Ragil, gadis kecil empat tahun yang tinggal di seberang rumah bertanya kepada ibunya, “Maghrib masih berapa jam lagi bu?” sontak ibunya tertawa geli sekaligus haru mendengar pertanyaan anaknya itu, karena sebenarnya waktu adzan maghrib tinggal beberapa menit lagi. Entah apa yang ada di benak gadis kecil itu, yang pasti anak sekecil itu telah melewati berjam-jam waktu tanpa makan dan minum seperti yang dilakukan orang-orang dewasa yang sudah memiliki kewajiban berpuasa. Sehingga meski waktu maghrib tinggal beberapa menit saja, ia membayangkan betapa waktu maghrib masih terlalu lama. Namun ia tetap bertahan, berjuang menahan lapar dan haus yang dirasanya hingga waktu maghrib tiba nanti.
Puteri kedua saya, Iqna punya cara tersendiri untuk menghilangkan rasa haus. Tentu saja bukan dengan cara minum air, baik terang-terangan atau bersembunyi. Setiap hari di bulan puasa, ia begitu rajin mengamalkan salah satu yang diajarkan, yakni menjaga wudhu. Dengan alasan “menjaga wudhu” itulah ia jadi lebih sering ke kamar mandi untuk berwudhu. Tentu saja saya terharu sekaligus tersenyum-senyum sendiri dengan ulahnya. Beberapa tahun lalu ketika pertama kali ia belajar puasa satu hari penuh, kebiasaannya setiap siang hingga menjelang waktu ashar adalah tidur di lantai dengan bertelanjang dada. Ia menempelkan dada atau punggungnya di lantai yang dingin, itulah caranya berjuang menjaga puasanya hingga waktu maghrib tiba.
Sulung saya punya cerita lain ketika awal menjalankan puasa satu hari penuh, ia senang mengumpulkan makanan untuk berbuka meski waktu maghrib masih jauh. Beberapa makanan sengaja ia masukkan ke dalam lemari es agar terasa segar pada saat berbuka nanti. Hampir setiap jam ia bertanya, “maghrib berapa jam lagi?” atau “sekarang jam berapa?” karena ia tahu ketika sudah jam enam sore itu artinya waktu berbuka. Waktu masih menunjukkan pukul empat sore, ia sudah mondar-mandir ke dapur untuk melihat-lihat makanan yang sudah tersedia. Kadang ia tak sabar untuk menyajikan sendiri makanan berbukanya di meja, meski waktu masih lama ia terus memandangi makanannya. Pergi keluar sebentar, kembali lagi ke dapur untuk memandangi, kemudian pergi lagi. Kadang lama sekali ia memandangi makanannya, namun tak sedikitpun ia memiliki keberanian untuk mencicipi makanannya hingga waktu maghrib tiba meski saat ia sendirian di dapur. Ia tetap berjuang melawan keinginan-keinginan yang tak boleh dilakukan sebelum waktunya.
Pernah saya satu angkot dengan seorang anak usia lima tahun bersama ibunya. Waktu kira-kira pukul tiga sore, anaknya terlihat lemas di pangkuan ibunya. “Kalau nggak kuat, adek buka puasa saja ya…” suara ibunya tak dijawab langsung, hingga ibunya mengulanginya. “Adek buka puasa saja ya? Anak kecil nggak apa-apa kok batal puasa…” Anak lelaki bertubuh gempal itu, masih sambil menyandarkan kepalanya di pangkuan ibunya menjawab, “Ibu aja yang buka, Adek mau puasa, adek masih kuat…” ibunya hanya tersenyum sambil mengusap-usap kepala anaknya itu.
Anak-anak yang baru belajar puasa, atau yang sudah menjalaninya beberapa tahun selalu punya cerita menarik dalam menjalankannya. Meski banyak kelucuan dan rasa iba saat memandangi wajah-wajah mereka ketika berpuasa, namun sesungguhnya mereka tengah memberi pelajaran berharga kepada kita orang dewasa, tentang sebuah perjuangan. Yang dipahami anak-anak dalam berpuasa memang baru sebatas tidak makan dan minum di waktu yang telah ditentukan. Bangun sahur buat mereka adalah perjuangan luar biasa, namun menahan rasa lapar dan haus jauh lebih luar biasa bagi mereka. Mereka berjuang untuk membuktikan bahwa mereka mampu bertahan, ada juga yang sekadar tidak ingin dibilang “anak kecil”.
Anak-anak begitu konsisten berjuang sampai waktu maghrib tiba, tak berani berbuat curang dengan sembunyi-sembunyi makan atau minum, kemudian berpura-pura puasa di depan orang lain. Sementara saya banyak melihat orang-orang dewasa seenaknya makan dan minum di siang hari, kemudian sore di rumah berpura-pura terlihat lemas seperti orang puasa. Anak-anak berjuang terus bertahan dengan rasa lapar dan hausnya, walau kadang tak tahu sampai kapan ia harus berpuasa, mereka hanya tahu waktu berbuka saat adzan maghrib tiba atau ketika orang-orang dewasa berbuka puasa.
Anak-anak hanya berani sebatas memandangi makanan untuk berbuka, tidak sampai mencicipi atau bahkan menikmatinya. Justru kadang orang dewasalah yang “menggodanya” untuk menyerah pada perjuangannya. Kalimat “anak kecil nggak apa-apa kok batal puasa” mungkin bukan cara yang tepat untuk seorang pejuang kecil yang tengah membuktikan bahwa dirinya mampu. Saya pun teringat, ketika kecil pernah menemani Bibi berbelanja, kemudian diajak minum es cendol di siang hari saat puasa. “Sekarang minum saja, terus puasa lagi…” ah sebuah pembelajaran di masa kecil yang tak pernah terlupakan.
Puasa memang mengajarkan banyak hal, memberikan jutaan hikmah kepada sesiapa saja yang bersungguh-sungguh menjalaninya. Para pejuang kecil di sekitar kita, sebenarnya tengah memberi satu pelajaran berharga kepada kita yang dewasa, tentang arti perjuangan, tentang bagaimana bertahan menghadapi tantangan meski tak sedikit godaan menyertai. Bahwa seberat apapun cobaan, selalu akan ada akhirnya dan selalu bisa dijalani jika kita bersungguh-sungguh dan sabar. Juga tentang keindahan yang kan kita rasakan di ujung kesabaran yang mampu kita jalani.
Seorang pejuang kecil yang lain menutup hikmah perjuangan ini dengan kalimat yang manis. “Kakak boleh kok kalau mau puasa setengah hari…” kata ibunya. Kemudian ia menjawab, “buka puasa bareng-bareng saja waktu maghrib nanti, pasti lebih nikmat”. Hmm, sungguh pejuang kecil yang menyadari nikmatnya menyelesaikan perjuangan sampai akhir. (Gaw)
Bayu Gawtama
LifeSharer
SOL – School of Life
085219068581 – 087878771961
twitter:
@bayugawtama
@schoolof_life