Kamar 32, Hotel Merdeka, Jember, 29 Maret 2009.
Kecipak air di kamar mandi membangunkan saya pagi itu. Suasana masih senyap. Di kejauhan juga belum terdengar aneka suara. Lalu kamar mandi pun terbuka dan Pak Budi keluar dari dalamnya dengan mukanya terguyur air wudhu.
"Sudah Shubuh atau belum ya, Pak Bahtiar?" tanyanya pada saya yang masih meringkuk.
Saya melirik jam. "Belum, Pak," jawab saya. "Mungkin sebentar lagi. Tarhim saja belum."
Pak Budi mengenakan sarung dan kemejanya, lalu berbaring di tempat tidurnya. Tetapi saya tahu, ia tidak hendak tidur lagi.
Saya lalu bangun dan berganti ke kamar mandi, mengambil air wudhu, menggelar selimut sebagai sajadah, lalu shalat dua rakaat. Setelah salam, saya perhatikan lelaki itu seperti hendak bangun, tetapi lalu berbaring lagi. Sesekali berpindah posisi punggung, atau meringkuk. Tetapi saya tahu, matanya tidak terpejam.
Saya lalu menyelesaikan witir.
"Kita ke masjid, Pak?" tanya saya padanya. Tak enak membiarkannya tenggelam dalam kegelisahan seperti ini, sementara mungkin enggan mau bertanya. Saya tahu, beliau adalah salah seorang jamaah paling aktif di masjid kampung di rumah.
Ia berbalik punggung, lalu secepat kilat bangkit dari pembaringan. "Memang ada masjid sekitar sini?" tanyanya dengan senyum di bibir.
"Ya. Ada masjid Jami’. Sekitar 100 meter dari sini, Pak."
"Ayo berangkat, Pak. Daripada terlambat."
Maka kami pun keluar hotel dan pergi ke alun-alun dengan berjalan kaki. Di barat alun-alun itu berdiri masjid Jami’ Jember. Semalam saya sempat melewatinya ketika pergi ke tempat diskusi dengan teman-teman Forum Lingkar Pena (FLP) Jember di dekat kampus Unej.
Lelaki itu begitu cepat melangkah. Setiap kali langkah, seperti ada sesuatu yang mendorongnya untuk segera sampai. Saya tertinggal di belakangnya. Tarhim lalu terdengar dari kejauhan.
"Sudah tarhim, Pak," katanya, kini seperti mengajak saya berlari. Langkah lelaki 57 tahun itu kian cepat. Saya berusaha mengimbangi.
"Ya, Pak. Masjidnya di ujung jalan ini, kok. Insya Allah nggak terlambat."
Jalan raya itu masih sepi. Sesekali ada bapak-bapak tua bersepeda tua melewati kami. Pecinya seperti titik putih bergerak dalam keremangan pagi ketika menjauh. Mereka hendak menuju tujuan yang sama dengan kami.
"Pak Bahtiar," tanya lelaki itu sambil terus berjalan, "Gimana sih supaya tak tertinggal shalat fajar?"
"Kan bisa dikerjakan di rumah, Pak, sebelum kita berangkat ke masjid," kata saya.
"Ya. Saya juga begitu jika di rumah. Soalnya selalu mepet waktunya jika dikerjakan di masjid. Sering begitu datang sudah keburu iqomat. Sayang kan kalau ditinggalkan?"
Saya segera tahu, apa yang membuat teman seperjalanan saya itu gelisah dan bersegera berlari menuju masjid pagi itu.
***
Waktu pertama kali kenal dengannya, sekitar 4 tahunan lalu, saya memperhatikannya sebagai seorang yang grothal-grathul tidak lancar ketika membaca Al-Qur’an di masjid kampung kami. Rupanya ia memang sedang belajar membaca kitab suci itu, dibimbing oleh salah seorang jamaah. Ketika tadarus di malam ramadhan, ia juga tak pernah asben mengantri. Tentu jamaah lain menunggu untuk beberapa lama ketika ia tiba giliran menyelesaikan bacaan satu ruqu’. Ia pun jarang ketinggalan tadarus rutin 1 juz di setiap Ahad malam di luar ramadhan.
Tetapi beberapa bulan kemudian, pada sebuah acara syukuran khataman di masjid, tahulah saya bahwa lelaki itulah yang sedang punya hajat. Bagaimanapun bacaan Qur’annya kini semakin lancar.
Hal yang mendekatkan saya dengan lelaki itu adalah Ponorogo, kota tempat saya dilahirkan dan kota yang rupanya sering ia kunjungi. Ia bisa memetakan dengan baik posisi rumah orang tua saya ketika saya sebutkan nama sebuah jalan dan kelurahannya. Ia bahkan kenal dengan ‘tokoh yang punya kuda tunggangan paling bagus’ di kelurahan saya, yang tak lain mantan Pak Lurah saya.
Dan perjalanan saya dengannya untuk sebuah walimatul ‘urusy ke Jember kali ini membuat saya mengenalnya lebih dekat lagi. Alhamdulillah, yang saya dapatkan darinya kali ini juga sebuah amal kebaikan. Yang saya masih Senin-Kamis menjalankannya.
Pagi itu saya belajar gelisah pada Pak Budi yang sederhana. Gelisah jika tertinggal mengerjakan sebuah kebaikan, padahal hanya berdiri dua rakaat saja. Tetapi jangan salah, yang dua rakaat itu Rasulullah saw. nyatakan timbangannya sungguh jauh lebih baik dibandingkan dunia seisinya.
Wallahu a’lam.
***
Bahtiar HS | http://bahtiarhs.net