Malam ini seusai pengajian di Masjid Sunda Kelapa, saya ingin cepat-cepat sampai rumah. Selain takut keburu hujan turun, juga saya merasa lelah. Di depan pintu gerbang masjid saya cari taksi tidak ada. Selain mobil pribadi yang parkir, ada satu buah bajaj oranye sedang nganggur menunggu penumpang. Supir bajaj yang sedang berdiri membuat saya mengambil keputusan untuk memakai jasanya mengantar ke rumah.
Penampilan pak supir bajaj yang sudah sepuh, membuat saya masygul. Usianya mungkin sudah hampir atau lebih dari 70 tahun. Perkiraan saya itu berdasarkan patokan ayahnya teman yang setua dia dan umurnya sudah 73 tahun. Setelah sepakat harga dari Menteng ke Rawamangun, bajaj pun bergerak. Sebelumnya sudah saya beri arahan jalan yang harus dilewati agar cepat dan menghindari macet. Lurus dari Jalan Halimun, terus ke Pasar Rumput sampai Matraman, tinggal lurus terus sampai Jalan Pramuka-Jalan Pemuda belok kanan, sampailah sekitaran rumah saya.
Bajaj melewati perumahan mewah Menteng melaju di Jalan Halimun. Entah muter-muter bagaimana, lha kok bukannya ke arah Pasar Rumput, malah tiba-tiba keluar di Jalan Diponegoro yang jelas-jelas terlarang dilewati kendaraan roda tiga oranye ini. Untung tidak ada polisi, bajaj melenggok-lenggok nyebrang ke arah bioskop Metropole XXI. Bajaj roda tiga ini menyelinap di antara sedan-sedan mewah di jalan raya. Owalaaah… Si Mbah nyupir-nya kok sekarepe dhewe!
Saat berhenti di persimpangan Salemba, aku perhatikan Pak Tua ini dari kursi belakang. Semua rambutnya sudah putih, sudah keriput kulitnya termakan usia. Tetapi dia mengemudikan bajajnya dengan lincah. Ketika sepeda motor mendahuluinya dengan ngebut, Pak Tua tak kalah gesit berkelit ke kiri. Interior bajaj ini sama tuanya seperti supirnya. Bagaian atasnya di bawah terpal dilapisi tripleks bekas warna putih yang disanggah kawat besi yang diikat dengan tali rafia (kebayang enggak?). Di sebelah atas kanan depan Pak Supir, tergantung jam tempel kecil bergambar boneka dengan jarum menunjukkan jam 18.30 (jarumnya jalan, pertanda beterei-nya bertenaga). Padahal saat itu arloji saya sudah pukul 20.35. Pak Tua sesekali batuk-batuk kering. Entah karena dia perokok, karena disergap cuaca dingin belakangan ini, atau akibat dampak polusi sepanjang jalan mengingat bajaj sangat terbuka ruangannya dan asap kendaraan yang mengepul hitam menggerogoti saluran pernapasan Pak Tua ini.
Bajaj sudah sampai perempatan By Pass Jalan Ahmad Yani, perbatasan Jakarta Pusat dan Jakarta Timur. Pak Tua ingin membelokkan ke kanan, menuju Jalan Rawamangun Muka. Menurut saya, lewat situ muter-muter. Saya beri tahu lurus saja, dari Arion baru belok kanan ke arah Cipinang. Tapi dia tak mendengar usulan saya. Bajaj belok ke sana-sini, melewati jalan yang menurut saya menghabiskan bensin, tenaga, dan waktu. Sampai akhirnya tiba di depan rumah saya.
Tadi ketika saya diajak muter-muter Pak Tua yang tidak mengikuti usulan saya, saya diam saja. Tadi di masjid Sunda Kelapa dalam pengajian Husnul Khatimah, Pak Ustadz menyampaikan tema tentang komunikasi, di antaranya adalah komunikasi dengan orang yang sudah tua. Berkomunikasi dengan orang yang sudah tua, kadang-kadang kita yang muda harus menanggalkan logika. Orang yang sudah tua yang bermain adalah perasaannya sehingga hal itu bisa membuatnya mudah sensitif. Oh, pantas saja ketika tadi saya arahkan jalannya, Pak Tua ini sedikit menggerutu.
Apa pun, saya salut kepada Pak Tua supir bajaj ini. Meski tua, dia membawa penumpangnya dengan hati-hati. Dia bekerja sampai malam hari menembus cuaca yang kurang ramah untuk raganya demi pemenuhan kebutuhan hidup yang diibaratkan ibadah. Semoga Allah SWT memberinya rezeki yang cukup. Cukup rezeki bila dia sedang memerlukannya, misalnya untuk berobat mengingat bagi kaum miskin di Jakarta kesehata amatlah mahal harganya. Semoga Tuhan yang Maha Pemberi juga memberikan rahmat kesehatan bagi Pak Tua yang membawa bajaj tuanya di tengah-tengah sedan mewah di Jakarta.
Rawamangun, 2 Februari 2009