Bambu adalah sumber kehidupannya. Hampir setiap hari, Bu Saalih membeli bambu yang dipotong-potong dalam bentuk tabung sepanjang satu meter. Tabung-tabung bambu berpanjang satu meter itu dia bawa pulang, kemudian ia belah-belah menjadi beberapa potongan kecil. Potongan-potongan kecil itu dia belah tipis-tipis membentuk lembar-lembar mirip belahan daun kelapa muda yang biasa dianyam untuk membuat ketupat. Serupa dengan itu, bilahan-bilahan tipis bambu itu dia anyam dan dia rangkai membentuk wadah untuk tempat ikan-ikan basah berukuran kecil. Dalam satu wadah kecil kira-kira bisa menampung 4 hingga 6 ekor ikan. Wadah itu, orang mengenalnya dengan ‘cuek’. Sehingga ikan yang dijual dengan wadah itu pun dikenal dengan ‘ikan cuek’.
Menurut kabar yang saya dengar, ikan-ikan itu berasal dari tempat pelelangan ikan di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa. Beberapa juragan membeli ikan-ikan tersebut. Ikan-ikan itu kemudian diproses dengan cara merebusnya setengah matang dalam sebuah kuali besar. Setelah direbus, lalu didinginkan, kemudian ditempatkan dalam wadah-wadah bambu bernama cuek. Cuek-cuek itu kemudian disusun bertingkat, diikat, lalu dijual ke pasar dengan menggunakan mobil bak terbuka atau becak.
Subhanallah. Dengan perantara ikan-ikan itu, Allah memutar sebagian roda kehidupan dan ekonomi manusia. Banyak tangan yang bekerja dan banyak pihak yang mendapatkan karunia-Nya. Para nelayan, tengkulak, pemilik transportasi, pedagang besar, pemasak, pembuat cuek hingga para penjual yang siap memperdagangkan di berbagai pasar tradisional. Bu Saalih kebagian rezeki dari memproduksi cuek-cuek tersebut.
Suatu ketika isteri saya memergoki Bu Saalih sedang sibuk menganyam bilahan-bilahan bambu di depan rumahnya. Isteri saya, yang sedang berjalan dengan saya, menyapanya dengan ramah,
“Assalamu’alaikum, lagi sibuk Wak?” Sapa isteri yang memanggilnya dengan sebutan ‘Wak’ (artinya kakak dari ibu/bibi).
“Wa’alaikum Salam, biasa nih lagi iseng!”
“Iseng apa kerja, Wak!” Isteri saya mencoba bercanda dan meluruskan ucapannya.
“He..he..Kerja!, Mi. Maklum bisanya cuma gini-gini aja.”
“Alhamdulillah masih bisa kerja, masih bisa bikin cuek, dan masih ada yang mau beli cueknya.”
“he..he..Iya Mi, Alhamdulillah. Biar kecil-kecil namanya juga rezeki. Ya harus disyukuri…” Seringai dan ujarnya membenarkan apa yang dikatakan isteri saya.
Topik pembicaraan kemudian bergeser pada kilas balik orang-orang yang berkeinginan memiliki uang banyak tetapi menempuhnya dengan cara yang tidak dibenarkan. Mencuri, merampok, mencopet, dan aneka bentuk kejahatan lainnya.
Saya jadi teringat dengan kisah seorang teman di sebuah kampung kecil di daerah Surakarta. Dia memiliki orang tua yang berjualan kue gorengan dan kue basah.
Sudah menjadi kebiasaan orang-tuanya, jauh sebelum fajar menyingsing mereka sudah bangun dari tidurnya dan berbelanja bahan-bahan di pasar tradisonal. Ketika fajar sudah menyingsing, mereka sudah sampai di rumah. Dijedai dengan melakukan sholat subuh, mereka mengolah bahan-bahan itu menjadi kue-kue dengan aneka cita rasa. Mereka bahu membahu membanting tulang. Mereka berpeluh keringat, berdaki kotoran dan abu, dan berpanas oleh bakaran kayu di dapur. Ya, masa itu kayu bakar adalah bahan bakar utama untuk memasak. Bukan kompor gas dan elpiji yang relatif tidak membekaskan kotoran dan keringat.
Tatkala matahari terbit, kue-kue itu sudah siap. Sebagian dijaja didepan rumah, sebagian diantar kepada pelanggan, dan sebagian lagi dititipkan pada warung-warung makan di penjuru kampung. Untuk pengantaran, Sang ibu menyiapkan beberapa baskom dan mengisinya dengan kue-kue pilihan. Baskom ditutup dengan kain transparan dan siap diantar ke tempat tujuan.
Ketika itu seorang anaknya yang beranjak ABG, ogah-ogahan ketika Sang ibu menyuruhnya untuk mengantarkan kue-kue yang telah siap.
“Nak, tolong kamu antarkan dulu kue-kue ini sebelum masuk sekolah ya?”
“Ah, Mak. Yang lain aja..”
Dulu, sang anak jarang sekali menolak ketika sang ibu menyuruhnya. Namun kemudian ada sedikit perubahan ketika ia beranjak mulai besar. Sering agak terpaksa dan malas-malasan. Ada apa?
Mungkin karena hormon gengsi sudah mulai menyerang dirinya. Anak-anak ABG memang sering memiliki split personality (kepribadian terpecah) seperti itu. Oleh karenanya, orang tua harus lebih memperhatikan dan mengarahkannya dengan bijak berdasar nilai-nilai kebenaran. Jiwanya masih teramat labil.
Sang ibu waktu itu tidak memahami kompleksitas jiwa yang dialami oleh anak ABG-nya. Ia memahami karena sudah menjadi kecenderungan pada anak-anak seusianya. Mendengar jawaban penolakan anak itu, sang ibu langsung bisa menebak isi hati sang anak.
“Kamu malu ya Nak?” ujar ibunya dengan sedih.
Anak itu pun terdiam. Sang ibu menerawang heran dan prihatin atas perilaku anaknya. Kenapa sang anak tidak menunjukkan rasa baktinya tetapi lebih menunjukkan ego malunya. Seperti berpasrah, sang ibu berujar lirih,
“Anakku..anakku, orang tidak mencuri kok malu!”
***
Dua kisah diatas menyisakan sebuah pelajaran berharga. Bekerja itu adalah mulia. Seberapa besar kemuliaan itu sebanding dengan sedalam apa orang memaknai terminologi bekerja.
Bekerja akan bernilai ‘iseng’ dan tidak berfaedah jika orang memaknai demikian. Sebenarnya Bu Saalih tahu, bahwa dia itu sedang bekerja dan bukannya sedang iseng. Ucapannya itu, barangkali tanda merendahkan diri karena hasil dari pekerjaan itu tidak seberapa menurut dia. Namun demikian, saya melihat seharusnya dia tidak perlu rendah diri dengan pekerjaannya itu dan menyebutnya sebagai pekerjaan iseng (pengisi waktu luang).
Memang jika dinilai dengan uang, hasil dari penjualan cuek yang dibikinnya setiap hati itu nilainya relatif sangat kecil. Mungkin tidak sebanding dengan jerih payah menganyamnya yang menghabiskan waktu seharian. Tetapi kita tidak pernah tahu berapa nilai keberkahan yang terkandung didalamnya. Ya, bisa jadi nilai keberkahannya melebihi dari penghasilan yang besar menurut kaca mata orang.
Bekerja juga akan bernilai ‘merendahkan martabat’ jika orang memaknai demikian. Sang ABG merasa rendah martabatnya jika harus mengantarkan kue-kue dengan seragam sekolahnya. Padahal pada sisi lain, sang ibu melihatnya sebagai hal yang mulia karena tidak bernilai ‘mencuri’. Mencuri adalah bentuk kejahatan yang lazim dilakukan oleh orang-orang, dari zaman dahulu hingga sekarang ini. Oleh karenanya, menjaga diri dari ‘mencuri’ adalah lambang kemuliaan.
Fenomena dalam kasus di atas muncul karena kesalahan paradigma bahwa kemulian seseorang diukur dari seberapa besar harta yang diperoleh dan dimilikinya. Padahal, variabel kemuliaan bukanlah terletak pada apa yang ada digenggaman tetapi apa yang terkandung di dalam hati. Betapa banyak orang yang diberi kelapangan harta, tetapi tidak diberi kelapangan hati. Akibatnya, harta yang dimilinya pun tidak memiliki manfaat yang maksimal bagi diri dan lingkungannya. Betapa banyak juga orang yang tidak diberi kelapangan hati dalam kondisi memiliki harta yang terbatas. Akibatnya, keterbatasan harta menjadikan mereka terjerembab dalam kekufuran.
Fragmen perbincangan dengan Bu Saalih dan kisah ABG di Surakarta tersebut, memberi pelajaran bahwa tidak ada pekerjaan yang bernilai ‘iseng’ atau ‘memalukan’ dalam kehidupan, sepanjang pekerjaan yang dilakukannya adalah halal menurut kaca mata syariat. Justru seharusnya pekerjaan itu menimbulkan kebanggaan. Meski hasilnya tidak seberapa (menurut perhitungan manusia), dengan pekerjaan itu mereka masih bisa bersyukur dan terhindar dari kehinaan. Salah satu bentuk kehinaan itu adalah jika orang harus mencuri atau mengambil harta (hak) orang dengan cara yang batil.
Semoga kita bisa meraih kemuliaan dengan bekerja. Amin.
Wallahua’lam bishshawaab.
[email protected]