Manusia berkomunikasi lewat bahasa. Bahasa adalah runtutan kata, membentuk kalimat, bertujuan saling mengerti. Bahkan unik, di negara ini bahasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari semua jenjang pendidikan. TK, SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi sekalipun. Bahasa adalah senjata utama komunikasi. Sekali lagi, itulah bahasa dengan segala yang bisa kita pahami. Tujuannya simple, saling mengerti.
Sedangkan cinta, ia adalah gubahan perasaan yang termanifestasi dalam tindakan paling mulia sampai tindakan paling durjana. Ia adalah kedok keberanian, seperti cinta Umar bin Khattab terhadap agamanya. Ia pula adalah kedok kemuliaan, seperti Hasan Al-Banna terhadap syahidnya. Dan ia juga kedok kebathilan, seperti Qorun terhadap hartanya.
Lalu bahasa cinta?
Coba sandingkan dua definisi di atas. Ternyata ia adalah proses pengertian sebuah perasaan atau bisa juga perasaan untuk mengerti. Bahasa cinta adalah pengejewantahan perasaan yang sangat halus. Seperti Ali terhadap Fatimah, yang bahasa cintanya terjaga sampai mahligai pernikahan, sampai bahasa itu benar-benar menjadi cinta. Seperti pejuang Badr, yang bahasa cintanya bergemuruh laksana suara kuda-kuda di medan perang, sampai bahasa itu benar-benar menjadi cinta. Seperti tangis bahagia seorang isteri di depan suaminya, saat sang suami dengan lirih mengucapkan kata cinta pertamanya dihadapan isterinya.
Bahasa cinta adalah bahasa mulia, bahasa kelas tinggi. Yang tidak semua orang bisa memahaminya, tak semua orang bisa mengartikan. Tidak ada tempat kursus yang mengajarkan bahasa ini. Tapi bahasa ini bisa dipelajari. Gurunya adalah nurani, sekolahnya adalah hati yang bening. Ia bisa hadir melalui kerlingan mata, kepalan tangan mengangkasa, totalitas dalam perjuangan, tangisan menganak sungai, salah tingkah, dan banyak bentuk lain yang sekali lagi tidak semua orang bisa mengerti, apalagi memahami.
Berapa banyak dari kita yang tidak mampu mengerti dan memahami bahasa cinta di sekitar kita. Ketika kita tak mampu menangkap kehadiran saudara kita sebagai bahasa cintanya pada kita, kita hanya mampu menangkap itu sebagai kehadiran yang sia-sia. Ketika kita tak mampu menghargai senyuman rekan seperjuangan kita sebagai bahasa cintanya pada kita, kita hanya mengartikan itu semua sebatas senyuman formalitas. Ketika kita tak mampu bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya, dan kita hanya memahami itu sekedar ciptaan belaka.
Kemampuan menggunakan dan memahami bahasa cinta tidak mungkin dimiliki oleh orang-orang yang melecehkan cinta itu sendiri. Orang-orang seperti ini hanya akan menumpahkan bahasa cintanya dengan cara yang salah. Bukannya menarik simpati malah dibenci. Ia hanya mampu dimengerti oleh orang yang mampu menanggung resiko cinta. Yang menumpahkan segalanya untuk cintanya. Dialah orang yang bahkan dengan diamnya, ia menampilkan kekuatan bahasa cinta yang luar biasa!
Berbahagialah orang yang mampu berbahasa cinta.
Jogjakarta, 17 Juli 1007, 00. 04, sedang belajar bahasa cinta