Suatu hari, saat mentadabburkan beberapa ayat Qur’an, tiba-tiba ustadz bertanya pada jamaah yang hadir : Pernahkah melihat bangkai manusia berjalan? Para hadirinpun kaget dan serentak menjawab : Belum pernah ustadz… Nah, kalau mau melihat bangkai manusia berjalan, saya akan tunjukkan dan akan perlihatkan bagaimana bangkai-bangkai manusia berseliweran di mana-mana. Jumlahnya banyak sekali. Lebih banyak dari manusia yang hidup. Bentuknyapun sangat beragam. Begitu pula aromanya, ada yang busuk dan ada yang busuk sekali.
Mendengar tantangan tersebut para hadirin mulai berbisik-bisik antara satau sama lain karena sangat penasaran. Mereka tidak sabar dan ingin segera melihat bangkai-bangkai manusia yang berjalan itu. Di antara mereka ada yang berkata : Ustadz jangan bercanda dong? Masa ada bangkai manusia yang berjalan?
Setahu saya manusia yang sudah mati itu tidak bisa berkata, apalagi berjalan. Mandi dimandikan. Berpakaian harus dipakaikan. Shalat juga sudah tidak bisa dan bahkan wajib dishalatkan. Kalau orang mati itu bisa berjalan, tidak perlu kita yang hidup ini repot-repot mengantarkannya ke kuburan. Mana mungkin ustadz, katanya sambil mengkerutkan dahinya yang terlihat bekas sujud itu.
Saya tidak bercanda loh, kata sang ustadz. Kalau hadirin serius, saya akan perlihatkan saat ini juga. Tapi, saya minta satu syarat yang harus dipenuhi. Syaratnya mudah saja dan tak sulit. Bahkan gratis lagi, alias tidak perlu keluar biaya apa-apa.
Mereka bertanya : Apa syaratnya ustadz? Syaratnya ialah, hadirin harus pakai kacamata Qur’an. Agar kacamata Qur’an itu efektif dan bisa memperlihatkan bangkai-bangkai manusia yang berjalan itu, maka pikiran, hati dan perasaan harus dibuka selebar-lebarnya dan sejujurnya untuk menerima kebenaran setiap kata, nilai, pelajaran, perintah, larangan dan apa saja yang dijelaskan Qur’an. Baik ustadz, kata mereka.
Sang ustadz melanjutkan : Mari semua konsentrasi kita ditujukan pada ayat 122 surat Al-An’am yang baru saja kita baca. Allah berfirman :
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Apakah sama orang yang mati, lalu Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya (Qur’an) yang ia bawa berjalan di tengah manusia, dengan orang yang berada dalam berbagai kegelapan di mana ia tidak bisa keluar darinya (kegelapan-kegelapan itu). Demikianlah, diperlihatkan baik pada orang-orang kafir itu apa saja yang mereka lakukan.
Melalui kacamata Qur’an ayat 122 surat Al-An’am ini, kita bisa melihat bahwa orang-orang yang tidak mau menerima kebenaran Qur’an, atau menerima kebenarannya tapi tidak mengamalkan kandungannya dalam kehidupan dunia ini serta tidak mau menyebarkannya di tengah masyarakat sesuai profesi, mereka adalah orang-orang yang mati, alias bangkai-bangkai yang berjalan, kendati secara lahiriah mereka hidup, bekerja, melakukan sidang di parlemen, rapat kabinet, meeting bisnis, sekolah, berkumpul di rumah bersama istri dan anak-anak, belanja di pasar dan seterusnya.
Bukan hanya sampai di situ, menurut kacamata Qur’an, mereka hidup dalam berbagai kegelapan yang berlapis-lapis, sehingga semua aktivitas hidupnya bagaikan fatamorgana, dan selalu dalam keadaan bingung, meraba-raba dan hidup tak jelas tujuan. (QS. An-Nur : 39 – 40)
Sebaliknya, orang-orang yang menerima kebenaran Qur’an dengan semua kandungan dan isinya kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun dia berada, apapun profesinya, Qur’anlah yang menjadi petunjuk hidupnya, maka mereka adalah orang yang benar-benar hidup.
Bukan hanya itu, hidupnya dalam cahaya Allah yang terang benderang, sehingga semua aktivitas hidup yang dijalankannya bernilai tinggi dan tidak ada yang sia-sia, apalagi keliru dan tersesat. Dengan demikian, hidupnya menjadi produktif, pemanfaatan waktunya sangat baik dan tidak ada yang digunakan untuk perkara yang sia-sia, apalagi yang haram.
Pertanyaannya kemudian adalah : Berapa banyak sih manusia yang berjumlah 6 milyar yang hidup di atas bumi saat ini yang meyakini kebenaran Qur’an? Menurut data terakhir, hanya 1.3 milyar yang mengakui kebenaran Qur’an, alias Muslim, atau sekitar 21,6 % saja. Sedangkan 200 juta atau sekitar 15,38 % ada di Indonesia.
Dari 200 juta yang mengakui kebenaran Al-Qur’an di Indonesia, berapa persen yang bisa baca Qur’an? Berapa yang benar-benar mengimani Qur’an sebagai dusturul hayah (landasan hukum dalam kehidupan)? Berapa persen dari mereka yang membaca Qur’an setiap hari? Berapa pula mereka yang memahami isi Qur’an? Berapa yang sudah mengamalkan kendati sebagian kandungan Qur’an? Berapa yang mengamalkan semua petunjuk Qur’an dalam semua aspek kehidupan?
Berapa persen yang meyakini, membaca setiap hari, mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain, minimal kepada anak-anak dan istri mereka? Dan berapa persen yang memperjuangkan Qur’an sebagai dustur ul hayah(landasan hukum dalam kehidupan), khususnya sebagai dustur daulah (sistem negara)?
Menurut data terakhir pemilu 2009 lalu, 4 partai yang berdasarkan Islam, hanya mendapat sekitar 15 % suara pemilih yang jumlahnya sekitar 100 juta. Artinya, kalau angka ini yang kita jadikan acuan hitungan, berarti hanya sekitar 15 juta manusia di Indonesia ini yang berkeinginan menjadikan Qur’an sebagai dusturul hayah (landasan hidup).
Dengan kata lain, hanya sekitar 7.5 % dari penduduk Muslim Indonesia yang berminat menjadikan Qur’an sebagai landasan hukum dalam kehidupan di dunia ini. Kalau ditambah dengan yang tidak ikut pemulu 2009, katakanlah sekita 5 % (10 juta), maka total umat Islam yang berminat menjadikan Qur’an sebagai landasan hidup hanya sekitar 12,5 %, atau sekitar 25 juta saja.
Asumsi angka tersebut di atas baru terkait dengan minat umat Islam untuk menjadikan Qur’an sebagai landasan hukum dalam kehidupan. Sedangkan minat saja belum cukup dan harus diimplementasikan. Kalau kita lihat filosofi hidup, paradigma berfikir, program kerja, gaya hidup, sistem politik, ekonomi, perundang-undangan, pertahanan keamanan, pendidikan, budaya, pelayanan sosial yang dijalankan, khususnya oleh 7.5 % yang memakai baju Islam dalam politik praktis mereka sejak era reformasi 12 tahun belakangan ini, maka sama sekali tidak memperlihatkan keinginan mereka mejadikan Qur’an sebagai dusturul hayah (landasan hidup), apalagi dustur daulah (landasan hukum negara).
Hampir satu katapun tak terlihat dan terucap himbauan kepada pemerintah dan umat untuk kembali kepada Qur’an sebagai satu-satunya jalan keluar dari berbagai krisis yang sedang melilit negeri ini, apalagi melakukan Qur’anisasi sistem dan peraturan pemerintahan. Kalaupun tidak berupa himbauan, dalam bentuk keteladanan hidup dan berpolitikpun tidak tampak sebagai orang yang meyakini dan membawa cahaya Qur’an di tengah-tengah masyarakat.
Sebab itu, keributan 100 hari pemerintahan SBY-Boediono sejatinya tak perlu ada, khususnya bagi mereka yang menggunakan kacamata Qur’an. Jangankan 100 hari, 1,000 tahunpun tidak akan ada perubahan dan perbaikan, karena menurut kacamata Qur’an, orang-orang yang tidak beriman kepada Qur’a, atau beriman tapi tidak mau menjadikan Qur’an sebagai cahaya yang menerangi kehidupan di dunia ini, ibarat orang-orang yang mati dan berada dalam berbagai kegelapan.
Orang-orang seperti ini mustahil mampu keluar dari berbagai permasalahan yang dihadapi, apalagi mengeluarkan orang lain dari berbagai permasalah hidup ini. Amal perbuatan mereka bagaikan fatamorgana, tersesat dan tidak akan pernah medapat jalan keluar, khususnya keluar meraih keridhaan, keberkahan dan rahmat Allah. Ajaibnya, mereka mengiranya sedang berbuat baik dan yang terbaik untuk kehidupan. (QS.Al-kahfi : 103 – 105)
Nah, jamaah sekalian… Kalau kita mau hidup dan di dalam kehidupan ini ada cahaya Allah yang menerangi perjalanan dan aktivitas hidup kita, maka yakinilah Qur’an itu sebagai dustrul hayah dan dustur daulah. Sebagai bukti orang yang hidup, bawa cahaya itu ke tengah masyarakat di mana kita tinggal bersama mereka, apapun profesi kita serta apapun resikonya.
Karena untuk bisa menjadi orang-orang yang hidup dan mendapatkan cahaya Qur’an tidak cukup hanya slogan dan klaim belaka. Kita harus memulainya dari diri sendiri, kemudian diteruskan di rumah tangga, masyarakat dan sampai ke Negara. Itulah satu-satunya cara agar kita bisa hidup dan tidak menjadi bangkai-bangkai yang berjalan di atas muka bumi ini. Allahumahdina fi man hadait!!!