Di sebuah perusahaan ternama yang dikepalai oleh seorang direktur non-muslim bermulalah cerita ini.
Rasyid-nama samaran- bekerja di perusahaan itu baru beberapa bulan. Walau pendatang baru, tapi ia sudah dikenal luas di lingkungan perusahaan tersebut. Hal itu karena sikap dan interaksinya yang selalu memukau dan penuh simpati dengan para karyawan.
Pada suatu hari, direktur perusahaan memintanya untuk datang ke kantornya. Katanya ada urusan penting yang ingin dibicarakan. Rasyid agak heran, tidak biasanya bosnya bersikap ramah pada karyawan. Pak Regan-nama samaran-, sang direktur adalah tipe orang yang suka emosian. Ibarat gunung berapi, kemarahannya sering meledak dan meletus tanpa diduga-duga. Sedikit-sedikit marah. Kalau bukan karena sulitnya lapangan kerja, mungkin sudah banyak karyawan yang hengkang dari perusahaan milik Pak Regan.
Pak Regan mempersilahkan Rasyid masuk. Senyum di bibirnya kali ini mengembang tulus. Biasanya kalau senyum Pak Regan terkesan kurang ikhlas, nampak sekali dipaksakan. Tapi kali ini, Rasyid merasakan bahwa senyuman itu betul-betul keluar dari relung hati.
Tanpa basa-basi, seperti kebiasaannya Pak Regan memulai pembicaraan.
"Rasyid, saya iri pada kamu, saya tidak sebahagia kamu."
Rasyid agak heran, sedikit mengernyitkan keningnya.
"Ma`af, maksud Bapak?"
"Kamu tahu, saya orang kaya. Saya punya banyak perusahaan, semuanya dibawah pengelolaan saya. Saya punya istri cantik. Anak-anak saya semuanya telah sukses. Rumah saya sangat mewah. Saya punya banyak mobil mewah. Ya, semua kesenangan dunia ada dalam genggaman saya. Semuanya telah saya dapatkan. Tapi, saya masih merasa belum cukup, masih ada yang kurang dari diri saya, saya ingin sekali mendapatkannya, tapi saya tidak tahu dimana dan bagaimana meraihnya."
"Apakah yang bapak maksud?"
"Saya ingin mendapatkan kebahagiaan. Apa yang saya miliki tidak membuat saya bahagia. Saya merasa hidup saya tidak punya arti. Saya merasa hidup saya hampa, tidak punya arah. Saya merasa orang paling sengsara di dunia ini. Ingin rasanya saya menyudahi hidup saya dari muka bumi ini."
"Rasyid, sebenarnya saya iri padamu, iri pada keceriaan yang selalu mengembang di raut mukamu. Saya iri dengan senyuman yang tidak pernah bosan di wajahmu. Saya iri dengan kebahagiaan yang selalu menemani hari-harimu."
"Saya heran, saya yang kaya dan punya segala-galanya ini mestinya lebih pantas selalu ceria, tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Sedangkan kamu yang kerjanya rendahan dan gaji yang pas-pasan bisa setiap hari tersenyum."
"Saya ingin tahu apa resep yang kamu punya?"
"Pak, saya tidak punya resep apa-apa, saya hanya mengamalkan hadits yang diajarkan oleh Nabi saya, hanya itu."
"Apakah hadits yang diajarkan Nabimu itu?"
"Sebuah hadits Pak, bunyinya, "Sungguh mengagumkan perkara orang yang beriman, sesungguhnya seluruh perkaranya adalah kebaikan dan tidaklah kebaikan itu kecuali bagi orang yang beriman; Apabila ia mendapat kesenangan ia bersyukur dan syukur itu menjadi kebaikan baginya dan apabila ia mendapat kesusahan, ia bersabar dan sabar itu menjadi kebaikan baginya."
"Jadi orang mukmin setiap hari bahagia?"
"Iya Pak, begitulah seharusnya. Tidak ada yang perlu dirisaukan, ditakutkan dan disedihkan dalam hidup ini. Hidup kita di dunia tak lepas dari dua hal itu, senang dan susah, tatkala senang bersyukur dan ketika dilanda kesusahan bersabar."
"Kalau begitu, bolehkah saya masuk Islam agar saya juga merasakan kebahagiaan seperti yang kamu rasakan?"
"Dengan senang hati dan bersyukur pada Allah SWT, saya menyambut baik keinginan Bapak."
Singkat cerita, usai shalat Jum`at Pak Regan diminta tampil ke depan untuk mengumumkan keislamannya di hadapan ratusan jemaah Jum`at di sebuah mesjid yang letaknya tidak jauh dari perusahaan milik Pak Regan. Ustadz Jamal-bukan nama sebenarnya- yang bertindak selaku khatib saat itu menuntun Pak Regan membaca dua kalimat syahadat. Usai membaca dua kalimat syahadat, jemaah Jum`at saling berebut maju ke depan menyalami Pak Regan yang telah menjadi muallaf tersebut. Namun Ustadz Jamal meminta jema`ah bersabar, karena setelah mengucapkan dua kalimat syahadat tangis Pak Regan tumpah bagai air bah, ia menangis sejadi-jadinya. "Tunggulah sampai Pak Regan selesai menangis," kata Ustadz Jamal pada jemaah mesjid.
Setelah tangisnya reda, Ustadz Jamal bertanya pada Pak Regan,
"Ma`af, kalau boleh kami tahu, kenapa anda tadi menangis?"
"Pak Regan berkata, "Sungguh hari ini saya merasakan kebahagiaan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya sejak saya dilahirkan ke dunia ini, hati saya begitu terasa damai, tenang, tentram dan bahagia. Allah SWT telah memasukkan cahaya hidayah Islam kedalam hati saya."
Sejak hari itu Pak Regan berubah total. Hidupnya penuh bahagia, apalagi anak-anak dan istrinya menyambut baik keislamannya. Di kantor, Pak Regan lebih tenang, lembut, penuh kasih sayang pada para karyawan dan selalu nampak ceria. Kebiasaan emosi dan suka bentak-bentaknya telah hilang bagai ditelan bumi.
(Kisah di atas di ambil dari ceramah syekh Nabil `Awadhi yang berjudul Qishashun wa `Ibarun, dengan sedikit penambahan ilustrasi)
***
Setiap orang mendambakan hidup bahagia, tenang, damai dan tentram. Hidup yang selalu penuh dengan keceriaan dan cerita-cerita indah. Namun, setiap orang punya persepsi yang berbeda tentang kebahagiaan. Bagi sebagian orang, kebahagiaan adalah bisa menikah dengan seorang wanita yang cantik atau lelaki kaya dan tampan. Yang lain, kebahagiaan baginya adalah bila sudah punya mobil mewah, rumah megah, anak banyak, jabatan tinggi, terkenal, gaji besar, bekerja di sebuah perusahaan besar, jadi direktur, tercapai cita-cita hidup, jadi bintang film, jadi artis terkenal, punya uang banyak dan lain sebagainya.
Namun kebahagiaan yang bersifat duniawi dan materi hanyalah sangat sementara dan tidak seutuhnya. Kebahagiaan yang sebenarnya semu. Dunia dan segala isinya bukanlah lahan yang cocok untuk hati orang-orang yang mencintai akhirat. Manusia akhirat tidak melihat dunia melainkan persinggahan sementara menuju kehidupan akhirat yang kekal. Sehingga mereka tidak terlalu sibuk atau bahkan main cakar dan hantam sana-sini untuk memperebutkan dunia yang fana ini.
Dari sinilah bermula mengenal hakikat sesuatu, hakikat kehidupan sesungguhnya, hakikat yang akan mengantarkan kita pada sikap yang tepat dalam menjalani kehidupan yang sementara ini. Sehingga kita bisa secara maksimal mengarahkan tenaga, waktu, pikiran dan harta untuk perkara yang jelas untung dan ruginya.
Salam dari Kairo,
Mohon doanya, lagi ujian di Univ. Al-Azhar, terima kasih.