itu rupanya lebih dahulu dimiliki Mamah. Ah… ternyata rasionalitas yang ada di kepala saya amat tipis perbedaannya dengan sikap tidak ber-empati kepada orang lain.
Dan sekarang saya masih terus mendidik jiwa untuk semakin meresapi indahnya bersikap dermawan. Sikap ini juga yang coba saya bagi kepada isteri dan anak-anak. Atau mungkin malah isteri saya yang lebih dahulu menangkap hikmah ini dan saya belajar darinya.
***
Sebuah keluarga, seorang ayah, ibu dan empat orang anak, mampir di sebuah rumah makan pada perjalanan pulang mudik lebaran. Suasana pulang mudik mudah terlihat dari isi mobil mereka. Berbagai oleh-oleh dari orang tua memenuhi mobil mulai peuyeum ketan, opak sampai sekarung beras yang dipanen dari sepetak kecil sawah orang tua.
Di tengah suasana makan nampak seorang bapak tua menghampiri meja makan mereka. Bapak itu membawa wadah besi ukuran satu liter yang biasa dipakai para penjual beras di pasar. Bapak itu pun menawarkan berasnya untuk dibeli, seraya menyebutkan kualitas berasnya bagus dan tidah mahal pula.
"Beras Cianjur asli, Pak…?" tanya ayah empat orang anak itu setelah menghentikan suapan-suapan makannya.
"Sumuhun, Cep…," jawab si bapak membenarkan.
"Gimana ‘Bu…?" Si ayah mengalihkan pandangannya kepada isterinya. Si isteri menjawab tatapan mata suaminya dengan penuh pengertian.
"Pak, punten dibungkus lima kilo, nya." Si isteri langsung menyampaikan pesanan pembelian kepada si bapak.
"Hatur nuhun, Neng. Bapak bawa beras dan timbangannya ke sini ya…?" kata bapak penjual beras.
"Teu kedah, Pak. Ditimbang di tempat Bapak aja. Nanti beras yang sudah ditimbangnya dibawa ke sini," giliran si ayah menimpali.
Anak-anak di keluarga itu memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan orang tua mereka. Barangkali di benak mereka ada keheranan, mengapa ayah dan ibu membeli beras, sementara di mobil ada sekarung beras dari kakek mereka…
Chiba, 19 Ramadhan 1427
===
*) "Beli aja, ‘Di, kasihan… Si Bapak sedang panas terik begini ke sana ke mari menawar-nawarkan dagangannya. Mungkin belum ada yang beli…"