Belajar Tawakkal dari Juru Parkir

Malam itu, sebelum berangkat tugas shift di malam hari, Abdul Aziz —karyawan dari sebuah perusahaan pengelola parkir, mampir ke rumah saya bersama adiknya yang baru datang dari kampung. Namanya Budi, tamatan MAN di kecamatan Warung Pring Kabupaten Pemalang.

Ia sedang mencari kerja, dan sambil menunggu pekerjaan yang diharapkannya datang, Aziz sering mengajak adiknya untuk ikut ke kantornya. Selain untuk menemani Azis yang berjaga malam, juga sebagai pembelajaran tentang suasana kehidupan kerja di kota metropolitan ini.

Di rumah saya —sebelum ia berangkat itu, Aziz banyak bercerita seputar kehidupan kerja dan keluarganya. Ia menuturkan bahwa ia sebenarnya hendak dipromosikan menjadi tenaga administrasi di kantornya. Namun ia menolak menjadi petugas yang selalu berada di dalam ruangan itu. Ia lebih memilih menjadi tenaga lapangan, juru parkir, yang melayani langsung para pelanggan. Dengan menjadi juru parkir, maka ia berpeluang menerima tips sebagai penambah gaji bulanannya yang minim.

Soal kebutuhan keluarga, bila hanya mengandalkan gaji, rasanya apa yang ia terima belumlah bisa mencukupi. Tips-tips yang ia peroleh dari pelanggan itulah yang bisa membantu meringankan bebannya sebagai seorang suami/ayah. Dalam aturan perusahaan memang ditegaskan bahwa karyawan tidak diperbolehkan meminta tips kepada pelanggan. Pelanggan pun tidak diwajibkan memberikan tips kepada juru parkir yang melayaninya. Tetapi Aziz berkeyakinan bahwa sedikit banyak para pelanggan pasti ingin memberikan tips kepadanya bila ia memberikan pelayanan terbaiknya. Masyarakat kita ini adalah masyarakat yang mudah membalas budi, demikian pandangan yang disampaikannya. Dengan membantu mendorongkan mobil, memberi petunjuk jalan keluar, mengamankan barang-barang yang tertinggal, atau membantu memasukkan barang-barang ke bagasi, pelanggan pasti tahu balasan yang pantas untuk pelayanan ekstra itu.

Dalam soal makan, Aziz makan seadanya, tidak pernah memaksakan diri memilih menu tertentu diluar kemampuannya. Bagaimana ia menyiasati soal makanan, khususnya makan di kantor, ia memiliki kebiasaan unik dalam membelinya. Ia tidak makan di rumah makan yang bertebaran di Mal itu, tetapi ia selalu memesan makanan kepada Mbakyu penjual makanan yang berada diluar pagar kantornya. Mbakyu itu tidak diperkenankan berjualan di dalam area gedung. Oleh karenanya, ia hanya menempel di pagar dan melayani para pembeli dari balik pagar itu. Fenomena ini agaknya lazim dan banyak dijumpai di beberapa gedung perkantoran di Jakarta. Mbakyu pedagang makanan (dan minuman) itu, cukup jeli menangkap peluang penjualan dari pekerja yang berpenghasilan pas-pasan dan bekerja dibatasi oleh waktu seperti Abdul Aziz itu.

Dalam memesan makanan, Aziz selalu berkata di balik pagar kantornya,

Yu, ini uangnya ada segini. Kasih apa terserah yang penting bisa buat mengganjal perut…

Mbakyu langganannya itu segera mengerti dan mempersiapkan makanan sesuai jumlah uang yang diterimanya. Jika Aziz ingin makan lebih enak, ia pun cukup menambah jumlah uang yang diberikan kepada Mbakyu itu,

Yu, ini saya lebihin uangnya. Tolong enakan sedikit ya..

Tentu yang dimaksud lebih enak adalah menu yang lebih baik. Misal, jika biasanya pakai telur, kini bisa pakai daging ayam. Jika biasanya pakai ikan asin, kini bisa pakai ikan basah goreng. Ya, Mereka sudah sama-sama memahami.

Saya cukup mendapat pelajaran berharga dari cara Aziz memenuhi kebutuhannya itu. Ia tidak berpatokan pada “keinginan” melainkan kepada “kebutuhan”. Jika ia terpaku dengan keinginannya, boleh jadi uang yang dimilikinya tidak sanggup untuk membayar keinginannya itu. Di Mal tempat Aziz bekerja, banyak dijumpai makanan yang enak-enak dan menggoda selera. Namun yang Aziz butuhkan adalah makanan yang cukup bisa memberikan energi dan menyambung kehidupannya, tidak mesti yang mewah. Maka pilihannya pun jatuh kepada pedagang makanan yang murah meriah tersebut.

Seringkali kita menemukan fakta bahwa seseorang yang dari segi finansial memiliki kemampuan yang terbatas, namun di luar dugaan ia mampu menyesaikan masalah yang dihadapinya. Sebagai contoh seorang buruh yang bekerja dengan penghasilan setingkat upah minimum, mampu menafkahi seorang isteri dan dua orang anaknya. Demikian juga dengan seorang bapak yang tidak bekerja tetap, namun ada saja penghasilan yang diperoleh untuk menghidupi isteri dan anaknya. Secara kualitatif tingkat kehidupan mereka memang kurang memadai, seperti makan hanya satu atau dua kali, makan berlaukkan sambal dan tempe/tahu goreng, pakaian ala kadarnya, dan lain-lain. Gaya hidup yang dijalani pun sebanding dengan penghasilan yang diperolehnya itu. Namun yang saya kagum, mereka merasa nyaman, merasa cukup, dan bahagia dalam menjalani hidupnya.

Hal ini bertolak belakang dengan mereka yang memiliki keinginan yang bermacam-macam. Dengan penghasilan memadai pun, tidaklah bakal sanggup memenuhi keinginan manusia itu, terlebih bagi yang memiliki penghasilan ala kadarnya. Orang-orang demikian biasanya selalu diliputi kecemasan dan ketidaktenangan. Ini sudah menjadi sunatullah, bahwa barang siapa yang hidupnya terpaku dengan keinginan hawa nafsunya maka pasti ia tidak akan pernah puas dengan keinginan hawa nafsunya itu. Nabi bersabda, andaikan dua bukit Uhud itu dijadikan emas, pasti manusia masih menginginkan bukit yang lain untuk dijadikan emas. Demikianlah gambaran hawa nafsu manusia yang tidak akan pernah terpuaskan.

Kebanyakan kita adalah tipikal manusia yang seperti ini, memiliki keinginan yang besar dan cenderung memaksakan kehendak kepada Allah, namun secara finansial kita memiliki sumber daya yang terbatas, akibatnya hidup kita gelisah dan selalu uring-uringan.

Belajar dari Abdul Aziz, sang juru parkir, hendaknya kita tidak terlalu memusingkan dengan keinginan hawa nafsu yang kadang melintas di benak pikiran dan memenuhi rongga-rongga hati kita. Jika kita memaksakan diri untuk mengejar keinginan itu, justru kadang ia makin menjauh. Sikap yang terbaik adalah bertawakkal kepada Allah, yaitu berfokus pada ikhtiar dan bekerja semaksimal mungkin, dan menerima hasilnya dengan penuh lapang dada dan ridha kepada-Nya. Insya Allah, rasa kecukupan itu akan Allah berikan kepada kita.

Alangkah baiknya jika kita membenamkan dengan kuat firman Allah berikut ini —yang mana orang sering melupakannya, sebagai pedoman dalam kehidupan kita. Allah berfirman, “Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS 65:3).

Jagalah jarak dengan keinginan-keinginan yang meletup-letup di dalam dada. Dengan tawakkal, Insya Allah, keinginan-keinginan itu dengan sendirinya akan mendekat kepada kita. Wallahua’lam bishshawaab. ([email protected]).