Sebagian dari permainan hidup adalah keberhasilan dan kegagalan datang silih berganti. Keduanya hampir setiap saat menguntit hidup kita kapan dan di mana pun. Hampir tidak ada seorang pun yang tidak bertemu muka dengan salah satu dari keduanya.
Pergilirannya hanya soal siapa yang lebih dulu dan belakangan dalam perjumpaan. Mana yang lebih banyak dan lebih sedikit dirasakan. Atau kadarnya yang dimaknai berbeda antara satu orang dengan yang lain.
Banyak orang yang sabar ketika disentuh kegagalan dan menjadi lupa diri di saat keberhasilan diraihnya. Ada pula yang justru menjadi penyabar di saat meraih sukses dan menjadi rapuh seiring dengan kegagalannya.
Sementara tidak sedikit yang sanggup tetap sabar di saat ia mengecap manisnya keberhasilan maupun saat menelan kepahitan hidup karena dihempas keterpurukan nasib. Tinggal satu kemungkinan yang paling rendah kadarnya, yakni orang yang tidak memiliki kesabaran sedikitpun baik saat ia sejahtera dalam keberhasilan maupun saat sengsara dalam “kesialan” nasib.
Mengapa bisa demikian?
Dalam satu perspektif, semuanya kembali pada seberapa besar seseorang memahami keduanya dalam bingkai intensitas keberagamaannya. Apalagi bila diformulasikan dalam dimensi iman yang kadang yazid dan kadang pula yanqush.
Lebih menukik pula, bahwa iman terletak di dasar hati yang dalam bahasa Arab disebut dengan qalb. Qalb makna dasarnya seperti kata para pakar bahasa Arab berarti “bolak-balik”. Makanya menjadi dapat dimengerti mengapa iman kadang gemuk kadang pula kurus, sebagaimana sipat qalb yang tidak konstan.
Soal iman dan kedalaman hati banyak terkait juga soal resistensi. Ada orang yang memiliki resistensi yang sangat sensitif dalam menyikapi segala persoalan, adapula yang biasa-biasa saja bahkan sama sekali tidak memiliki daya respon yang memadai.
Apabila tolok ukurnya adalah iman yang ideal, maka risistensi dan rerspons atau setiap persoalan akan sesuai dengan proporsi sebagaimana agama mengajarkan. Hampir dimafhum, bagi yang beriman, kegagalan dan keberhasilan disikapi sama dalam proporsinya.
Ketika ia sumringah dalam bunga-bunga keberhasilan, ia tidak lupa diri, tidak menepuk dada dan tidak berkacak pinggang. Tidak. Tetapi dimaknainya sebagai sebuah siklus kehidapan yang kapan saja dapat berubah ke arah sebaliknya. Nah, sebelum keberhasilan itu berganti kegagalan dan keterpurukan, seorang muslim segera meresponsnya dengan bersyukur dan memanfaatkan keberhasilannya itu di jalan Tuhan.
Lalu apabila kegagalan tengah menghampirinya, segera ia sadar bahwa ia tengah diuji kadar imannya. Maka responnya semakin mendekat kepada-Nya dengan memohon kesabaran dan ampunan. Dalam konteks ini, pesan Tuhan bahwa “kehidupan dan kematian sebagai sarana ujian siapa yang terbaik amalnya di antara mereka”, benar-benar dibuktikan.
Lain halnya yang terjadi pada si pemilik iman dan hati yang rapuh. Saat mendapat kebahagiaan dia rapuh. Saat kegagalan dialami bahkan lebih rapuh.
Kerapuhan saat keberhasilan ia genggam ditandai dengan antusiasme respon yang merusak. Menjadi lupa diri, menepuk dada dan berkacak pinggang. Seluruh waktunya dibuat pesta. Setiap sisi hidupnya adalah tawa dan kebanggaan.
Dunia seolah-olah milikinya yang utuh. Sampai ia lupa, bahwa pesta pasti berakhir. Ia menjadi jauh dengan kebajikan karena posisi Tuhan telah tergantikan oleh kesenangan dan hawa nafsu.
Ketika kemujuran berada di puncak, maka secara logika tidak akan ada lagi tangga yang mengantarkan siapa pun ke tempat yang lebih tinggi. Tetapi, stag berada di puncak atau turun perlahan atau jatuh terjungkal tragis menyakitkan.
Di saat orang itu terlena dengan kilauan duniawi, ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan tersungkur. Pada saat kehancuran yang tiba-tiba datang menimpanya, membuatnya terbelalak tak percaya. Ketidakpercayaan ini kemudian menggiringnya pada dua kemungkinan respon; kembali pada Tuhan dan menyadari kelalaiannya atau frustasi hilang semangat hidupnya.
Dengan kasat mata dapat diraba, orang yang pertama adalah type orang yang butuh Tuhan di saat kepepet dan dilupakan di saat lapang, entah di balik yang kasat itu. Sedangkan yang kedua adalah manusia tragis, sebab kalau tidak semakin jauh dari Tuhan, kemungkinan “gila” bisa jadi mengakhiri hidupnya dengan cara tercela. Nau’dzubillah.
Pendek kata, kegagalan dan keberhasilan hidup seperti kurikulum belajar. Ada yang menjadi lebih cerdas, biasa saja atau malah tidak sanggup menangkap esensi dari karakter yang hendak dibangunnya. Kegagalan dan keberhasilan sebenarnya hanya bagian dari cara Tuhan untuk menguji siapa di antara manusia yang lulus di medan hidup dalam relasi antara Khaliq dengan makhluk.
Agak sedikit riskan, kalau seorang muslim kalah dalam pertarungan soal gagal-berhasil. Apa yang harus kita katakan bila membaca riwayat Abraham Lincoln (1809–1865) yang non-muslim itu?
Presiden ke-16 Amerika yang memiliki banyak kelemahan dan pribadi yang dikenal sebagai tokoh dengan segudang kegagalan. Lihatlah rekor kegagalannya di bawah ini :
1830 gagal dan bangkrut dalam usaha bisnisnya.
1832 gagal dalam pemilihan wakil rakyat
1834 gagal lagi dalam usaha dagangnya
1835 isterinya sakit ingatan dan meninggal dunia
1835 gagal dalam meraih kursi presiden
1843 gagal meraih kursi kongres
1846 gagal lagi meraih kursi kongres
1849 gagal terpilih menjadi menteri pertahanan
1856 gagal meraih kursi senat
1856 gagal sebagai calon wakil presiden
1858 gagal lagi merebut kursi senat
1860 berhasil menjadi presiden
Seorang muslim harus lebih tegar dibandingkan Lincoln karena imannya mengajarkan keteguhan sebab ia memiliki senjata lengkap untuk bertarung di medan hidup di balik strategi imannya; syukur, sabar, qona’ah dan tawakkal.
Maka bercerminlah jangan semata-mata pada Lincoln, tetapi kepada para Nabi, para siddiqien, syuhada, para sahabat, tabi’in dan salafussalih.
Allahu a’lam.
Ciputat