Belum lama ini, saya membongkar file-file yang ada di MP4 yang selama ini saya gunakan. Sudah cukup banyak file rekaman suara yang saya simpan di sini.
ukan rekaman suara saya saat bernyanyi tapi suara rekaman wawancara saya dengan beberapa narasumber terkait klien yang sedang ditangani. Sebagian besar saya putar ulang tapi tidak sampai selesai. Beberapa rekaman yang sudah tidak diperlukan lagi segera saya delete agar tidak menambah penuh kapasitas.
Saya terdiam lama ketika mendengarkan sebuah rekaman hasil wawancara saya dengan seorang guru SD di sekolah inklusif sekitar awal tahun 2009. Seorang perempuan paruh baya yang menangani murid kelas satu sebanyak 42 orang dengan tiga orang anak autis di dalamnya. Tanpa guru pendamping atau guru berkebutuhan khusus yang bisa hadir setiap harinya. Kesan saya untuknya: ia begitu menikmati pekerjaannya sebagai pendidik.
Sebelumnya, saya menghampiri Erzam, anak laki-laki berkebutuhan khusus yang didiagnosa autis. Usianya sudah 8 tahun, tapi masih duduk di kelas 1. Tubuhnya kecil, bola matanya selalu bergerak dan tidak fokus, rambutnya tegak lurus, dan kulitnya kering.
Saya mencoba menarik perhatiannya, tapi tentu bukan hal yang mudah untuk menghadapi anak autis, terutama saya yang memang jarang berhadapan dengan kasus autis. Erzam sibuk mengusap-ngusap hidungnya, bertepuk tangan, dan tak menghiraukan teman-teman di sekelilingnya. Saya menyapanya, tapi lagi-lagi saya dicuekin.
Pelan, saya memegang tangannya, tapi masih tetap belum ada respon. Seorang teman kelas Erzam menyodorkan buku dan pensil kepunyaan Erzam pada saya. “Ini, Bu, punyanya Ejam,”, begitu ucap si anak. Saya mengambil pensil dan mencoba menggenggamkannya di tangan Erzam.
Ia mengambil pensil itu lalu memutar-mutar pensil itu di ujung tangannya. Saya menuntun tangannya untuk menuliskan sesuatu sambil bergumam, “Ayo, coba kita nulis nama Erzam yuk..” Tapi hanya beberapa saat, Erzam kembali tidak fokus dan berulang-ulang mengusap hidungnya. Kemudian ia bergumam sendiri, lalu bertepuk tangan.
Tanpa saya sadari, ada butiran hangat menyergap bola mata saya. Tak kuasa saya membayangkan perasaan orang tua yang memiliki anak dengan diagnosa autis, betapa mereka melakukan banyak perjuangan untuk dapat membesarkan dan merawat anaknya.
Haru saya kembali bertumpuk saat berbincang dengan guru kelas Erzam. Betapa seorang anak yang disebut autis menjadi sosok yang menyenangkan bagi guru dan teman-temannya.
“kalau kita bernyanyi di kelas, saya selalu panggil nama Erzam dan minta teman-temannya bertepuk tangan untuknya. Erzam kelihatan senang sekali dan langsung maju ke depan kelas. Anaknya baik, tidak suka mengganggu temannya, tapi saya yang tidak punya waktu untuk memberikan perhatian khusus padanya dari sekian murid saya di kelas ini. ingin sekali saya memberikan perhatian lebih.”
“Apakah teman-teman senang dan bisa menerima kehadiran Erzam, bu?” Tanya itu saya sampaikan mengingat erzam adalah anak berkebutuhan khusus dan belum tentu dapat berkomunikasi dengan baik kepada teman-temannya.
“Oh, teman-temannya senang dengan Erzam, karena dia baik. Walaupun duduk di belakang, tapi tidak ada teman yang menjauhinya. Meskipun memang tidak bisa bermain bersama, tapi anak-anak bisa menerima Erzam.” Saya mengakui hal itu sejak saya lihat beberapa teman Erzam sibuk mencarikan buku dan pensil di dalam tas Erzam saat saya mencarinya. Saya mempercayainya ketika beberapa anak laki-laki dengan lembutnya menyapa pundak dan pipi Erzam sambil tersenyum.
Ibu guru itu melanjutkan ceritanya. “Erzam sebenarnya memiliki kemampuan intelegensi yang baik. Ia bisa menghafal sesuatu dengan cepat bahkan lebih baik dibandingkan teman sekelasnya yang masih belum bisa membaca.” Saat istirahat, saya balik menghampiri Erzam yang berkumpul bersama pengasuh dan adiknya di luar kelas.
Adiknya justru sudah duduk di kelas 2 saat ini. beberapa ibu orang tua murid kelas 1 juga sedang berkumpul sambil menyuapkan makanan pada anaknya. Saya pun ikut duduk melantai bersama mereka. Rupanya ibu-ibu itu senang mencandai Erzam. Mereka bertanya tentang hafalan Erzam dalam kosakata bahasa inggris.
“Erzam mah anaknya pintar, cuma susah aja diajak komunikasi. Dia mah bacanya udah lancar, anak saya masih susah bacanya.” Seorang ibu mengagumi Erzam sambil tersenyum. Ibu-ibu lain cuma tersenyum dan menyapa Erzam.
Dalam hati, saya menghargai orang tua yang sudah dapat menerima sistem inklusif di sekolah, dimana anak-anak mereka yang normal memiliki teman sekelas yang berkebutuhan khusus dan mungkin sedikit berbeda dengan mereka. Karena di luar sana, ada banyak orang tua yang enggan jika anaknya digabungkan dengan anak berkebutuhan khusus seperti autis.
Saya sempat menyeletuk pada Rio, adik Erzam yang kini lebih dulu duduk di kelas 2. “Rio sayang ngga sama kak Erzam?”. Rio menggangguk dan berkata “sayang…” sambil sedikit tersenyum dan mengusap kepala kakaknya. Lagi-lagi hati saya bergemuruh mendengar komentar polos itu.
Wah, saya bahkan masih ingat detil kejadian hari itu, dimana saya mendapat banyak pelajaran dari seorang anak kecil yang didiagnosa autis. Anak yang begitu sulit untuk menjalin komunikasi dengan orang lain, dapat menjadi sosok yang menyenangkan bagi gurunya, teman yang diterima bagi sebayanya, dan disayang oleh adiknya. Betapa keterbatasan yang ia miliki tak mengurangi kuantitas bahagia yang dapat ia bagi kepada orang lain.
Semua orang tumbuh dan berkembang dengan cara yang berbeda dan adalah menjadi tidak tepat bagi kita untuk memaksakan orang lain bersikap, berbuat, dan menilai sesuatu seperti apa yang kita lakukan. Layaknya Erzam, mungkin ia tidak dapat mengikuti ritme kehidupan sosial seperti teman sebayanya, tapi ia punya cara sendiri untuk dicintai orang lain dan melengkungkan senyum bagi orang-orang di sekitarnya.
Kita pun berhak punya cara sendiri untuk menjalani hidup ini dan tentunya tidak perlu egois untuk berharap bahwa orang pun akan berbuat sama seperti kita. Ada banyak cara untuk menjadi bahagia, sama seperti halnya ada banyak cara untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain.
Saya memutuskan untuk tetap menyimpan rekaman wawancara tentang Erzam di MP4 itu. Suatu hari mungkin saya butuh untuk mendengar ulang rekaman itu lagi, supaya saya tetap bisa ingat bahwa kita harus belajar menerima diri kita dan orang lain apa adanya.