Menjelang lebaran, hampir setiap anak merasa senang dan antusias menjawab pertanyaan “sudah punya baju baru belum?” atau “baju barunya berapa?”. Maka beragam jawabannya, ada yang bilang cuma punya satu, ada yang dua, bahkan ada yang lebih dari tiga pasang atas bawah. “untuk sholat Idul Fitri satu, untuk pergi ke rumah nenek satu, satu lagi buat lebaran hari kedua,” jelas seorang anak bersemangat. Tak hanya itu, saking semangatnya mereka pun mengungkapkan hal-hal yang sebenarnya tidak ditanya, misalnya harga baju mereka, berapa pasang yang dimiliki kakak atau adiknya, berapa harga baju Ayah dan ibunya, dan dimana mereka berbelanja baju lebaran.
Berbeda dengan Syafiq, putra salah seorang sahabat saya. Ketika pertanyaan yang sama dilontarkan, jawaban yang keluar dari bocah Sembilan tahun ini lumayan membuat kerongkongan tercekat sejenak. “Syafiq nggak mau baju baru, soalnya tahun ini Syafiq puasanya nggak menang…” anak ini mengaku dua hari tidak berpuasa lantaran sakit. Ia menolak dibelikan baju baru oleh Ayahnya, mengingat sang Ayah pernah bilang, “Syafiq akan dibelikan baju baru kalau puasanya menang sebulan penuh”.
Mungkin Ayahnya sekadar memberi motivasi kepada putranya agar bisa menjalankan puasa dengan baik. Boleh jadi maksudnya untuk menjelaskan hakikat “kemenangan” dalam berpuasa, dan makna “baju baru” saat berlebaran. Hanya saja, untuk anak usia seperti Syafiq sang Ayah harus cerdas menggunakan bahasa yang lebih sesuai dan bisa diterima. Maka keluarlah kalimat sederhana dan umum dipakai setiap orang tua yang tengah mengajari dan memberi motivasi anaknya untuk berpuasa. “Kalau puasanya full, akan dibelikan baju baru”. Orang tua yang lain, ada pula yang menjanjikannya dengan sejumlah uang, atau mainan yang diidamkan anaknya.
Ada anak seperti Syafiq yang menolak dibelikan baju baru lantaran ia merasa puasanya tak berhasil. Entah bagaimana cara orang tuanya mendidik anak ini. Tetapi apa yang dikatakan Syafiq ini justru memberi pelajaran berharga kepada siapa saja yang di hari-hari terakhir Ramadhan tengah terlarut dengan hiruk pikuk suasana pusat perbelanjaan, sibuk mencari dan memilih model baju lebaran seperti apa yang akan mereka kenakan di hari raya nanti.
Baju baru di hari raya seolah menjadi salah satu sarat sah berlebaran, tak penting lagi apakah ia benar-benar menjalankan ibadahnya dengan benar dan berhasil meraih kemenangan yang hakiki. Ada yang merasa gagal berlebaran dan malu keluar rumah jika tak memiliki baju lebaran sehelai pun. Ada yang merasa lebarannya tak berkesan hanya karena di hari itu ia tak mengenakan baju baru. Padahal pakaian terbaik yang dikenakan pada hari raya tak berarti harus baru.
Hari raya Idul Fitri tak ubahnya hajatan fashion show terbesar di dunia. Disainer kelas Pasar Tanah Abang sampai Milan Italia ikut ambil bagian. Semua orang jadi modelnya, dari rumah ke lapangan tempat sholat Id dilaksanakan, sampai kembali lagi ke rumah, dan seluruh jalan yang dilalui untuk bersilaturahim ke sanak family adalah panggung catwalk terpanjang di dunia. Di panggung inilah seluruh model berlenggak lenggok bak peragawan dan peragawati yang mencoba menampilkan pakaian terbaiknya. Fakir miskin, anak yatim dan para pengemis adalah penonton di tepi panggung. Sebagian orang saling memuji, sebagian lain justru menertawai karena banyak para model yang dianggap salah kostum, warna tidak cocok dengan warna kulitnya, ketinggalan mode, tak sadar body atau terlalu percaya diri. Ia mengira pakaian yang selama beberapa hari terlihat cantik dikenakan artis idolanya di televisi, akan cantik juga baginya.
Puasa semestinya menjadikan orang-orang yang menjalaninya memiliki pribadi yang baru, bentuk ketaqwaan yang baru hasil gemblengan selama satu bulan penuh. Jika menjalaninya dengan benar dan sungguh-sungguh, maka pribadi taqwa akan terlahir sesuai yang diharapkan. Pribadi yang baru dan benar-benar berbeda dari sebelum Ramadhan, jauh lebih baik dari sebelumnya. Akhir Ramadhan seumpama detik-detik menjelang kelahiran seorang manusia baru di muka bumi. Bolehlah diibaratkan kita ini seperti bayi yang baru lahir ke dunia, bersih dan fitri karena menjadikan Ramadhan sebagai sarana pembersihan diri.
Selama bulan Ramadhan, yang diperbarui adalah keimanannnya, keshalihannya, ketaqwaannya, bukan hanya pakaiannya. Yang dipercantik adalah pribadinya, jiwanya, pikirannya, lisannya, perilakunya, bukan hanya penampilan fisiknya. Sehingga di hari raya, pribadi-pribadi indah dengan jiwa yang mempesona yang kan hadir menghiasi bumi di hari nan fitri. Bukan pribadi-pribadi yang seolah terlihat baru, namun tak ada yang baru di balik pakaian barunya, dibalik dandanan cantiknya, dibalik model rambut barunya, di balik perhiasan barunya. Sama sekali tak ada yang berubah pada pribadinya sebelum dan sesudah Ramadhan, benar-benar yang baru hanya pakaiannya dan segala yang nampak dari luar saja. Alangkah merugilah kita. Wallaahu ‘a’lam (Gaw, semoga benar-benar bisa menjadi manusia baru)
Bayu Gawtama
LifeSharer
SOL – School of Life
085219068581 – 087878771961
twitter:
@bayugawtama
@schoolof_life