Jujur saja, saya adalah orang yang tak pandai dalam "ngemong" anak. Bahkan teramat kaku. Melihat bayi atau anak kecil, teman-teman saya langsung beraksi. Dari sekadar mengajak bicara, menyentuh, mencium bahkan meraihnya dari gendongan ibunya dan mulai berlaku seolah-olah itu adalah bayinya sendiri. Mungkin sebagian besar Anda juga begitu. Beda dengan saya. "Oh, ya lucu." Itu saja paling kalimat terpanjang saya saat teman-teman saya bersorak dan gemes pada bayi siapa pun yangmereka lihat. Itu pun juga muka saya nyaris tanpa ekspresi. Datar saja.
Begitu pun terhadap anak-anak kecil usia SD yang banyak tinggal di lingkungan sekitar saya. Saat teman-teman saya pada umumnya "happy" bercengkrama dengan mereka, saya cuek saja. Teman-teman suka menggoda saya dengan, "Ayo dong, uni, sapa mereka." Saya tersenyum sekadarnya dan cepat berlalu. Saya pernah juga dituding anti terhadap anak-anak. Bahkan dikira tidak mau punya anak jika kelak telah menikah. Ada juga teman yang menyuruh saya untuk berlatih "ngemong" anak. Bagi saya itu agak menakutkan dan sangat sulit untuk dilakukan. Saya berdalih, "Itu kan naluri. Nanti kalau sudah punya anak sendiri, akan bisa jugadengan sendirinya."
Semakin bertambah usia dan semakin banyak "tudingan" dan "godaan" nakal dari teman-teman saya, saya gerah juga. Suatu hari, seorang ustadzah TPA meminta saya untuk membantunya mengajar Iqro’ di sebuah TK Al-Qur’an. Katanya sudah tidak ada lagi orang yang bisa dimintai bantuan. Saya amat ragu pada awalnya. Tapi kemudian saya berpikir lagi, mungkin ini bisa menjadi ajang latihan bagi saya untuk bagaimana berlaku terhadap anak-anak. Apalagi ini mengajar Iqro’. Sebuah tugas yang amat mulia dan bergengsi. Jadilah saya tiap Kamis pagi selama satu jammengajar Iqro’ pada sekitar 25 anak-anak berseragam. Saya tak berani mengajar di depan kelas.Maka tugassaya mengajarkan Iqro’ satu persatu.
Beginilah prosesnya, ustadzah itu mengajar di depan kelas. Seorang ibu guru TK, pengajar tetap di sana, memanggil satu persatu anak untuk maju ke hadapan saya. Kemudian saya ajari. Kadang ibu guru lupa memanggil anak berikutnya, sehingga saya berdiam diri saja. Saya tak bisa melakukannya sendiri! Sementara itu saya lihat si ustadzah bercerita di depan kelas dengan amat memikatnya.
Anak-anak itu, ada yang selalu flu sehingga saya yang gampang jijik-an harus belajar menahan diri. Ada yang menolak untuk membaca di mana saya sudah pasti tidak dapat membujuknya. Dia bahkan menolak memandang saya. Ini membuat saya sangat sedih. Ada juga yang cepat sekali belajar dan bersemangat membuat saya ikut bersemangat. Ada yang menatap saya malu-malu dan ragu membuka mulutnya sehingga saya belajar untuk bagaimana menambah percaya dirinya. Ada yang ketakutan karena ternyata lupa pada hurufdi depannya atau ternyata bacaannya salah.
Pertemuan pertama berakhir dengan badan saya gemetar. Pertemuan selanjutnya selalu mengesankan dan penuh pelajaran. Dan pelajaran yang paling besar dan sering adalah belajar sabar. Saya juga belajar berkomunikasi dengan anak. Saya belajar memikat mereka sehingga mereka tidak ingin terburu-buru meninggalkan saya untuk mendengarkan cerita dari ustadzah di depan kelas. Saya berinteraksi dengan kepolosan mereka dan teringat betapa ribuan bahkan mungkin jutaan anak-anak di Indonesia mengamen di perempatan jalan, kekurangan gizi atau bahkan tidak mendapatkan gizi dan pendidikan yang seharusnya. Di antara mereka juga tak sedikit dan tak jarang dijejali dengan kekerasan dan pornoaksi serta pornografi.
Saya pernah hampir menyerah. Tapi sebaris kalimat sang ustadzah muda yang mengajak saya itu cukup menjadi cambuk. "Kalau kita ikhlas, semuamudah saja. Jangan menyerah. Mereka hanyalah anak-anak yang menunggu untuk diwarnai oleh kita atau oleh bukan kita."