Buah kemuliaan seseorang untuk menunaikan zakatnya secara langsung justru mendapatkan malapetaka. 21 orang yang rata-rata manula tewas terinjak-injak dan kehabisan oksigen sedangkan 16 orang dilarikan ke Rs. terdekat.
Tragedi bermula dari seorang pengusaha burung walet yang berkeinginan menunaikan zakatnya sendiri dilingkungan sekitar disambut hangat beribu-ribu orang.
Antusias orang yang datang bukan hanya sekedar berdagang tapi berharap uang 30 ribu. Hasilnya halaman rumah pengusaha tersebut menjadi lautan manusia. Dikarenakan pembagian tidak di manage dengan baik serta tidak melibatkan aparat setempat menjadikan pembagian tidak berjalan mulus.
Akhirnya mereka menjerit, berteriak meminta pertolongan karena terhimpit, terjatuh hingga terinjak-injak teman sendiri.
Ironisnya tradisi tahunan ini sudah dilakukannya hampir 75 tahun. Padahal pada sebuah wawancara sebuah televisi menyebutkan, tahun sebelumnya di tempat kejadian yang sama seorang anak balita tewas terhimpit warga. Tapi kenapa masih dilakukan kembali?
Apakah informasi tentang lembaga LAZ masih minim didapat atau faktor life style (gaya hidup) masyarakat pedesaan yang masih berkeinginan berzakat secara langsung. Semoga pertanyaan ini harus dijawab pada intitusi LAZ. Tragedi ini menjadi sebuah pelajaran. Sudah seharusnya, fenomena ini diangkat menjadi tragedi kemanusian nasional.
Sebagai antisipasi sudah seharusnya pemerintah memaklumatkan masyarakat untuk menunaikan zakatnya pada lembaga LAZ yang profesional. Nah untuk intitusi LAZ bersegera unjuk kebolehannya. Tunjukan pada masyarakat, bahwa zakat jika dikelolah pada ahlinya hasil optimal. Sadar tidak sadar, intitusi LAZ adalah bicara kesejahteraan.
Bicara kesejahteraan bicara kejujuran. Mengapa tidak!? LAZ adalah organisasi nirlaba organisasi yang di usung nilai-nilai luhur. Mari kita bersama-sama menyikapi persoalan ini, masalah zakat adalah essensi yang wajib di tunaikan. Zakat untuk kesejateraan umat.
Setidaknya meminimalkan kemiskinan di negeri ini. Kemiskinan di negeri ini sudah bagian kehidupan rakyat Indonesia. Sementara pemimpin berlomba-lomba menumpuk kekayaan dan tidak peduli.