Saya mempunyai kawan baru, namanya Fery. Dia seorang laki-laki berumur 17 tahun. Saya mengenalnya seminggu yang lalu. Saat itu dia sedang mangkal di depan masjid kampus dengan gerobak es-nya. Ya, Fery adalah warga baru yang berjualan es asli Banjarnegara. Sebelumnya, memang telah ada tiga orang yang mangkal di depan masjid kampus dengan profesi yang berbeda. Satu tukang koran, satu tukang kunci dan satunya lagi tukang tambal ban. Ketiganya saya kenal baik Nah, kini tambah satu lagi warganya, si Fery itu.
Fery anak yatim piatu, orang tuanya sudah meninggal dunia. Karena tak punya uang untuk sekolah, selepas SMP dia memutuskan untuk bekerja. Awalnya dia menjadi buruh bangunan di Jakarta beberapa bulan. Tapi, katanya hidup di Jakarta itu keras. Belum lagi dia merasa tidak tenang karena ada satu temannya yang selalu iri ketika dia mendapatkan uang dari pekerjaanya itu. Entah apa motif irinya, yang pasti Fery merasa tidak enak saja. Atas alasan itu, dia memutuskan untuk pulang kampung saja. Dan akhirnya dia memutuskan untuk berjualan es.
Dia berjualan es bersama dengan temannya. Satu temannya berjualan di alun-alun kota dengan harga satu gelas es Rp 1.500. Sedangkan dia berjualan di depan masjid kampus dengan harga Rp1000 saja. Maklum, dia mematok harga segitu biar tidak kelihatan mahal soalnya berjualan di sekitar kampus memang mengharuskan semua harga murah meriah. Di bandingkan dengan temannya, tentu penghasilannya lebih kecil. Tapi dia tetap menikmati saja pekerjaanya. Toh, dalam pengakuannya dia tetap bisa mendapatkan penghasilan sehari rata-rata Rp 75 ribu bersih. Hebat kan.
Selain cerita itu, saya juga salut atas obsesinya dalam bekerja.
Ya, menurutku dia telah bekerja dengan cinta.
Dia selalu menikmati pekerjaanya. Dia berangkat pagi dan pulang sekitar jam 4 sore. Dia bekerja, selain untuk menghidupi dirinya sendiri, juga untuk membiayai sekolah adik-adiknya yang masih SD. Selain itu, dia juga menyisihkan uang hasil pekerjaanya untuk memperbaiki rumahnya.
Duh, kadang saya malu juga, Ferry sudah bisa membiayai adik-adiknya sekolah, sementara saya masih belum juga bisa melakukan hal itu. Bahkan untuk hidup sehari-hari saja saya masih sesekali dikirimi oleh kakak saya yang bekerja di Jakarta
Fery, Sungguh mulia ya? Bagi anak-anak seumuran Fery, mungkin saat ini sedang menikmati masa-masa SMU. Bergaul sesama mereka, nonton bioskop, nonton band, main ke Mall dll. Sementara Ferry, harus berjuang berpanasan menunggu pembeli yang kehausan untuk menyeruput esnya demi menghilangkan dahaga. Dan, semuanya itu dia lakukan dengan senang hati, dengan cinta, tanpa banyak keluh kesah. Itu semua bisa saya tangkap ketika saya menyapannya, dia selalu tersenyum pada saya. Barangkali, ada yang malu ketika berjualan es seperti Ferry. Tapi tidak bagi dia. Yang dia tahu, dia mencari uang dengan cara yang halal. Itu saja.
Hari ini kita bercermin pada Fery.
Dia bekerja dengan cinta. Menikmati apa yang dilakukannya, jarang berkeluh kesah. Dia tidak malu bekerja sebagai penjual es karena itu cara halal, jadi tak masalah baginya. Itu semua dilakukannya untuk bisa membahagiakan adik-adiknya, agar tidak putus sekolah seperti dia. Terlepas apa yang dilakukanknya karena himpitan ekonomi, kita tetap perlu untuk bercermin dan belajar darinya.
Untuk kita semua. Apakah sampai saat ini telah menikmati pekerjaan kita. Dan, apakah dengan penghasilan dari pekerjaan kita itu kita telah bisa membantu sesama (keluarga atau orang terdekat). Ataukah, kita bekerja hanya untuk obsesi dan ambisi pribadi kita semata. Saya tak tahu, Anda sendiri yang bisa menjawabnya. (yon’s revolta)
~Snow Man Alone~
Purwokerto 27 September 2006