Belajar Merdeka dari Fulan

Nama pemberian orang tuanya ada kaitannya dengan syurga. Aku ingin menyebutkannya di sini. Tetapi, ia hanya mengizinkan menulisnya sebagai Si Fulan. Begitu saja. Apa boleh buat.

Aku lebih mengenalnya ketika bergabung di kantor ini tiga belas tahun yang lalu. Ia lebih dulu bergabung. Aku termasuk kloter berikutnya. Tetapi sebenarnya kami satu almamater. Dia kakak angkatanku.

Fulan seorang yang sederhana dengan pemikiran yang sederhana. Mungkin kalimat inilah yang bisa kurangkai untuk menggambarkan personality dirinya. Simple. Dan hal itu tidak saja tercermin dalam kehidupan sosialnya, tetapi juga dalam baris-baris kode program aplikasi yang menjadi tanggungjawabnya. Saking sederhananya, persoalan yang seharusnya rumit sering dikerjakannya secara by-pass, sehingga kadang malah terlalu simple. Kami bahkan sempat menganggapnya “terlalu menggampangkan persoalan”. Sementara ia menyebutnya sebagai upaya “menyederhanakan persoalan.”

Tetapi itulah Fulan. Sederhana. Dan kesederhanaannya juga tercermin pada Tugas Akhir yang dikerjakannya, yang berusaha menyelesaikan problem scheduling awak kabin pesawat yang rumit dengan aplikasi scheduling yang simple.

Ia pasti tak akan mau dibebani dengan assignment yang membuatnya harus berlembur-lembur ria. Ia keberatan diberi pekerjaan yang dirasa terlalu berat. Ia akan menolaknya seketika; satu hal yang rasanya takkan bisa dilakukan oleh karyawan lainnya – dan tentu saja sebenarnya membuat kami iri. Ia sepertinya ingin menjalani hidup ini easy-going saja. Tetapi jawabannya ketika kutanya tentang soal ini sungguh dalam: semua punya hak. Perusahaan, teman, keluarga, tetangga, klien. Juga jiwa dan raga kita.

Namun demikian, ia ramah. Supel kurasa. Banyak kawan. Pria dan wanita. Banyak di antaranya menjadi kawan dekat.

Tetapi semua kesederhanaan itu tiba-tiba berakhir pada suatu hari.

Ia jadi berubah. Drastis. Ia rajin ke masjid pada jam-jam shalat tiba. Ia tak lupa mengajak kami serta. Ia tak lagi membonceng seorang gadis. Kudengar semua hubungan khusus dengan mereka juga telah putus atau diputusnya. Aku tak tahu kepada siapa ia berguru, tetapi kulihat ia rajin mengkaji ilmu agama. Begitu mendapatkan sebuah hadits, ia memegangnya seperti memegang bara api. Haram, ya haram. Titik. Jangankan demikian. Undangan aqiqah saja jika diadakan tidak pada hari ke-7 setelah kelahiran bayi jangan harap akan dihadirinya.

Ia berubah dari yang sederhana, kurasa telah menjadi semakin lebih sederhana lagi.

Perubahan drastis itu mencapai puncaknya ketika sebuah undangan sederhana yang tak disangka-sangka datang darinya. Ia akan menikah di desanya. Dengan seorang yang tak pernah dikenalnya kecuali satu kali saja! Dengan seorang gadis yang diperantarai keluarganya.

Ketika kami memenuhi undangan itu, ia hanya memasang dua tenda sederhana di depan rumah orang tuanya. Berhijab, terpisah antara tamu pria dan wanita. Saking sederhananya, para tamu nyaris tak tahu siapa mempelai prianya. Fulan, temanku itu, kulihat berdandan sebagaimana biasa dan berbaur dengan para tamu laki-lakinya.

Dan sampai dengan pulang, kami tak tahu siapa mempelai wanitanya kecuali sekadar namanya saja.

***

Ketika kami berpisah kantor — ia di tempatkan pada anak perusahaan yang berbeda — kesederhanaannya tak berubah sedikitpun. Aku pernah silaturahmi ke rumahnya di sebuah kampung. Rumah yang sangat sederhana di sebuah gang yang ramai. Ia memang tak berniat mengambil KPR karena alergi dengan bunga bank. Ia tak ingin terikat dengan tanggungan cicilan tiap bulan. Padahal ia manajer produksi di anak perusahaan itu. Jadilah ia membeli sebuah rumah seharga uang cash yang ia punya.

Ia pun menolak mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi di perusahaan, tetapi dengan tanggung jawab lebih intens berinteraksi dengan klien dalam urusan non-teknis. Ia amat benci dengan mark-up, menaikkan harga barang secara tak wajar. Bahkan kedudukannya sebagai manajer produksi rupanya tak juga membuatnya nyaman. Maka begitulah, betapa aku terkejut ketika akhirnya ia memutuskan keluar dari perusahaan.

“Mengapa keluar, Mas?” tanya seorang teman.

“Aku khawatir, gaji yang kuterima mengandung uang yang syubhat,” jawabnya. “Aku tak ingin keluargaku makan dari uang yang tak jelas.”

“Kok syubhat?”

“Bukankah klien kita beragam? Ada yang swasta maupun pemerintah. Mengerjakan proyek di instansi pemerintah atau BUMN sarat dengan proses berbau KKN, bukan? Kita kadang harus mengeluarkan uang yang bukan pada tempatnya. Sering kita harus menghargai sebuah barang atau pekerjaan di luar batas kewajaran. Mark-up.”

“Kalau terpaksa atau kita dalam keadaan dizalimi gimana?”

“Emang tak ada proyek di tempat lain?”

Begitulah ia akhirnya meninggalkan perusahaan itu. Meletakkan jabatannya yang cukup prestise. Melepaskan gaji dan tunjangannya yang relatif tinggi berikut asuransi jiwa dan kesehatan yang ditanggung perusahaan. Menyerahkan mobil dinasnya yang berbensin kantor. Kehilangan deviden dan bonus tahunan. Bahkan ia pun menolak bagian saham perusahaan yang ditawarkan kepadanya asal ia tetap bertahan.

Ia akhirnya bekerja sebagai programmer paruh-waktu di rumah. Ia mengerjakan pesanan program dari perusahaan Amerika, yang didapatnya dari internet. Juga program-program sederhana pesanan perusahaan lokal. Dan ia hanya menerima pesanan yang bisa dikerjakan dengan mudah di rumah, tak menuntut lembur, tak mengganggu waktu ibadah dan silaturahminya di hari Sabtu dan Minggu.

Tetapi rupanya itu pun tak berlangsung lama. Mungkin batasan yang ia tetapkan telah terlanggar pula. Kudengar kemudian ia beralih menjadi pengusaha es krim di depan sekolah dekat rumahnya di Brebek. Sebuah usaha yang bisa ia tutup dan buka kapan saja ia mau. Namun, belum sempat aku mampir ke warung es krimnya, beberapa waktu lalu, ia mengirimiku SMS dan memberitahu bahwa ia kini berjualan es krim di depan sebuah sekolah di Kertosono, kota tempat ia lahir dan dibesarkan. Ia mempekerjakan dua orang karyawan. Ia sendiri menjadi kasir.

Dan inilah yang membuatku iri: jika tak sedang melayani pelanggan, ia berselancar di internet, melanglang buana.

***

Kemerdekaan begitu sederhana didefinisikan, tetapi rumit untuk dicapai dan dirasai. Jika merdeka berarti lepas dari sebuah belenggu, maka selama kita terbelenggu, berarti kita belum sepenuhnya merdeka. Dan belenggu itu, pada kenyataannya, ternyata bukan melulu penjajahan atas sebuah bangsa.

Tak terasa kita hidup dalam “belenggu” ini: pekerjaan, jabatan, masalah. Mungkin mertua, wanita, isteri. Bahkan anak-anak! Ketika kita merasa tertekan karena mereka atau merasa terbebani dengan mereka, saat itu kita belum sepenuhnya merdeka.

Ironisnya, atas nama keterpaksaan, kita rela untuk tak merdeka, mengenakan belenggu dan merantai diri sendiri. Kita tak pernah berontak ketika rasa kemerdekaan kita terenggut. Dan pelajaran tentang kemerdekaan inilah yang kudapat dari Fulan itu. Ia berani melepas belenggu dan keluar dari kungkungan, menceburkan diri di dalam samudera kehidupan sebagai diri sendiri.

Inilah katanya tentang kemerdekaan. “Mengenai kemerdekaan, menurutku sih merdeka itu dilekatkan pada akal. Ada tiga hal yang mendasari perbuatan seseorang: pertama akalnya, kedua keinginannya, dan ketiga keinginan orang lain. Kalau seseorang berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu karena akalnya berarti dia merdeka. Kalau dia berbuat sesuatu karena keinginannya atau keinginan orang lain berarti dia terbelenggu.”

Merdeka. Untuk mendapatkannya memang harus berani berkorban. Harus berani lepas dari belenggu, yang kadang kita nyaman di dalamnya. Dan salah satu yang berani itu adalah Fulan yang kuceritakan ini. Karena itu, barangkali, ketika memberikan komentar atau nasihat, ia merdeka pula. Tanpa tedheng aling-aling.

Mungkin karena itulah, ketika aku bicara soal doa yang tak segera dikabulkan, ia dengan lugas dan simple menjawab, “Mungkin makanan yang kamu makan masih syubhat?”

Aku tertohok. Jangan-jangan… ia benar?

***

Bahtiar HS
http://bahtiarhs.multiply.com