Terdengar selentingan berita, bahwa seorang ibu dari beberapa orang anak, tertangkap tangan mencuri uang di tas seorang penjual sembako di dekat rumahnya. Berita itu cukup menghebohkan lingkungannya, karena di lingkungan mereka tinggal, mereka bagaikan bersaudara. Hingga satu sama lain sangat memercayai tetangganya.
Setelah peristiwa itu, ibu yang saya sebut saja A ini, mulai banyak tinggal di rumahnya. Rumah tinggalnya bukanlah miliknya. Rumah itu adalah pinjaman dari seorang keluarganya, untuk di tinggali A beserta anak-anaknya. Suaminya bekerja di luar kota, jarang sekali pulang untuk menengok keluarganya. Memang keluarga ini termasuk keluarga pra sejahtera. Bila di bandingkan tetangga kiri kanannya, A termasuk kurang beruntung dari segi materi.
Urusan segi materi memang dirasakan berat olehnya. A pernah cerita kepadaku, bagaimana gaji suaminya yang jauh dari kebutuhan yang diperlukan. Tiga orang anak yang masih bersekolah, satu anak yang kuliah dan satu lagi anak perempuannya telah menikah ( dengan satu anak balitanya ) dan menumpang hidup di keluarganya. Keadaan yang sangat terjepit ini, mungkin membuatnya gelap mata, sehingga melakukan perbuatan tak terpuji. Lingkungan tempatnya tinggal akhirnya membuat jarak, karena sudah tahu bagaimana panjangnya tangan si A ini.
Keadaan si A sangat berat. Suami yang diluar kota, sementara dia harus tetap menyediakan makanan untuk keluarganya di rumah. Padahal seringkali tidak punya bahan yang bisa di olah, sementara anak-anak sudah bernyanyi karena merasa kelaparan. Saya turut prihatin akan keadaan keluarga ini. Pemasukan dan pengeluaran tidak sebanding, hingga timbullah masalah, yang menyangkut urusan perut anak-anaknya.
Sebagai seorang muslim, sebenarnya mencuri itu diharamkan. Tapi untuk urusan darurat masih dibolehkan, seumpama tetangganya yang kaya, tak pernah menyantuni mereka. Tapi hal yang mustahil bila kita masih sehat dan mampu berusaha, masih mengharapkan uluran bantuan orang-lain. Kita di berikan akal dan kekuatan oleh Allah Swt, tentu saja harus digunakan dengan secara maksimal, agar semua kebutuhan kita dapat kita penuhi. Anak-anaknya sudah bisa di harapkan untuk membantunya membuat kue, untuk di titipkan pada warung-warung makanan. Anak terkecilnya pun sudah kelas dua sekolah dasar, jadi tidak ada sebuah halangan untuk memulai usaha mandiri dari rumah.
Tapi begitulah manusia, seringkali ingin jalan pintas. Seperti A ini, dia tidak berusaha menggunakan jumlah anaknya yang banyak tersebut, untuk membuat mereka lebih kreatif dalam mencari nafkah. Padahal bila dia mau, maka mereka mampu memproduksi penganan kecil yang di sukai oleh warga kota kami. Karena banyak warung maupun swalayan siap menerima barang titipan olahan industri rumah tangga.
Ketika saya mengunjunginya beberapa hari yang lalu, saya melihatnya berada di samping rumahnya. Sepertinya dia sangat sibuk. Saya hanya memerhatikannya dari jarak jauh. Rumahnya bersambung ke belakang, dan itu merupakan rumah tambahan yang dijadikan sewaan kamar kost bagi para bujang yang bekerja. Saat A sibuk membuka sebuah wadah yang berisi ikan segar yang telah di potong-potong, maka saya pun menghampirinya.
Si A terlihat sangat kaget dan hampir terloncat dari tempatnya berdiri. Maklum saja dia mengambil dua potong ikan dalam sebuah bungkusan plastik, yang terlihat seperti barang jualan seseorang yang disimpan sementara di samping rumah tersebut.
“Lagi ngapain bu?” Aku menyapanya dengan ramah.
“Ini nah, mau bakar ikan.” Dia pun menunjukkan dua potongan ikan sungai yang telah bersih, yang telah diambilnya dari tempat berwarna biru.
Sepulang dari rumah ibu tersebut, saya pun mengingat kembali bagaimana kami, anak-anak ibu kami, dibesarkan dengan keadaan pra sejahtera pula. Ibuku dan ibunya tersebut memang sama-sama dihimpit oleh ekonomi. Tapi ibuku ternyata berbeda mengajari kami dalam menyikapi hidup kami. Selain harus membiayai tiga anak perempuannya yang semuanya bersekolah, kami juga harus merawat ayah kami yang bertahun-tahun sakit. Kami diajarkan hidup apa adanya dan pantang meminta-minta.
Maka dengan dikomandoi oleh ibuku, kami bertiga saudara perempuan berjualan di rumah, dengan menyediakan makanan anak-anak sekolah. Kebetulan rumah kami memang berdekatan dengan sebuah sekolah swasta, yang dari pagi hingga sore hari selalu banyak berlalu lalang di depan rumah kami. Baik ayah dan ibuku, selalu mengajarkan kami untuk jujur. Bila kami menemukan sebuhah barang atau uang di jalan, maka kami harus mengembalikannya. Mereka telah menanamkan sebuah pemahaman sedari kami kecil, bahwa bila bukan hak kami, jangan pernah untuk memilikinya. Kami pun patuh atas semua wejangannya.
Saat ada waktu luang, maka ibuku memberikan kami pekerjaan tambahan, untuk menjual kue olahannya di sekolah kami. Atau pun membuat kue kering dan makanan ringan lainnya untuk di titipkan di warung dekat rumah kami. Ibu selalu kreatif untuk mencari jalan, agar anak-anaknya tidak kelaparan. Ibuku memang sebuah ibu yang patut kami teladani. Selain sholeha, beliau juga mendisiplinkan kami untuk selalu sholat dan puasa sejak usia dini. Ibuku yang lembut, tak pernah marah kepada orang lain yang menganggapnya hina, karena kemiskinannya. Memang karena ibuku adalah seorang yang dari lahir tak pernah mendapatkan belaian kasih dari ibunya. Ibunya meninggal saat melahirkan adik perempuannya yang turut pula meninggal dalam kandungan.
Kembali pada si A, memang dia kurang mendapat penyiraman rohani. Walaupun di lingkungannya tinggal tetangganya rajin secara rutin mengikuti pengajian. Maka dia tetap saja santai di rumahnya. Beberapa kali di ajak tapi tak pernah hadir. Anaknya yang paling besarpun, yang telah kuliah, juga tak bergeming mengikuti arus perbaikan rohani di lingkungannya. Sungguh, patut disayangkan, karena biasanya seseorang akan terpengaruh oleh aura lingkungannya. Tapi mereka tidak.
Jadi dapat dimaklumi bila si A ini melakukan sebuah kemungkaran, yaitu mengambil hak orang lain dan kemudian di berikan kepada anak-anaknya. Saya sungguh ngeri membayangkan bagaimana jadinya anak-anak yang tumbuh membesar dengan makanan haram yang selalu dijejalkan di perut mereka. Padahal salah satu do’a yang tertolak adalah bila kita memakan barang haram. Naudzubillahi mindzalik.
Si A sebagai orang terdekat anak-anaknya sangat tega, dan mungkin memang tidak tahu efek yang luar biasa yang akan ditimbulkan dari perbuatannya tersebut. Kemalasannya untuk menuntut ilmu membuatnya jahiliyah dan mengambil jalan pintas untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sungguh saya ingin menegur perbuatannya, tapi saya merasakan sebuah dilema karena saya percaya dan yakin, bila seseorang itu shalatnya saja susah, maka biasanya mereka akan menerima semua kritikan dengan sebuah kemurkaan. Untuk saat ini saya belum siap untuk dimurkai olehnya.
Saya sangat beryukur kepada Allah swt. karena telah memberikan kepadaku ibu yang patut saya teladani, untuk saya terapkan pula pada anak-anakku. Untuk memberikan sebuah pelajaran yang berharga kepada generasi penerusku, bahwa kekurangan materi, bukanlah sebuah bencara, tapi harus disikapi dengan usaha dan do’a yang istiqomah, insya Allah. Sang Khalik tidak akan membiarkan hamba-Nya yang selalu memohon pada-Nya.
Urusan perut yang disi dengan makanan haramlah yang merupakan sebuah bencana besar bagi kehidupan di masa mendatang, karena dari makananlah yang membuat darah mengaliri semua pembuluh di tubuh kita dan membentuk daging dan tulang. Semua yang berasal dari makanan haram yang membuat tubuh manusia tumbuh membesar, menjadikan tubuh tersebut adalah tubuh calon penghuni neraka.
Sekali lagi terima kasih ibu, karena engkau telah berusaha maksimal memberikan kami makanan yang kami dapat dari tetesan keringat kami sekeluarga. Makanan yang kami syukuri, karena semuanya adalah halal. Alhamdulillahi robbil ‘alamin.
( Ibuku telah berpulang sebelas tahun yang lalu, semoga Allah Swt. mengampuni semua dosanya dan menerima semua amal kebaikannya. Amin. )
Sengata, 12 September 2009