Seorang nahkoda dan awak kapalnya tidak bisa dikatakan tangguh dan hebat tanpa melalui ombak atau mungkin angin besar di tengah lautan yang terbentang luas. Begitu juga dengan sebuah rumah tangga.
Pada Desember 2013 adalah bulan yang sangat saya tunggu-tunggu bersama suami, kami menunggu buah hati kami lahir di dunia setelah 1 tahun 7 bulan kami menikah. Sebelumnya, saat 3 bulan setelah menikah saya pernah hamil namun janin tidak berkembang, hanya bertahan 8 minggu saja.
Kami senang karena akhirnya Allah menitipkan cabang bayi di rahim saya.
Selama 9 bulan lebih mengandung, tidak ada masalah dengan cabang bayi kami, kami selalu kontrol setiap bulan dan Alhamdulillah semua sehat.
Sampai tiba waktunya. Jumat pagi keluar tanda bahwa saya akan melahirkan, saya berniat untuk melahirkan secara normal karena kondisi saya dan bayi sehat menurut dokter. Menunggu pembukaan demi pembukaaan, sampai sabtu pagi saya berada diatas ranjang persalinan. Melewati proses persalinan normal yang sakitnya Subhanallah tidak ada bandingannya. Namun bayi saya tak kunjung keluar padahal segenap tenaga telah saya kerahkan. Kejadiannya begitu cepat, dokter mengecek denyut jantung bayi dengan alatnya, waktu itu seketika denyut jantung bayi saya sulit ditemukan. Dari yang awalnya normal kemudian denyut jantung bayi saya melemah. Dokter pun memutuskan untuk operasi caesar segera.
Setelah tersadar dari tidur yang singkat-pada waktu itu dokter memberi saya obat tidur saat operasi caesar berlangsung-, saya melihat disekeliling dan tak sabar untuk melihat buah hati kami, namun perawat berkata bayi saya berada di ruang ICU, tak ada kekhawatiran, yang saya rasakan saat itu bahagia meskipun saya belum bertemu dengan bayi saya. Sampai akhirnya suami saya menangis dan berkata bahwa bayi saya meninggal dunia karena terdapat kelainan jantung yang tidak terdeteksi selama saya hamil.
Innalillaahiiwainailaihiroji’
Saya melihat bayi saya untuk pertama dan terakhir kalinya karena akan segera dimakamkan. Tidak sempat menggendongnya, melihat wajahnya secara utuh, apalagi mengantarnya ke pemakaman. Saya hanya bisa menangis dan tak mampu berbuat apa-apa.
Tak mudah bangkit dari semua ini, saya selalu menangis apabila melihat bayi di TV, apabila ada teman yang melahirkan, apalagi saat teringat dengan masa-masa kehamilan dan melahirkan.
Sampai akhirnya datang teman dari suami saya untuk menjenguk kami. Perkataannya yang sungguh menenangkan hati, beliau berkata “salah jika orang menilai ini “belum rejeki atau belum dipercaya”, bayi yang masih suci lalu meninggal dunia adalah anugerah dari Allah, karena dia akan menolong kedua orang tuanya di akhirat dan menunggu di surga”.
Saat itu saya bertekad untuk bangkit dari kesedihan ini, tak perlu ada pertanyaan mengapa semua ini terjadi dalam rumah tangga kami. Tugas saya adalah bersabar dan ikhlas dengan pelajaran kehidupan ini. Saya menjejali pikiran saya dengan pikiran-pikiran yang husnudzon. Saya yakin Allah memiliki rencana besar yang indah untuk kami. Dan pasti ada hikmah dibalik semua yang kami lewati. Semoga kelak Allah menitipkan kembali cabang bayi di rahim saya, terlahir dengan selamat dan sehat tanpa kurang suatu apapun.
Saya tidak akan putus asa karena Allah tidak menyukai umatNya yang berputus asa. Aamiin Allohumma Aamiin Ya Alloh Ya Robbal’aalamiin.
Dwi Wulan – Bekasi